Mohon tunggu...
Michael Aditya
Michael Aditya Mohon Tunggu... Insinyur - Healer, Hypnotherapist, Neo NLP Practitioner, IT People

Start my career from motorcycle repair person, PPIC person in manufacturing, IT Practitioner, IT Enthusiast, Hypnotherapist and very interested in Self-Healing and Pure Consciousness.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Label

27 Februari 2020   05:10 Diperbarui: 27 Februari 2020   05:20 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

08 Oktober 2019

Label, hal pertama pakah yang terlintas di pikiran kita ketika kita mendengarkan kata "Label", bisa di artikan secara bebas adalah sepotong kertas, plastik, kain, besi yang menempel pada suatu benda yang memberikan informasi atau keterangan baik itu secara lengkap maupun sepotong, baik itu harga maupun kandungan di dalamnya.

Iya benar, label adalah bagaimana kita melihat segala sesuatunya, bahkan label kebanyakan tidak nampak tapi ada, tidak berupa kertas atau kain yang menempel, tetapi lebih kepada makna dan arti pertama kali kita melihat benda, barang atau bahkan seseorang.

Luar bisa bukan, labelnya tidak nampak tapi kita bisa melabelinya. Contoh sederhana saja, waktu pertama kali kita melihat anjing dengan ukuran normal kebanyakan anjing, apa pertama kali yang terlintas, ada 2 macam reaksi. Bagi pecinta anjing melihatnya "Lho kok lucu, anjing siapa ini?" kemudian dilanjutkan dengan kontak dengan anjing tersebut. Bagi yang bukan pecinta anjing melihatnya sebagai hewan dengan taring dan lidah yang menjulur, ada yang bilang "Ih serem" ada yang bilang "Liurnya menjijikkan", seram, jijik, takut bahkan ada yang benci. Inilah label, mengapa kita melabeli sesuatu tanpa menilai lebih dalam atau lebih kepada ciptaan-Nya yang mulia.

Ini sebabnya, dari lahir kita sudah dilabeli oleh orang tua kita, yaitu nama lahir kita, siapapun kita, nama lahir orang tua yang diberikan kepada kita adalah label pertama yang kita terima. Yang kemudian dilanjutkan oleh doa dan harapan dari orang tua, dengan harapan dan segala kebaikan orang tua terhadap kita, itulah label yang kita sandang dan kita bawa sampai sekarang.

Oleh karena itu di kebudayaan Jawa, apabila anak kecil sakit dan nggak sembuh-sembuh, sering diasosiasikan sebagai "Kabotan Jeneng" atau namanya yang terlalu berat baik haraapan amupun tanggung jawab yang diberikan kepada anak secara batin. Dan akhirnya diberikan upacara penggantian nama agar label yang pertama tadi hilang kemudian diganti dengan label yang baru dengan harapan baru tentunya (Harapan agar anak bisa sehat dan tumbuh dengan normal).

Mari kita kembali pada label yang kita sandang ketika kita lahir kemudian ketika kita mulai beranjak besar, mulai dari TK, SD, SMP, SMA, Pendidikan tinggi bahkan sampai di dunia kerja, kita pun masih menyandang berbagai label yang menempel di diri kita.

Masih ingatkah kita ketika kita SD atau SMP di labeli oleh guru kita? Ketika bisa mengerjakan soal atau pertanyaan dengan baik dan benar "Pinter kamu ya" ini label, atau ketika tidak mengerjakan PR "Pemalas kamu!" inipun juga label. Itu hanya contoh tanpa mendiskreditkan guru di sini, karena Guru bagi saya adalah sosok yang berjasa bagi saya apapun itu ajarannya saya terimanya sebagai utusan Tuhan kepada saya untuk belajar mengenai realita kehidupan.

Pertanyaannya adalah, apakah kita adalah label yang tertempel di diri kita? Apakah lebel itu adalah diri kita? Apakah kita adalah label yang tertempel di diri kita?

Mari kita renungkan, sejauh apa kita sudah dilabeli, bahkan oleh diri  kita sendiri, kita labeli bahwa kita adalah karyawan kantor yang nggak mungkin bisa jadi pengusaha, atau kita sebagai pengusaha yang harus berpikir profit dan profit saja? Siapa yang menciptakan analogi seperti itu? Label lagi kan?

Kita diciptakan oleh Tuhan sebagai mahluk Spiritual yang terperangkap dalam tubuh manusia, di dalam label, ini yang harus kita sadari, akui, terima ini dan berdamai dengan ego kita. Guntinglah label kita dan temukan sejati diri kita, maka kita akan berdamai dengan ego kita.....Salam sejati untuk diri kita yang sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun