Uang dan Kesenjangan Ekonomi di Era Pandemi: Pelajaran dari COVID-19
Pandemi COVID-19 telah mengguncang ekonomi global, menyebabkan ketidakstabilan yang meluas di hampir semua sektor, dari bisnis lokal hingga rantai pasok internasional. Salah satu aspek paling signifikan dari krisis ini adalah kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara yang kaya dan miskin. Saat sebagian kecil orang dan perusahaan berhasil memanfaatkan krisis ini untuk memperoleh keuntungan besar, sebagian besar populasi dunia justru terperosok dalam kemiskinan yang lebih dalam, kehilangan pekerjaan, rumah, dan bahkan keamanan dasar mereka. COVID-19 bukan hanya sebuah krisis kesehatan; itu adalah krisis ekonomi yang mengungkapkan ketidaksetaraan struktural yang telah lama mengakar di masyarakat kita.
Kesenjangan Ekonomi Sebelum Pandemi
Sebelum pandemi, dunia sudah berada di persimpangan yang genting terkait dengan kesenjangan ekonomi. Laporan-laporan dari berbagai lembaga internasional, termasuk Bank Dunia dan OECD, telah lama memperingatkan tentang peningkatan ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan di banyak negara. Globalisasi, sementara membawa manfaat bagi sebagian besar negara berkembang, juga menciptakan jurang yang lebih lebar antara mereka yang memiliki akses ke modal, teknologi, dan pasar global, dan mereka yang tertinggal.
Di negara-negara maju, kelas menengah yang dulu kuat perlahan terkikis, sementara kelompok 1% terkaya terus memperbesar kekayaannya. Ini tercermin dalam ketidaksetaraan upah, kesempatan pendidikan, akses terhadap layanan kesehatan, serta kesempatan untuk berinvestasi di sektor-sektor yang lebih menguntungkan. Meski banyak kebijakan ekonomi yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesenjangan ini, seperti perpajakan progresif dan program jaminan sosial, ketidaksetaraan tetap menjadi masalah yang mendominasi wacana ekonomi.
Dampak Pandemi pada Kesenjangan Ekonomi
Ketika pandemi COVID-19 melanda, ketidaksetaraan ekonomi yang sudah ada menjadi semakin nyata dan diperburuk. Pada bulan-bulan awal pandemi, ekonomi global mengalami guncangan hebat. Ratusan juta pekerjaan hilang dalam hitungan minggu, sementara bisnis-bisnis kecil tutup secara permanen akibat lockdown yang melumpuhkan kegiatan ekonomi. Namun, yang mencolok adalah dampak pandemi yang tidak merata pada berbagai segmen populasi.
Pekerja di sektor informal, yang tidak memiliki perlindungan seperti jaminan sosial atau tunjangan pengangguran, menjadi kelompok yang paling rentan. Mereka yang bekerja di sektor yang memerlukan kehadiran fisik, seperti perhotelan, restoran, dan sektor jasa, kehilangan pendapatan mereka secara tiba-tiba dan tanpa jaminan masa depan. Di banyak negara berkembang, dimana sektor informal mendominasi ekonomi, dampaknya sangat menghancurkan, mendorong jutaan orang jatuh kembali ke dalam kemiskinan ekstrem.
Di sisi lain, pandemi juga memicu lonjakan pendapatan bagi segmen tertentu, terutama di sektor teknologi dan e-commerce. Ketika lockdown memaksa masyarakat untuk tinggal di rumah, perusahaan seperti Amazon, Zoom, dan Netflix mengalami peningkatan permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Harga saham mereka melonjak, dan para pemilik serta investor di perusahaan-perusahaan ini melihat kekayaan mereka meningkat secara dramatis selama krisis. Fenomena ini menyoroti bagaimana krisis dapat memperbesar kesenjangan antara yang memiliki dan yang tidak memiliki.
Kesulitan Pekerja Berpenghasilan Rendah dan Sektor Rentan
Salah satu pelajaran paling keras dari pandemi adalah ketergantungan masyarakat pada pekerja berpenghasilan rendah yang sering kali diabaikan. Di banyak negara, pekerja di sektor kesehatan, pengiriman barang, pabrik makanan, dan perawatan, yang digolongkan sebagai "pekerja esensial," menjadi garis depan dalam melawan dampak pandemi. Namun, meskipun pekerjaan mereka sangat penting untuk menjaga roda ekonomi tetap berputar, mereka sering kali bekerja dalam kondisi yang berisiko tinggi dan dengan gaji yang minim.