- Bagian I -
Paskilaski (bukan nama sebenarnya), cucu saya yang berumur 13 tahun, menunjuk salah satu foto yang ada di album foto IPhone saya dan bertanya “Aki foto sama siapa tuh?”. (Paski biasa memanggil saya aki, bahasa Sunda untuk kakek). Saya menjawab:“Masa nggak tahu. Itu kan Bill Gates”.
“Kalau Bill Gates sih Paski tahu. Yang satunya lagi, yang lebih tua dari aki, itu siapa?”. “Oooo, itu Warren Buffett”, jawab saya. “Ngapain aki foto sama dia? Kok kayaknya aki bangga banget bisa foto sama dia”.
Alih-alih menjawab pertanyaannya, saya balik bertanya :“Paski mau nggak jadi Warren Buffett?”. Paski bertanya balik :”Emangnya kakek-kakek itu bikin apaan? Kalau Bill Gates kan memang pinter. Dia mendirikan Microsoft, pembuat Windows. Kakek-kakek itu membuat apa?”.
Tentu saja wajar Paski tidak mengenal Warren Buffett. Please deh, Paskikan masih berumur 13!. Sudah bagus dia mengenal nama Bill Gates. Sebagaimana lazimnya anak normal berumur 13, media bisnis yang acapkali membicarakan Warren Buffett, seperti Bisnis Indonesia, Forbes, Fortunes, Wall Street Journal ataupun media tayang seperti Bloomberg dan CNBC bukan merupakan bacaan dan tontonan favorit Paski. Paski cs tentunya jauh lebih tertarik untuk memainkan apps dan games yang ada di IPhone-nya.
Sampai nanti ada yang membuat apps atau games tentang sepak-terjang Buffett di dunia investasi, yang bisa dimainkan di IPhone, kita tidak bisa terlalu mengharapkan tumbuhnya minat Paski cs mengenal Buffett. Atau, siapa tahu, mungkin ada yang berminat membuat buku komik dengan judul panjang “The Buffett Ways – Cara Mudah dan Cerdas Berinvestasi di Pasar Modal Yang Bisa Dipahami Bahkan Oleh Anak-Anak Berumur 13 Tahun (Dan Juga Ibu Bapaknya)”?.
Catatan saya tentang Warren Buffett berikut ini – mungkin dalam bentuk serial tulisan - mudah-mudahan bisa menjadi pembuka diskusi dan membuat lebih banyak anak-anak seumuran Paski (melalui ibu-bapaknya) untuk mau mengenal Buffett lebih dalam. Akan lebih bagus lagi, kalau kemudian mereka tertarik untuk mau mempelajari The Buffett Ways yang secara konsisten telah diterapkan Buffett sejak 50 tahun lalu sampai saat ini.
Warren Buffett yang masih sangat sehat dan energetik pada umurnya yang ke-85, akan memimpin RUPS Berkshire Hathaway, kendaraan investasinya, pada awal bulan Mei ini di Omaha, Nebraska. RUPS ini merupakan RUPS tahun ke-50 terhitung sejak dia mengendalikan Berkshire dalam kedudukannya sebagai CEO (dan sekaligus pemegang saham terbesar) sejak tahun 1964. Diperkirakan sekitar 40,000 orang pemegang saham Berkshire dari seluruh penjuru dunia akan ikut hadir dalam RUPS tersebut. Jumlah kehadiran yang tentu saja sangat jauh berbeda dibandingkan dengan jumlah pemegang saham yang hadir pada RUPS Berkshire pertama-kali, 50 tahun lalu.
Lepas dari umur dan tampangnya, siapakah yang tidak ingin menjadi Warren Buffett?. Seperti ditulis majalah Forbes (Maret 2015), Warren Buffett, dengan kekayaan sebesar 72.7 Milyar Dollar, berada pada peringkat orang terkaya ke-3 dunia, di bawahBill Gates, manusia terkaya di dunia, dengan jumlah kekayaan sebesar 79.2 Milyar Dollar, serta Carlos Slim, pengusaha Mexico di bidang telekomunikasi dan media, dengan kekayaan senilai 77.1 Milyar Dollar di peringkat ke-2.
Berbeda dengan para SuperKaya lain yang menciptakan kekayaan melalui produksi barang dan jasa atau penciptaan teknologi, Warren Buffett dengan Berkshire Hathaway-nya menciptakan kekayaan melalui keahliannya melakukan investasi dan menanamkan dananya melalui pembelian saham perusahaan, baik perusahaan publik yang sahamnya tercatat di Pasar Modal, maupun perusahaan non-publik. Campur tangan Buffett dalam kegiatan operasional perusahaan yang dimilikinya sangat minimum – bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali – karena perusahaan-perusahaan tersebut dikelola sepenuhnya secara independen dan berada dalam kendali manajemen perusahaan masing-masing.
Dengan demikian, keunggulan Warren yang paling utama adalah melakukan alokasi penanaman dana yang dimilikinya pada perusahaan publik dan non-publik yang secara konsisten memberikan keuntungan dalam jangka panjang. Tidak ikut campurnya Buffett dalam pengelolaan kegiatan operasionaltempat dia menginvestasikan dananya, tidak lain karena perusahaan -perusahaan tersebut sudah memiliki management yang handal (kualitas manajemen merupakan salah-satu pertimbangan Buffett sebelum menginvestasikan dananya). Bisa jadi, Buffett memiliki pemikiran bahwa secara teknis operasional, kapasitas dan kemampuan operasional manajemen jauh lebih mumpuni dibandingkan kemampuan Buffett sendiri, sesuai keahliannya.
Dalam kurun waktu 50 tahun, nilai buku Berkshire per-saham telah meningkat dari 19 Dollar menjadi 146,186 Dollar, atau mengalami kenaikan sekitar 769,400 %, hampir 7,700 kali lipat!. Lebih dari itu, harga saham Berkshire dalam periode yang sama telah meningkat 1,826,163 % atau sekitar 18,260 kali lipat. Dengan demikian,untuk setiap 1,000 dollar dana yang ditanamkan pada awal pendirian, maka saat ini jumlah dana itu sudah meningkat menjadi 18,260,000 dollar!.
Apa hubungannya Paskilaski dan Warren Buffett?
Sebelum saya berbicara lebih lanjut apa yang saya ceritakan kepada Paski tentang Warren Buffett dengan Berkshire Hathaway-nya, saya ingin menjawab pertanyaan Anda : Apa relevansinya berbicara soal Warren Buffett yang memiliki kekayaan 73 Milyar Dollar dengan kita di Indonesia yang GDP per-kapita-nya “hanya” USD 3,500?. Bahkan kalaupun kita berminat membeli saham Berkshire Hathaway (BRK-A) saat ini, kita harus mengeluarkan dana sekitar 220 Ribu Dollar, atau sekitar 2.8 Milyar Rupiah hanya untuk SATU LEMBAR SAHAM.
Apa urusannya Paskilaski yang masih berumur 13 tahun dengan Warren Buffett yang sudah berumur 85 tahun? Bukankah Warren Buffett merupakan fenomena yang sangat khas Amerika, negara adidaya yang sudah sangat maju dengan kehidupan bernegara dan sistem perekenomian yang sudah teratur dan mapan, sementara kita masih tertatih-tatih bahkan untuk urusan-urusan mendasar dari sebuah negara berkembang? Ringkas kata, bukankah mustahil untuk bisa mendapatkan seorang atau sejumlah orang semacam Warren Buffett di Indonesia, bahkan untuk kurun waktu 50 tahun kedepan?. Lebih dari itu, bukankah magnitude Pasar Modal dan perkonomian Amerika jauh lebih besar dibandingkan dengan Pasar Modal maupun skala perekenomian kita?. Mungkin begitu pertanyaan Anda.
Tentu saja saya tidak berpretensi bahwa kita bisa memiliki seorang atau sejumlah orang sekaliber Warren Buffett di Indonesia. Tetapi sebelum Anda hilang semangat, saya juga ingin mengingatkan bahwa saham Berkshire Hathaway yang saat ini dihargai sebesar 220 Ribu Dollar per-saham-nya, hanya perlu dibayar dengan harga sekitar 12 dollar per-saham pada awal pendiriannya. Akumulasi kekayaan Buffett sebesar 73 Milyar Dollar itu bermula dari sebuah Partnership yang dirintisnya sekitar lima puluh tahun lalu, melalui penghimpunan dana yang terdiri dari sebelas orang, dimana masing-masing memasukan dana 10 ribu dollar, ditambah 100 dollar (!!) yang berasal dari kantong Buffett sendiri.
Saya juga tidak berpretensi bahwa jika hari ini Paskilaski beserta teman-temannya, katakanlah 10 orang, urunan dana masing-masing 100 ribu rupiah (bukan dollar), sehingga terkumpul satu juta Rupiah, maka dalam lima puluh tahun mendatang, uang satu juta Rupiah ini bisa menjadi 18,260 kali lipat menjadi 18.26 Milyar Rupiah seperti kelipatan yang berhasil dilakukan oleh Buffett dalam 50 tahun terakhir. Tetapi, siapa tahu?. Mungkin mereka bisa jika mereka mau mempelajari The Buffet Ways?. Atau mungkin juga tidak?. Jangan terlalu risau dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Karena bukan itu inti catatan saya buat Paskilaski cs. Tetapi Anda harus bersabar menunggu urutan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut pada saatnya nanti. Dan sesungguhnya, dengan membaca tulisan ini, saya sekaligus mengajarkan Anda untuk menjadi orang yang lebih beriman, karena sabar adalah sebagian dari tanda-tanda orang beriman J.
Jadi apa hubungannya Paskilaski dengan Warren Buffett?
Kita mulai dengan pendapat Paskilaski. Menurut keyakinan Paskilaski, orang bisa menjadi kaya jika mereka memiliki perusahaan yang sukses. Itu keyakinan Paskilaski satu-satunya, bahwa hanya dengan memiliki perusahaan sukses, maka orang bisa menjadi kaya. Modal pemikiran yang saya anggap cukup bermanfaat untuk digunakan sebagai basis pembicaraan saya selanjutnya dengan dia. Maafkan saya, sementara ini kita batasi pembicaraan kita tentang kekayaan di dunia, yang mungkin bisa sedikit berbeda dengan kebutuhan untuk mencapai “kekayaan” di akhirat nanti J. Bab yang lebih tepat diisi oleh para pemuka agama.
Namun, atas nama Paskilaski, tentu saya harus meminta maaf terlebih dahulu kepada para profesional, karena meskipun Anda bergaji ratusan juta atau milyaran Rupiah (dan ekivalen jutaan dollar kalau di luar negeri), dimata Paski Anda belum termasuk orang kaya, selama Anda “hanya” bekerja dan bukan memiliki perusahaan itu. Tentu saja saya juga harus mengingatkan Paskilaski bahwa mereka yang dalam dirinya melekat bakat dan talenta, seperti ditunjukan para musisi, bintang film, model, novelis, komedian, pesulap, TV anchorserta olahragawan/wati, at least di luar negeri, juga memiliki penghasilan dan kekayaan besar dan bisa termasuk dalam daftar kelompok orang terkaya di dunia.
Saya juga merasa beruntung, karena tidak perlu menerangkan kepada Paski, bahwa seperti bisa dilihat di siaran TV lokal, ternyata untuk menjadi kaya juga bisa melalui jalur poltik dengan menduduki jabatan bupati, gubernur, menteri, polisi, jaksa, hakim dan anggauta DPR serta jabatan politis lainnya, meskipun kita baru lebih banyak tahu tentang kekayaan mereka setelah mereka berhubungan dengan KPK. Ssssstttt, untuk selamanya mari kita lupakan jalur menjadi kaya melalui cara ini. Karena itu bukan menjadi inti catatan saya buat Paski cs. Paski juga sudah tahu, bahwa tidak semua orang ditakdirkan untuk menjadi kaya karena mendapat warisan dari kekayaan orang-tuanya.
Pertanyaan berikutnya, jika memiliki perusahaan sukses merupakan “persyaratan” untuk bisa menjadi kaya – at least menurut pendapat Paskilaski yang sulit Anda ingkari kebenarannya – lantas kenapa tidak semua orang bisa atau mau menjadi pemilik perusahaan?. Padahal setiap ada publikasi tentang daftar terkaya di dunia, maka yang muncul adalah para pemilik perusahaan seperti Bill Gates(Microsoft), Warren Buffett (Berkshire Hathaway), Amancio Ortega (Zara), Jeff Bezos (Amazon), Bernard Arnault (LVMH, Louis Vuitton), Larry Page/Sergey Brin (Google), Michael Bloomberg (Bloomberg), Maria Franca (Nutella), Jack Ma (Ali Baba), Walton bersaudara (Walmart), Liliane Bettencourt (L’Oreal), Susanne Klatten dan Stefan Quandt (BMW), Laurene Jobs (istri almarhum Steve Jobs, melalui Walt Disney dan Apple), dan di Indonesia seperti Hartono bersaudara (Djarum dan BCA), Ir Ciputra (Ciputra Group), Salim bersaudara (First Pacific, Indofood), Mukmin Ali (Panin Group), Mochtar Riady (Lippo Group) dan lain-lainnya.
Paskilaski mempunyai jawabannya :”Aki kayak nggak tahu saja.Untuk membuat perusahaan kan perlu uang. Tidak semua orang punya uang untuk membuat perusahaan. Aki ingat nggak waktu Paski buka “kios”, jualan alat-tulis di bazaar sekolah?. Karena Paski tidak punya uang, Paski harus minta uang dulu ke mamah buat membeli alat-alat tulis itu di Mangga Besar. Baru bisa buka kios dan jualan. Untuk bikin kios alat-tulis di bazaar saja perlu uang, apalagi kalau membuat perusahaan yang memproduksi mobil BMW atau Coca Cola!”. Seratus buat Paski.
Adalah satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa mendirikan perusahaan 1) membutuhkan modal. Dan kita tahu, tidak setiap orang memiliki modal atau akses terhadap sumber dana untuk memulai usahanya. Apakah memiliki dana saja cukup? Jelas tidak. Tersedianya dana tidak menjadi jaminan bahwa perusahaan pasti sukses. Agar perusahaan sukses, harus dikelola dengan baik, dan membutuhkan 2) kemampuan manajerial sesuai dengan keperluannya. Tetapi, tidak semua orang punya kemampuan manajerial untuk mengelola usaha. Memiliki perusahaan sering mengharuskan kehadiran dan perhatian di luar batas-batas waktu yang normal. Dan 3) tidak semua orang memiliki waktu atau mampu mendedikaskan waktunya sesuai dengan tuntutan kebutuhan perusahaan yang dimilikinya. Tingkat kegagalan serta kebangkrutanperusahaan setiap tahunnya, menunjukan dengan jelas bahwa tidak mudah mendirikan perusahaan, apalagi mengelola dan kemudian membawanya menjadi perusahaan yang sukses, tumbuh berkembang dan menguntungkan.
Kehadiran Pasar Modal memberi peluang untuk berpartisipasi menjadi pemilik-pemilik perusahaan yang sukses, tumbuh dan berkembang, tanpa harus dibebani oleh keterbatasan-keterbatasan di atas. Saat ini, Pasar Modal Indonesia memberikan kesempatan kepada anak dan cucu kita, sebagaimana Amerika menawarkan opportunity kepada Buffett dan generasinya 50 tahun lalu. Buffett menangkap peluang itu dan kemudian dengan cerdas menekuninya. Dengan sangat sukses.
Lima puluh tahun lalu kesempatan semacam itu belum ada, bahkan mungkin tidak pernah muncul dalam mimpi kita. Untuk mereka yang umurnya sudah lebih dari 50 tahun seperti saya, akan dengan mudah bisa mengatakan bahwa skala sertadinamika perekoniman Indonesia – dengan segala keterbatasan dan permasalahannya - sudah sangat jauh berbeda dengan skala pereknomian yang kita kenal lima puluh tahun lalu. Maka jangan salahkan saya, kalau saya ingin mengatakan kepada cucu saya bahwa bahwa Indonesia hari ini, dengan GDP per-kapita sekitar USD 3,500 mungkin menawarkan kondisi yang sama seperti yang ditawarkan Amerika kepada Buffett saat merintis Berkshire 50 tahun lalu, ketika GDP per-kapita Amerika saat itu (USD 3,400) hampir sama dengan kita saat ini. Perbandingan semacam ini bisa jadi terlalu menyederhanakan persoalan, tetapi inti pesannya bukan disitu. Pesan lebih penting adalah, skala perekenomian Indonesia sekarang ini menawarkan peluang dan kesempatan yang luar biasa besar kepada generasi muda. This is the golden time for our young generation.
Dengan GDP tahun 2013 sekitar 870 Milyar Dollar, saat ini Indonesia sudah masuk kedalam 20 negara dengan pereknomian terbesar di dunia. GDP Indonesia sudah melebihi GDP dari Belanda, negara mantan penjajah kita yang selalu kita kasihi (Buktinya, kalau Piala Dunia, saya selalu memilih team Oranye). GDP Indonesia juga lebih besar dari GDP negara-negara besar lainnya seperti Swiss, Saudi Arabia, Swedia, Belgia, Austria, Norwegia, HongKong, Singapore maupun Selandia Baru. Jika kita bisa mempertahankan tingkat pertumbuhan 5-6%, serta dengan mulai merendahnya pertumbuhan sejumlah negara maju, maka dalam sepuluh tahun yang akan datang, GDP kita bisa jadi akan melewati Spanyol, Australia atau bahkan Canada.Jika hal itu tercapai, tidak mengherankan kalau kemudian Indonesia masuk kedalam kelompok 10 negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Kalau kata iklan rokok : You’ve have came a long way baby.
Jangankan lima puluh tahun yang lalu, sekitar 15-20 tahun lalu saja, pada awal tahun 90-an ketika penulis masih memiliki dan mengelola sebuah bank kecil, jumlah bank yang memiliki aset trilyunan masih bisa dihitung jari. Pertumbuhan industri perbankan sebuah negara biasanya menjadi indikator yang jelas dan dapat menunjukan dinamika tentang pertumbuhan perekonomian suatu negara. Sebagai contoh, kita lihat BRI, pada tahun 2002 total asset-nya “baru” mencapai 86 Trilyun Rupiah, Modal 8 Trilyun dengan Laba sebesar 1.5 Trilyun Rupiah. Dua belas tahun kemudian, tahun 2014, Asset BRI melonjak hampir sepuluh kali menjadi 802 Trilyun Rupiah. Modal BRI juga meningkat dua-belas kali lipat, menjadi 98 Trilyun Rupiah, dengan laba 24 Trilyun, atau sekitar lima belas kali lipat dibandingkan apa yang pernah dicapainya dua belas tahun lalu. Lompatan yang sama juga bisa dilihat pada Bank besar lainnya, seperti Mandiri dan BCA.
Dengan tingkat pertumbuhan semacam ini, bayangkan apa yang akan terjadi dengan BRI, Mandiri atau BCA dalam tempo 10, 20 atau 50 tahun mendatang. Warren Buffett melalui Berkshire Hathaway, saat ini memiliki 483 Juta lembar saham, atau sekitar 9.4% saham Wells Fargo (saat ini kepemilikan itu setara dengan nilai sekitar 30 Milyar Dollar), yang merupakan salah satu Bank terbesar di Amerika dengan Assets sebesar 1.7 Trilyun Dollar. Apakah Wells Fargo tiba-tiba saja langsung bisa memiliki Assets sebesar 1.7 Trilyun Dollar? Tentu saja tidak. Wells Fargo juga harus melewati sejarah pertumbuhan. Kalau kita lihat laporan keuangan Wells Fargo 25 tahun lalu, tahun 1990, assets Wells Fargo baru mencapai sekitar 56 Milyar Dollar, atau kurang lebih setara dengan assets BRI atau Mandiri sekarang ini. Apakah BRI, Mandiri atau BCA dalam waktu 25 tahun kemudian, ketika Paskilaski berumur 38 tahun, asset-nya bisa mencapai assets 1.7 Trilyun Dollar seperti Wells Fargo saat ini?. Why Not?. Dengan tingkat pertumbuhan 15%, maka setiap 5-6 tahun, assets BRI akan berlipat dua-kali, sehingga dalam 25 tahun assetnya akan meningkat 32 kali lipat dari asset-nya saat ini (62 Milar Dollar) menjadi sekitar 1.98 Trilyun Dollar (!).
Namun pesan yang sangat jelas seperti di atas, bahwa Pasar Modal telah membuka pintu dan memberi peluang untuk bisa beramai-ramai menjadi pemilik perusahaan yang tumbuh dan berkembang, dan bisa memberikan keuntungan, masih belum dipahami sepenuhnya oleh kita.
Mau bukti? Sekarang ini terdapat sekitar 150 Juta pemegang rekening yang menyimpan dananya di perbankan Indonesia. Sementara itu, jumlah pemegang rekening saham – artinya mereka yang namanya tercatat menjadi pemilik saham perusahan-perusahaan di Pasar Modal – hanya berjumlah sekitar 400,000 rekening. Dengan demikian, lebih dari 99% pemilik dana (149.6 juta orang) masih lebih memilih untuk menyimpan dana yang mereka miliki dalam bentuk deposito dan tabungan di Bank daripada menjadi pemegang saham perusahaan yang saham-sahamnya tercatat di Pasar Modal.
Paski, atau Anda bertanya, :”Memang salah menyimpan dana dalam bentuk tabungan dan deposito di Bank?”. “Kata siapa salah?. Tentu saja tidak!. Dengan menyimpan dana dalam tabungan atau deposito, dana itu semakin lama akan semakin meningkat, karena Bank membayar bunga untuk dana yang kita simpan di Bank (kecuali di beberapaBank negara Eropa, yang sekarang ini sudah menerapkan negative interest. Soal negative interest ini merupakan subjek bahasan di lain waktu)”.
Makanya tidak heran kalau saat ini ada 52 juta orang yang menyimpan dananya di BRI untuk mendapatkan imbalan bunga deposito mapun tabungan (dan siapa tahu, mendapatkan hadiah undian mobil hehehe). Namun saya haqul yakin, dari 52 juta orang nasabah yang selama ini sudah mempercayakan dananya untuk disimpan di BRI, mungkin tidak tidak lebih dari 1% yang sekaligus juga merupakan pemegang saham (atau berpikir dan berminat untuk menjadi pemegang saham) BRI. Saat ini BRI memiliki karyawan berjumlah 100,000 orang. Namun saya juga haqul yaqin, meskipun langsung dengan mata kepala sendiri mereka menyaksikan serta merasakan kemajuan Bank tempat bekerja selama ini, tidak lebih dari 5% jumlah karyawan itu merupakan pemegang saham (atau berpikir dan berminat untuk menjadi pemegang saham BRI). Aneh dan ajaibJ
Memang tidak ada yang salah kalau Anda mempercayakan dana Anda untuk disimpan di BRI. Katakanlah sepuluh tahun lalu, tahun 2004, tidak lama setelah BRI mencatatkan sahamnya di Bursa, Anda memilih untuk tetap menyimpan dana sebesar Rp 2 Juta sebagai deposito, dan Anda mendapatkan bunga 9%/tahun. Dalam jangka waktu 11 tahun sampai dengan akhir tahun 2014, dengan imbalan bunga yang Anda terima, maka dana Anda sekarang ini meningkat dua-kali lipat menjadi sekitar Rp 4 Juta, atau naik hampir 100% dalam tempo 11 tahun. Not bad. Andapun bisa tidur nyenyak karena yakin bahwa pokok maupun bunga depositonya pasti dibayar, karena dana tersebut ditempatkan di BRI, salah satu bank terkemuka di Indonesia.
Apa yang terjadi jika pada tahun 2004 tersebut, dana 2 Juta Rupiah itu, digunakan oleh Anda untuk menjadi pemegang saham BRI?. Baik dalam posisi sebagai nasabah BRI, maupun sebagai karyawan BRI.
Jika Anda adalah nasabah, dan dengan alasan bahwa selama menjadi nasabah BRI, Anda tidak pernah merasa dirugikan, dan selalu dilayani dengan baik (customer service bisa menjadi salah satu indikator awal yang baik untuk melakukan riset atas perusahaan yang ingin kita miliki sahamnya), Anda memutuskan untuk menggunakan dana itu agar bisa menjadi pemegang saham BRI.
Jika Anda adalah karyawan BRI, dan dengan alasan selama menjadi karyawan BRI Anda merasa betah bekerja di BRI (Fortune setiap tahun menerbitkan Edisi 100 Best Companies To Work For, yang juga bisa digunakan sebagai indikator awal yang baik untuk melakukan riset atas perusahaan yang ingin kita miliki), Anda memutuskan menggunakan dana sebesar 2 Juta itu untuk menjadi pemegang saham di perusahaan tempat Anda bekerja.
Dengan alasan berbeda, tetapi dengan niat yang sama, yaitu keinginan untuk menjadi pemilik dan pemegang saham BRI, maka Anda membeli saham BRI di Bursa. Dengan harga saham BRI pada awal tahun 2004 sebesar Rp 800, maka dengan uang Rp 2 Juta itu Anda mendapatkan 2,500 lembar saham BRI. Lantas, secara otomatis, nama Anda tercatat sebagai pemilik dan pemegang saham BRI. Tentu saja sebagai lazimnya pemilik perusahaan, Anda berhak hadir setiap perusahaan milik Anda itu mengadakan RUPS. Dalam RUPS itu, Anda dapat bertanya semua hal kepada Direksi dan Komisaris yang ditugaskan untuk menjalankan perusahaan yang Anda miliki tersebut. Dan jika Anda mau, seperti Buffett, Anda juga bisa minta laporan kwartalan atau tahunan, yang memang disiapkan manajemen khusus buat Anda, sebagai pemegang saham. Dengan membaca laporan berkala itu, maka Anda bisa lebih tahu tentang perkembangan perusahaan milik Anda ini.
Jika perusahaan tumbuh dengan baik dan menghasilkan keuntungan – seperti BRI, perusahaan yang sekarang ini Anda miliki bersama ribuan pemegang saham lain – maka setiap tahunnya Anda akan menerima pembagian keuntungan, atau dividen. Kalau dijumlahkan sejak 2004, dividen yang dibayarkan BRI kepada setiap pemegang sahamnya sampai akhir tahun 2014, mencapai angka Rp 1,800/lembar. Karena Anda memiliki 2,500 lembar saham, maka dalam kurun waktu sepuluh tahun ini, akumulasi dividen yang Anda terima berjumlah Rp 4.5 Juta Rupiah, atau 225% dari dana yang Anda investasikan. Angka ini lebih besar dari jumlah bunga deposito yang diterima selama periode yang sama, jika dana sebesar Rp 2 Juta tersebut disimpan sebagai deposito atau tabungan di BRI. Lebih dari itu, harga saham BRI yang Anda beli tahun 2004 sebesar Rp 800, saat ini sudah naik menjadi Rp 13,000 per-lembar, naik sekitar 1,500%, 15 kali lipat dari investasi yang Anda tanamkan. Karena itu, tidak salah menempatkan dana deposito di BRI, tetapi bukankah akan lebih baik jika Anda menjadi pemilik Bank BRI?
Tentu saja, kasus Bank BRI ini hanya menjadi salah satu contoh (yang bukan pengecualian) sebagai pembuka tentang peluang yang saat ini ditawarkan oleh Pasar Modal dengan segala permasalahan dan aspek-nya. Inilah yang akan menjadi inti catatan saya buat cucu saya dan teman-temannya (plus orang-tuanya), yang mungkin akan terdiri dari beberapa bagian. Ada beberapa alasan mengapa saya ingin memberikan catatan ini. Tentu saja catatan yang akan saya paparkan ini bukanlah sebuah proses pengajaran (teaching process), karena meskipun penulis sudah aktif melakukan di investasi pasar modal lebih dari 30 tahun, dalam kenyataannya, dengan segala macam alasannya, dengan sangat mudah saya melakukan kesalahan investasi. Dengan demikian, catatan ini diharapkan untuk diperlakukan lebih sebagai proses pembelajaran (learning process).
Setiap saya menyaksikan paparan Warren Buffett (dan Charlie Munger, co-Chairman Berkshire Hathaway) dalam RUPS Tahunan Berkshire Hathaway, dan melihat pertumbuhan Pasar Modal serta perekonomian Indonesia saat ini, terkadang saya berharap untuk bisa mempelajari “The Buffett Ways” ini jauh-jauh hari ketika saya masih muda.
As much as I am passionate about learning, I wish I can help others to learn how to invest. Jadi ketika saya tidak berkesempatan untuk mempelajari The Buffett Ways itu ketika saya masih muda, saat ini saya memiliki kesempatan untuk berbagi pemikiran serta bertukar catatan dengan mereka yang masih muda. Saya berpendapat, alangkah baiknya jika program melek-keuangan (financial literacy) dimasukan sebagaibagian kurikulum buat anak-anak seumuran Paskilaski di sekolahnya. Atau memang sudah ada sekolah yang menyisihkan sebagian jam-nya untuk program melek-keuangan ini?
Mungkin sama seperti ketika saya masih muda, masih banyak dari mereka yang berniat melakukan investasi belum memiliki pemahaman yang lengkap tentang apa itu Pasar Modal. Apa bedanya saham dan obligasi. Apa itu EPS, PER, EV, ROI, ROA, CFO, DER, Yield dan segala istilah lainnya, yang sebenarnya dapat dengan mudah dipahami dengan cara yang lebih sederhana. Pengalaman Paskilaski membuka kios buku-tulis pada di bazaar sekolahnya, dengan mudah bisa digunakan sebagai acuan untuk memahami semua aspek yang berkaitan dengan investasi dan Pasar Modal. Seperti dikatakan Buffett :”There seems to be some perverse human characteristic that likes to make easy things difficult” (Sepertinya sudah merupakan karakteristik aneh manusia, yang suka membuat hal yang mudah menjadi sulit). Saya tidak ingin berkata, bahwa memahami The Buffett Ways merupakan proses yang mudah. Memahaminya mungkin simple, tetapi proses dan aplikasinya tidak mudah. Lepas dari semuanya, kinerja dan pencapaian yang dia tunjukan selama 50 tahun jelas menunjukan keunggulan metodanya.
Untuk menutup bagian I ini, dan memberikan keyakinan bagi mereka yang masih menganggap investasi di Pasar Modal sebagai soal yang rumit dan susah dipahami, saya ingin mengutip ucapan Buffett yang mungkin bisa menghibur orang-orang seperti kita yang memiliki IQ rata-rata : “You don’t need to be a rocket scient. Investing is not a game where the guy with the 160 IQ beats the guy with 130 IQ”
Sampai jumpa pada Bagian II, dan sementara menunggu Bagian II jika ada yang ingin bertanya soal-soal yang berkaitan dengan investasi di Pasar Modal, silahkan menghubungi e-mail saya.
Jakarta, 25 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H