Pejuang Kesetaraan Diantara Pemikiran Dan Era Panggul Senjata
Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai Pahlawan Nasional yang melazimkan kesetaraan kaum perempuan, berjuang melalui konsepsi pemikiran dari kalangan ningrat hingga proletar jelata dengan label emansipasi.
Seiring dengan bergulirnya waktu, predikat Kartini lantas mengundang kontroversi, memicu perbedaan kontekstual akan predikat yang disandangnya. Pro-kontra mulai bermunculan dari beberapa kalangan yang merasa diwilayahnya memiliki Pahlawan wanita yang juga hebat dengan perjuangannya diera panggul senjata.
Sudah sejak jaman dahulu, Indonesia dikenal banyak melahirkan pahlawan-pahlawan wanita yang sepak terjangnya selalu membuat bergidik para penjajah dari Sabang hingga Merauke.
Disetiap pelosok wilayah Nusantara, masing-masing memiliki alur cerita tersendiri tentang keberadaan pahlawan mereka. Kisah tentang perjuangan mereka diera panggul senjata banyak menghasilkan decakan kagum dan gelengan kepala dari para pecinta sejarah.
Mereka bermunculan dengan varian dimensi yang berbeda, ada yang dari kalangan bangsawan dan ada juga dari tataran proletar alias kaum jelata. Namun masing-masing tetap dalam satu tujuan yang sama, yakni membebaskan diri dari belenggu penjajah agar bisa berdikari dan bebas diatas negerinya sendiri.
Keberadaan sosok pahlawan perempuan lantas membumi setelah era RA. Kartini yang dikenal sebagai Pahlawan emansipasi perempuan. Kartini berhasil mendapatkan tempat tersendiri dihati masyarakat Indonesia dengan perjuangannya melalui konsep pemikiran dan pendekatan hubungan intelektual diantara komunitas kaum bangsawan, baik dari dalam negeri maupun rekan-rekannya yang diluar negeri.
Ide besarnya telah banyak mengilhami pergerakan kaum perempuan dalam menghilangkan diskriminasi perbedaan hak antara kaum perempuan dan lelaki. Emansipasi lantas menjadi jargon dan terus tergaung hingga masa sekarang ini.
Kepopuleran Kartini dan Peringatan hari Kartini pada tanggal 21 April ternyata memicu pro-kontra. Belakangan penetapan hari lahir RA. Kartini yang diperingati sebagai symbol hari Pahlawan Perempuan banyak menuai protes dan kritikan dengan berbagai argumentasi yang dilontarkan.
Mereka yang kontra tidak setuju jika tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini, mengingat pahlawan yang ada di Indonesia bukan Cuma Kartini. Bahkan banyak pahlawan wanita lainnya yang berjuang jauh lebih hebat dari RA. Kartini dengan mengorbankan, harta, keluarga dan nyawa demi membela tanah air tercinta.
Penetapan tanggal 21 April sebagai perayaan hari Kartin yang juga sekaligus sebagai simbol perjuangan pahlawan wanita dianggap subyektif dan pilih kasih, oleh karenanya mereka yang kontra lebih memilih tanggal 22 Desember untuk merayakan dan memperingati beragam jasa perjuangan para pahlawan wanita yang dijadikan satu dengan perayaan hari Ibu sebagai simbol.
Perjuangan Kartini dianggap tidak luas dan hanya sebatas di wilayah Jepara dan Rembang, ia juga tidak pernah memanggul senjata untuk melawan penjajah. Beda halnya dengan Siti Manggopoh, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Nyi Ageng Serang, Ny. Walandau Maramis, Christina Martha Tiahahu dan masih banyak yang lainnya.
Sejarahwan, Deddy Effendie mengatakan, pahlawan intelektual pertama yang membangun sekolah Dewi Sartika dijaman kolonial Belanda dan telah berjuang melalui jalur pendidikan agar kesetaraan bisa diperoleh dan dinikmati oleh kaum perempuan dimasa itu. Dia adalah RA. Lasminingat.