Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Festival Cap Go Meh - Bhinneka yang Damai

23 Februari 2016   23:09 Diperbarui: 23 Februari 2016   23:41 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Cap Go Meh - IMLEK "][/caption]Kemunculan Taiping le (barongsai) di pusat-pusat pertokoan dengan dekorasi merah-emas pada awal perhitungan lunisolar menjadi penanda rangkaian perayaan Imlek hingga Cap Go Meh. Liong meliuk-liuk dalam tarian simbol kebahagiaan dan perdamaian, bersama Reog (Ponorogo), Tatung (Singkawang), dan Ondel-ondel (Betawi) sebagai penanda kehadiran para leluhur yang melepas sekat agama dan budaya. Tahun ini, khususnya pada perayaan Cap Go Meh (22/02/16) sebagai bagian dari rangkaian perayaan Tahun Baru Kalender Huang Di (Imlek) umat Khonghucu dirayakan dengan meriah di beberapa kota di Indonesia: Jakarta, Pontianak, Bogor, Solo, dan beberapa kota lainnya. 

Mengingat kembali tahun 2000, tahun bersejarah bagi etnis Tionghoa dan umat Khonghucu, Gus Dur melalui Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000 mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 yang dibuat oleh Soeharto sebagai bentuk pembatasan dan larangan perihal keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa, termasuk Imlek. Secara politis, Inpres Soeharto telah membatasi gerak dan hak masyarakat Tionghoa baik dalam hal sosial-budaya, keyakinan beragama, maupun politik. Mereka menjadi warganegara nomer dua, dengan sejumlah diskriminasi dan pelecehan hak asasi yang tidak semestinya diterima.

Namun sejak keppres yang dikeluarkan oleh Gus Dur, Imlek menjadi hari libur fluktuatif, dan berlanjut menjadi hari libur nasional sejak 2003 lewat penetapan oleh Megawati saat menjadi presiden. Sikap Gus Dur dan Megawati sejalan dengan kebijakan Bung Karno, yang menetapkan empat hari libur fakultatif bagi masyarakat Tionghoa yang waktu itu mayoritas masih beragama Khonghucu, yakni: Tahun Baru Imlek, Qing Ming (Ching Bing/Sadranan), Hari Lahir Nabi Khongcu (Confucius) dan Hari Wafat Nabi Khongcu.

Bung Karno paham peran saudara Tionghoa dalam menyebarkan paham Indonesia dan menyemai nasionalisme di zaman pergerakan kemerdekaan. Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dekat dengan peran dan keterlibatan mereka melalui gerakan pemuda Tionghoa. Setidaknya ada beberapa nama, Sie Kok Liong, Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie, para pemuda Tionghoa yang terlibat aktif menyiapkan Sumpah Pemuda. Ketika itu Sie Kok Liong malah menyediakan rumahnya dijadikan tempat menyelenggarakan kongres pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Rumah itu kini menjadi Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya Jakarta.

Sejarah juga mencatat, Harian Sin Po adalah koran pertama yang mempublikasikan teks lagu INDONESIA RAYA yang diciptakan oleh WR Supratman. Peran penting Harian Sin Po adalah memmelopori penggunaan kata INDONESIA bumiputera menggantikan penyebutan Hindia Belanda atau Belanda inlander dalam semua penerbitannnya sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Langkah itu kemudian segera diikuti oleh banyak media pers lain. Atas upaya ini semua pers ketika itu lalu bersepakat memberi apresiasi dan terima kasih dengan mengganti penyebutan “Tjina” menjadi “Tionghoa”.

Penghargaan Bung Karno kepada warganegara etnis Tionghoa tak luput dari peran penting mereka dalam perjuangan pergerakan nasional. Sejarah mencatat dan menegaskan, senada dengan semangat kebangsaan yang diserukan oleh Bung Karno,”..kita semua adalah Bangsa Indonesia.” Maka perbedaan agama dan suku -serta menurun pada adat, tradisi, dan atribut lain-, tak layak menjadi identitas yang menjadi jurang pemisah hingga kita kehilangan arti “Bangsa yang Satu”.

Tak perlu lagi ada perdebatan: Imlek, perayaan budaya ataukah agama -hingga pada stempel halal/haram-? Wajah dunia jangan lagi tersekat-sekat oleh eksklusifitas agama, golongan, apalagi kepentingan bisnis dan politik. Sebagaimana kemeriahan Natal dan Lebaran, Nyepi dan Waisak yang dapat dirayakan bersama dalam semangat keluarga-bangsa, Imlek-pun tidak lagi milik umat agama Khonghucu atau masyarakat Tionghoa semata, melainkan milik satu bangsa meski sejak semula bhinneka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun