Demi konstitusi, pemerintahan yang demokratis, dan rasa keadilan di dalam masyarakat, Presiden Joko Widodo harus memberhentikan sementara Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Hukum adalah pedang bermata dua. Di satu sisi berfungsi sebagaimana yang dicitakan oleh pembuat konstitusi, menjadi alat untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan; di sisi lain, menyasar kepada siapapun dan kemanapun arah pedang ditebaskan. Melalui sistem peradilan, pedang hukum dapat diakses oleh semua lapisan sosial masyarakat, bahkan kini terutama oleh mereka yang memiliki akses kekuasaan, modal, dan pengaruh publik. Pedang hukum menjadi efektif digunakan oleh kekuasaan untuk melindungi kepentingan perseorangan, organisasi kemasyarakatan maupun keagamaan, termasuk kepentingan politik. Hingga akhirnya tanpa disadari, penegakan hukumpun mampu merusak fondasi sistem integritas nasional.
Jelang Pilkada DKI –daerah yang paling panas dari 101 wilayah pilkada serentak–, nama Basuki Tjahaja Purnama a.k.a. Ahok menjadi fenomenal (dan suatu hari tentu akan melegenda) yang setiap hari tak pernah hilang dari lembar media cetak, apalagi typo dunia maya yang kian keruh. Melewati masa kampanye, mendekati hari pencoblosan, dan masih akan berlanjut setelah perhitungan suara, kasus dugaan penistaan agama masih terus “digosok” untuk meramaikan suasana.
Tidak cukup membawa kasus ke pengadilan, fungsi sebagi pelayan masyarakatpun tak sabar untuk segera dihilangkan. Atas dirinya yang telah berstatus terdakwa, dituntut untuk meninggalkan Balaikota. Beramai-ramai lawan politik Ahok menuntut Presiden dan Mendagri untuk memberhentikan sementara Gubernur Ahok dari tugasnya.
Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu pasal 156 huruf a dan/atau pasal 156 KUHP. Dengan pasal 156, Ahok diancam pidana penjara paling lama empat tahun; sedangkan pasal 156a memberikan ancaman pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Sedangkan tuntutan beberapa pihak supaya presiden memberhentikan Ahok didasari oleh pasal 83 ayat (1) UU Pemda yang mengatur bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun.
Di lain pihak, Pakar hukum tata negara Refly Harun berpendapat bahwa pasal 83 UU Pemda tidak bisa diterapkan untuk menonaktifkan Ahok dari jabatan Gubernur DKI, karena menurutnya pasal 83 mengatakan “paling singkat” 5 tahun, sementara Ahok diancam pidana “paling lama” 5 tahun. Refly mengaitkan dengan kategori kejahatan, di mana pidana paling singkat 5 tahun itu dikategorikan sebagai kejahatan berat, sedangkan paling lama 5 tahun itu termasuk sebagai kejahatan menengah atau ringan.
Hal tersebut disanggah oleh anggota Komisi III DPR Arsul Sani dengan mendasari pada risalah pembahasan yang melandasi perumusan pasal terkait. Menurut Arsul Sani: pembentuk UU memang menggunakan kata “paling singkat”, namun maksudnya adalah untuk mengcover ancaman pidana 5 tahun baik yang 5 tahunnya sebagai ancaman paling lama ataupun paling singkat.
Hal serupa pernah terjadi pada kasus dugaan pencemaran nama baik yang didakwakan kepada Gubernur Gorontalo Rusli Habibie. Rusli tidak dinonaktifkan dari jabatannya sebagai gubernur selama masih menjadi terdakwa, sebelum adanya tuntutan pidana penjara selama delapan bulan dari Jaksa Penuntut Umum.
***
Jelas diketahui, kasus ini tidak hanya berada dalam ranah hukum, namun bersifat politis. 90 anggota DPR RI dari empat fraksi (Demokrat, Gerindra, PKS, dan PAN) telah mengusulkan hak angket mempertanyakan langkah pemerintah yang mengaktifkan Ahok. Beban terberat akhirnya ditanggung oleh Presiden Joko Widodo dalam memutuskan: mengeluarkan Kepres untuk memberhentikan Ahok secara sementara, atau mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mempertahankan Ahok sebagai Gubernur DKI. Persoalan dilematis, pedang bermata dua dari hukum akhirnya bisa menyasar pada mereka yang sesungguhnya beritikad baik dan berusaha menjadi alat pemerintahan yang baik pula.
Dalam hal ini penulis melihat persoalan justru timbul akibat kecerobohan dari pembentuk undang-undang dalam merumuskan pasal demi pasal. Inipun melepas sangka bahwa pasal tersebut sengaja dibuat “karet”. Pasal yang dalam bentuknya adalah kata dan kalimat. Sehingga makna leksikal sangat penting diperhatikan oleh para pembentuk undang-undang dalam menjelaskan konteksnya. Bayangkan, sebuah kata mempunyai kekuatan begitu dahsyat untuk membebaskan penjahat, namun sebaliknya menghukum yang tidak bersalah –minimal dalam hal ini menimbulkan masalah.