Istana negara merupakan "rumah" bagi kepala negara. Dan layaknya rumah, secara hukum maupun protokoler, boleh digunakan bagi keperluan formal maupun pribadi.
Seperti dahulu kita ingat di era Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur), putri bungsunya pernah mengadakan pesta ulang tahun di Istana. Tercatat, acara tersebut dihadiri oleh sekitar 250 orang dari berbagai kalangan.
Mahfum, budaya politik yang dibangun dalam era reformasi hendak menghilangkan kesan angker pada rumah bekas kediaman penguasa kolonial, juga orde lama, dan orde baru itu. Pemahaman inilah yang harus disadari oleh masyarakat, sehingga tak mudah terpancing oleh isu dan manuver politik yang tidak bermutu, cenderung mencari sensasi dan membangun opini negatif.
Mari kita mengingat-ingat, sebelum ini pun Presiden Jokowi pernah menerima Ketum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam waktu terpisah juga pernah menerima Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketum PAN Zulkifli Hasan. Pimpinan PKS dan Ketum Gerindra Prabowo Subianto pun pernah diterima oleh Presiden di Istana. Dan Senin ini (5/3), Presiden mengundang pengurus Perindo yang diketuai Hary Tanoesoedibjo.
Jadi, itulah cara Presiden meningkatkan harmonisasi hubungan kepala negara dan pemerintahan dengan kekuatan politik yang ada. Pemerintahan yang merakyat, keamanan yang kondusif, masyarakat pun damai; mengapa perseteruan politik harus terus menjadikannya gaduh?
 "more noise than voice," kata Soegeng Sarjadi.