Persoalan kewarganegaraan adalah pekerjaan rumah yang telah lama terabaikan. Kasus Arcandra Tahar dan Gloria Natapradja muncul di saat yang hampir bersamaan. Konteks keduanya memang berbeda, namun tanpa terus berpolemik sebagai sebuah agenda yang disiapkan, hingga digoreng-goreng oleh pihak yang terganggu kepentingannya, menjadi alasan yang tepat untuk membuka kembali lembar pekerjaan rumah yang sekian lama disimpan.
Kedua contoh kasus di atas menjadi finish dengan pendekatan semu nasionalisme, sebagaimana Dino Pati Djalal meletakkan kategori “para pecinta Indonesia” sebagai salah satu kategori diaspora Indonesia. Selesai, namun tidak tuntas. Karena realita isu kewarganegaraan saat ini tidak lagi tentang nasionalisme, namun lebih pada permasalahan ekonomi dan politik.
Potensi diaspora Indonesia dari waktu ke waktu semakin besar. Keberhasilan mereka di sektor ekonomi, kepakaran di bidang sains dan teknologi, hingga pemahaman dan penguasaan seni dan budaya global yang semakin mumpuni, semestinya diberikan ruang dan jalur yang cukup untuk berkontribusi pada bangsa dan negara.
Lebih dari 6 juta orang diaspora Indonesia yang bekerja di berbagai sektor menjadi salah satu pengirim devisa terbesar dan pendukung insentif ekonomi dalam pembangunan di era globalisasi. Hingga akhirnya wacana bipatride(dwi kewarganegaraan) mencuat sebagai "ajakan pulang”, jika tidak dengan gamblang dikatakan sebagai upaya menyedot insentif.
Pertanyaannya, adakah design politik untuk hal tersebut?
UU No.12/2006 tentang Kewarganegaraan, khususnya pasal 23 dengan tegas menolak kemungkinan dwi kewarganegaraan (oleh undang-undang disebut sebagai ‘kewarganegaraan ganda’). Dalam penjelasan umum undang-undang ini dijelaskan bahwa asas kewarganegaraan universal dipakai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, serta dalam rangka melaksanakan amanat konstitusi. Adanya pengaturan kewarganegaraan ganda, berlaku khusus dan terbatas hanya bagi anak-anak usia 18 tahun ke bawah, sebagai jawaban atas kovenan hak sipil dan politik warga negara.
Isu pertahanan dan keamanan pun menitipkan keraguannya. Dwi kewarganegaraan akan menemukan batas toleransi pada kondisi perang, konflik ideologi warganegara, hingga kasus penyanderaan yang menyangkut negara-negara yang disandang.
Belum lagi dengan kesenjangan sosial dan konstruksi masyarakat Indonesia yang majemuk sering kali menanamkan benih-benih kecurigaan terhadap yang lain. Dibukanya ruang dwi kewarganegaraan yang melibatkan WNI keturunan Tionghoa memiliki potensi ketegangan baru, mengingat jumlahnya yang cukup besar (Kacung Marijan: Menimbang Kewarganegaraan Ganda).
Dengan demikian, apakah tertutup kemungkinan terjadinya sistem dwi kewarganegaraan bagi warga negara Indonesia? Tentu saja tidak. Karena, mustahil Bangsa Indonesia terhindar dari kombinasi arus budaya global yang menuntut adanya harmonisasi antara konvensi internasional sebagai cerminan pemerintahan dunia (Hagger, 1988) dan asas-asas hukum nasional yang berlaku.
Sosialisasi masif tentang dwi kewarganegaraan sebagai akibat dari cita-cita besar ‘masyarakat dunia’ harus dibarengi dengan penguatan sense of belonging yang menjaga keIndonesiaan setiap warga negara.
Sambil terus melakukan kajian (Lihat Syndicate Update: “Warga Tanpa Negara: Diaspora dan Problematik Kewarganegaraan”) guna mencari formula yang tepat dalam menjawab persoalan diaspora dan dwi kewarganegaraan, pemerintah masih bisa memberikan kemudahan bagi keturunan Indonesia yang memegang kewarganegaraan asing dan ingin memberi kontribusi ekonomi, seperti kemudahan pemberian visa kunjungan atau izin kerja, maupun kemudahan proses naturalisasi.