"Kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan dengan `the most serious crimes` menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR," demikian pertimbangan putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007. MK melanjutkan,”Frasa `kejahatan yang paling serius` dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR (Perjanjian Internasional atas Hak Sipil dan Politik Negara) tersebut tidaklah boleh dibaca terpisah dengan frasa berikutnya, yaitu sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan.”
Dalam perspektif hukum internasional, UU Narkotika di Indonesia adalah implementasi kewajiban yang lahir dari perjanjian internasional, in casu Konvensi Narkotika dan Psikotropika, pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan dimaksud justru merupakan salah satu konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika, yang intinya bagi negara pihak dapat memaksimalkan efektivitas penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana yang berkait dengan narkotika dan psikotropika dengan memperhatikan kebutuhan untuk mencegah kejahatan dimaksud.
Untuk itu, dalam konteks penolakan pemberian grasi, kedaulatan hukum yang diamanatkan oleh undang-undang, Presiden Jokowi turut memperindah renovasi bangunan hukum dan kedaulatan politik Indonesia. Bertahan dari intervensi dan tekanan pihak asing untuk mencampuri kedaulatan hukum Indonesia, menjadi bukti ketegasan dirinya dalam menjaga konstitusi, khususnya dalam semangat pemberantasan kejahatan narkotika. (AdA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H