Mohon tunggu...
Acram Mappaona Azis
Acram Mappaona Azis Mohon Tunggu... profesional -

Legal Advisor Hitam Putih Institutte

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menjadi "Penguasa"

5 Februari 2016   09:48 Diperbarui: 5 Februari 2016   10:34 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara berikut sistem yang ada di dalamnya, terlanjur membuat ummat manusia di dunia hidup dalam keteraturan. Setiap Negara menata power, untuk mencengkram setiap orang yang beraktifitas di wilayahnya. Sedemikian kuatnya, sehingga negara menjadi pemegang tafsir benar salah, baik dan buruk.

Powerfull negara, yang konon kabarnya bermula dari kontrak sosial, berubah dari perikatan kemanusiaan, menjadi perikatan sepihak. Memaksakan kehendak menjadi rangkaian dari penegakan hukum. Negara memaksakan kehendaknya dengan seperangkat hukum, yang dapat merampas kemerdekaan setiap orang, baik melalui proses pembuktian maupun tidak lagi melalui proses pembuktian.

Demokrasi liberal, dimana kebebasan menjadi issue kerakyatan, sebagai simbol kedaulatan, perlahan dirampas oleh kekuasaan negara, melalui perangkathukum. Hate speech, terorisme, narkotika, sex bebas, merupakan bentuk-bentuk perlawanan terhadap kekuasaan yang kaku, tanpa bentuk.

Keteraturan yang diharapkan kekuasaan itu, didefinisikan sebagai tertib hak dan kewajiban. Selesaikan hak dan nikmati kewajiban. Bukan nikmati hak dan selesaikan hak.

Drama kekuasaan negara, tidak lagi menarik dari perspektif logika, melainkan menjadi suatu fiksi, yang dirangkai dan direkayasa sedemikian rupa untuk melindungi modal. Welfare, kesejahteraan yang diperjanjikan sebelumnya, adalah hidup dalam ruang kecil di pinggiran kota, dan bekerja untuk membayar setiap langkah. 

Negara hanya menyediakan KTP, identitas, sejak lahir sampai mati, tapi itu hanya sebagai tanda. Untuk ke rumah sakit, harus ada kartu lain lagi, demikian halnya dengan ke sekolah, harus ada surat keterangan lainnya.

Potret Penguasa Negara, di Indonesia, yang diwarnai dengan intrik dan siasat, selalu menarik bagi penikmat Politik. Sementara itu, pejuang-pejuang politik untuk kemanusiaan, disingkirkan, dan jika perlu dimusnahkan.

Negatif pesimistik ini, tentu akan berubah jika Revolusi Mental dan Nawa Cita Itu bukan sekedar project yang dianggarkan, melainkan untuk memanusiakan manusia Indonesia, menjadikan Indonesia Kita pemilik di Negerinya.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun