Salah satu sistem ekonomi syari'ah yang sedang dan mulai dijalankan adalah konsep bagi hasil (mudhrabah), hanya saja anehnya yang banyak menggeluti dan mengkaji sistem ini justeru bukan dari kalangan "santeri".
Padahal dengan melakukan salah satu konsep ekonomi islam seperti bagi hasil (Mudharabah), diharapkan dapat tercapai keterkendalian ekonomi yang diidealkan islam yakni, kegiatan ekonomi yang berwawasan ethika, tidak eksploratif, hubungan budaya yang tidak dominatif dan proses penciptaan hubungan antara sesama umat (si kaya dan si miskin) yang secara pundamental dapat lebih baik dan harmonis.
Pelaksanaan kegiatan ekonomi di Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam, saat ini justru menghadapi kenyataan bahwa persoalan-persoalan keagamaan mendapat tempat terpenting yang tidak dapat dikesampingkan dalam melaksanakan kegiatan ekonominya. Hal ini menunjukan pentingnya teori-teori ekonomi yang sesuai dengan syari’at islam.
Kenyataan ini menempatkan pesantren pada posisi strategis untuk melakukan kegiatan ekonomi melalui jalur bahasa agama. Penempatan pesantren sebagai salah satu lembaga keagamaan pada posisi strategis ini disebabkan oleh kemampuannya dalam membentuk watak populis dan etik sosial, artinya apa saja yang diajarkan di pesantren sebagai sesuatu yang baik dan terpuji akan dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan, dan apa saja yang diajarkan di pesantren sebagai sesuatu yang buruk dan tercela, akan dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajib untuk tidak dilaksanakan.
Disamping itu, sebagai institusi sosial, pondok pesantren mampu menampilkan diri sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat, peran pesantren sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan dituntut daya kreatifnya agar dapat memberikan jawaban konstruktif terhadap problema dan keluhan masyarakat di sekelilingnya.
Sebagai lembaga pendidikan islam, hubungan sosial fsikologis pesantren dengan komunitasnya mempunyai sistem nilai tersendiri yang berbeda dengan sistem lainnya. Sistem nilai yang berkembang mempunyai ciri watak tersendiri, yakni nilai pokok yang tumbuh dan berkembang bahwa seluruh kehidupan dipandang sebagai ibadah.
Dalam perkembangannya, fungsi pesantren bukan saja sebagai lembaga sosial, tugas yang diemban bukan saja soal keagamaan (baca akhirat), tetapi juga menyikapi soal kemasyarakatan yang diferennsial.
Tugas kemasyarakatan pesantren ini sebenarnya tidak mengurangi tugas keagamaan, karena justru dengan hal inilah penjabaran nilai-nilai yang dikaji dapat diimplementasikan demi kemaslahatan umat.
Diantara nilai-nilai keagamaan yang dikaji melalui kitab kuning di pesantren adalah ilmu fiqh yang didalamnya dibahas mengenai konsep-konsep ekonomi islam (fiqh mu’amalah). Melalui penerapan konsep ekonomi yang sesuai syari’ah ini diharapkan menjadi entry point dalam menanggulangi kesenjangan sosial yang disebabkan oleh adanya pelaku ekonomi yang terlepas dari kontrol agama, sehingga mengakibatkan terciptanya tatanan dan stratifikasi sosial ekonomi masyarakat yang makin tajam, berkembang dan tak terkendali. Pada kenyataanya justru yang menjadi korban mayoritas umat islam.
Ditingkat masyarakat, peranan pesantren ini akan diambil alih oleh santeri yang sudah muqim (kembali kekampung halaman), sehingga seorang santeri diharapkan mampu menjadi agent of change terhadap perilaku-perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan syari’at, termasuk didalamnya mengenai mu’amalah.
Hal ini didasari atas keyakinan dan kesadaran bahwa setiap muslim dituntut untuk melaksanakan tugas kehambaannya secara utuh, baik bidang ritual (ibadah mahdhah) maupun sosial (mu’amalah). Pemahaman ini penting, karena seringkali terjadi adanya anggapan bahwa ritual lebih penting dari mu’amalah, padahal bagaimana mungkin suatu ibadah ritual diterima jika perut kita diisi oleh makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak diinginkan syar’i (bathil).
*tulisan ini pernah ditulis di FB pribadi dengan judul "bagi hasil ala santeri"