Mohon tunggu...
Fika Rachman
Fika Rachman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

suka jalan-jalan, ngobrol, makan, nonton film, dan membaca novel.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Apa Kabar Bahasa Indonesia?

17 April 2011   17:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:42 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu kita masih ingat dengan bait ketiga Sumpah Pemuda bukan? "Kami putra-putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia" setiap tanggal 28 Oktober kita selalu memperingatinya. Perjalanan Bahasa Indonesia amatlah panjang, bermula dari bahasa Melayu-Riau, zaman kolonial Hindia-Belanda hingga berproses menjadi Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Bahasa Indonesia lahir bukan hanya sebagai sebuah identitas semata melainkan alat komunikasi yang bisa menjadi alat pemersatu. Indonesia yang kaya dengan ragam bahasa dan dialek yang belum tentu bisa dimengerti oleh semua orang diikat dalam satu pemahaman lewat bahasa Indonesia.

Sekarang, hampir semua anak di negeri ini tahu dengan Bahasa Indonesia yang diajarkan di bangku sekolah. Tapi, apakah semua anak negeri ini paham betul dengan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan standar EYD? jawabanya; belum tentu. Lihat saja nilai ujian nasional mereka, kebanyakan kasus yang saya temui, tentu nilai mata pelajaran bahasa asing lebih bagus tinimbang nilai Bahasa Indonesia.

Di dunia akademik dan tulis, kosakata Bahasa Indonesia semakin dimiskinkan. Pemilik Bahasa Indonesia sendiri lebih suka menggunakan bahasa serapan dan adopsi dari bahasa asing. Padahal masih banyak sekali padanan kata Indonesia yang bisa kita gunakan untuk menjelaskan kata asing. Dalam bidang teknologi informasi misalnya, kita lebih akrab dengan kata "upload" dibanding "unggah", "email" dibanding "surel" atau surat elektronik, dan "chatting" tinimbang "obrel" atau obrolan elektronik. Dalam hal pewartaan, media membiasakan diri menggunakan kata "citizen journalism" padahal masih ada kata Indonesia yang bisa digunakan dan dipopulerkan, "pewarta warga".

Dalam budaya pop, terlihat muda-mudi bangsa ini lebih nyaman dan pede jika menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia yang dicampur aduk dengan bahasa Inggris. Anak muda-mudi yang sudah merasakan bangku sekolahan ini cenderung mengabaikan makna, bahasa asing yang sering mereka ucapkan dan akhirnya menjadi budaya justru menghapus pembendaharaan kosakata Indonesia secara perlahan. Obrolan sehari-hari yang mereka ucapkan menjauh dari makna awal bahasa Indonesia, meskipun akhirnya masih bisa dipahami maksudnya. Misalnya "gua cabut duluan yaa.." kata cabut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti menarik supaya lepas dari tempat tanamnya, digunakan untuk kata benda.  Akhirnya kalimat tersebut sudah terbiasa lewat ditelinga dan dapat kita mafhumi maksudnya, "Saya ingin undur diri terlebih dahulu".

Jauh menerawang kehidupan berbahasa di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, sejauh yang saya ketahui dari cerita teman dan film, sebagian dari mereka tidak mampu mengucapkan bahasa Indonesia. Mereka lebih akrab dengan bahasa ibu dan bahasa negara tetangga, Melayu-Malaysia. Wajar saja karena kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak bergesekan dengan budaya negeri tetangga. Akses jalan dan fasilitas yang ada di daerah perbatasan membawa mereka untuk lebih mengenal negeri tetangga dibanding negerinya. Stasiun televisi yang bisa ditangkap adalah stasiun televisi Malaysia, berbahasa Melayu-Malaysia. Bagaimanapun, bahasa adalah sebagai bagian dari budaya masyarakatnya,  mereka tidak mengenal bahasa Indonesia karena mereka tidak terbiasa bersentuhan dengan bahasa Indonesia.

Bahasa adalah kunci untuk memperoleh pengetahuan, seharusnya begitu. Namun, keadaan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi agen sosialisasi Bahasa Indonesia disana tidak berfungsi maksimal. Bagaimanapun mereka adalah bagian dari Indonesia, belajar sesuai dengan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Lalu apa jadinya jika mereka tidak memahami segala pengetahuan dalam buku paket yang berbahasa Indonesia? mereka pasti tidak mendapatkan apa-apa dari bangku sekolah.

Masyarakat yang berada di beranda rumah Indonesia ini sangat jauh dari kata sejahtera, butuh perjuangan keras untuk mengenal negerinya dan membuka wawasan tentang kehidupan dunia lain. Fasilitas transportasi apalagi teknologi informasi tidak bisa mereka nikmati disana, kondisi inilah yang semakin membuat mereka terjebak dalam dunianya sendiri, tidak mengenal dan dikenal. Salah satu cara untuk menghubungkan mereka dengan kita adalah Bahasa Indonesia, bahasa yang sudah diikrarkan sebagai bahasa pemersatu dan identitas sebuah bangsa 83 tahun yang lalu.

Bagaimana keadaan berbahasa Indonesia sekarang patut kita renungkan bersama dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat bangsa ini. Ironis memang, Bahasa Indonesia sebagai identitas belum sempurna menjadi penanda bagi penghuninya. Saya termasuk menjadi korban budaya pop dan akademis, sehingga untuk menulis dengan logika dan aturan Bahasa Indonesia pun masih jauh dari sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun