Secara mental jelas ayah saya begitu sangat terpukul. Terpukul tidak hanya karena keadaan ekonomi yang tiba-tiba saja terjun bebas, namun juga merasa sangat kecewa pada payung hukum yang seharusnya memberikan keadilan padanya dan mengungkap kebenaran malah memukulnya jatuh terjerembab. Kurang apa coba, hidup berusaha pada jalan benar, kejujuran sebagai pedoman hidup, tapi kenyataan yang ada ayah teraniaya oleh keadilan yang hanya bisa memenangkan pada mereka yang memiliki lembaran uang tebal. Namun ayah begitu kuat, semakin tersakiti semakin memasrahkan semuanya pada Tuhan. Mungkin kalau tidak kuat ayah sudah masuk rumah sakit jiwa!
Kami harus menebalkan telinga ketika olokan serta cibiran menghampiri kehidupan kami. Disaat saudara-saudara, serta orang-orang disekitar kami termasuk tetangga mulai memiliki keadaan ekonomi yang cukup baik, justru kami tersengal-sengal menyambung hidup. Dengan pekerjaan ayah saat itu, yang tadinya berpakaian rapi, wangi, sepatu licin mengkilap, kini berkubang dengan pengapnya pabrik dan bau limbah yang terus menempel. Orang mendekat saja sudah mau muntah rasanya, karena pakaian yang dikenakan terlihat dekil, juga berbau limbah pabrik. Belum lagi tungganggannya hanya sepeda. Tak hanya itu, sampingan kerja lainnyapun tak kalah dekil, mencari pakan (rumput) diladang-ladang untuk kambing-kambing yang dipelihara dirumah. Tentu ini mudah sekali menjadi bahan gosip dan gunjingan orang-orang disekitar kami, sasaran empuk sebagai bahan olok-olokan. Apalagi ayah suka memanjangkan rambutnya hingga sebahu kadang lebih panjang lagi. Waktu masih kerja dikantoran, terlihat keren, tapi setelah bekerja dipabrik justru terlihat semakin kusut.
Namun begitu, betapa kami sangat bersyukur sekali pada Tuhan, masih ada rumah dengan tanah pekarang luas milik sendiri. Meski rumah itu belumlah “jadi” seperti yang diinginkan ayah, namun sudah cukup bagi kami untuk bernaung dari teriknya matahari serta guyuran air hujan. Pekarangan yang ada dimanfaatkan untuk menanam beragam tanaman buah, palawija (singkong), juga sayuran. Hewan ternak kamipun banyak, ada ayam juga enthok. Dan sejak ayah keluar dari perusahaannya karena “kasus itu”, bekerja menjadi buruh pabrik, ayah memilih kambing sebagai hewan ternak tambahan. Lebih bersyukurnya lagi ternyata ayah masih memiliki sisa tabungan, yang kemudian digunakan untuk investasi pada usaha yang dibangun oleh kenalan baik keluarga kami, juga untuk membeli sepetak sawah. Betapa baiknya Tuhan pada keluarga kami, terimakasih.
Sejak pertama kami sekeluarga menempati rumah tersebut, pekarangan yang ada tidak dibiarkan mengganggur begitu saja oleh ayah. Pekarangan samping rumah yang cukup luas ditanami singkong, bambu, pohon pisang, pohon rambutan, pohon mangga, pohon durian, juga pohon sawo, dengan dikelilingi oleh pohon akasia, dan pohon lamtoro (petai cina). Pekarangan belakang rumah, selain ada kandang ayam dan enthok, pekarangan itu ditanami beberapa pohon jeruk nipis (lemon), pohon belimbing, pohon kelapa hijau, pohon petai, tanaman bumbu dapur (serai, laos, kunyit), daun sirih hijau, kadang tidak sengaja tumbuh dengan sendirinya pohon pepaya, pohon nangka, pohon cokelat, pohon sirsat, cabai, tomat, tanaman sayur bayam, juga kangkung. Sebagai pagar pembatas tanah pekarangan belakang rumah, ditanamlah nanas. Maka berderet-deretlah tanaman nanas yang kami punya. Sementara pekarangan depan rumah, dibuatlah taman bunga oleh ayah. Tak ketinggalan, selain membuat taman bunga dengan ditanami beragam tanaman hias dan bunga-bunga indah, halaman depan rumah kami juga ditanami pohon jambu air, pohon mangga, dan pohon jarak, ada juga pohon kapuk.
Hasil dari tanaman-tanaman yang ada dipekarangan itu begitu terasa saat keadaan ekonomi kami ambruk, meski beberapa tanaman yang ditanam (durian dan sawo) tidak tumbuh karena kemarau. Setelah bertahun-tahun ditanam, tanaman yang ada dipekarangan tidak hanya membuat rumah kami sejuk, tetapi mampu menghasilkan rupiah, juga memenuhi kebutuhan gizi kami. Jeruk nipis, nanas, dan nangka menjadi buah yang sering dijual untuk memenuhi kebutuhan dapur (seperti minyak goreng, ikan asin, tempe). Pepaya, pisang, rambutan, mangga, belimbing, jambu air, jambu batu, adalah buah-buahan yang tak perlu kami beli untuk memenuhi gizi. Kadang untuk kebutuhan sayuran kami tak perlu membeli, seperti daun pepaya, pepaya muda, nangka muda, bayam, atau kangkung, bisa diambil dipekarangan dengan mudah untuk kemudian dijadikan sayur. Sementara hewan ternak seperti ayam, bisa dijual bila kami membutuhkan uang untuk sesuatu hal dalam jumlah kecil. Mau makan telur, tinggal diambilkan dikandang ayam (meski terkadang membeli telur juga diwarung), ingin sesekali makan daging ayam atau enthok, bisa langsung dipotongkan ayam punya sendiri tanpa harus mengeluarkan uang. Itulah buah dari ketelatenan ayah dengan menanam beragam tanaman dipekarangan. Ketika keadaan ekonomi begitu sulit, tanaman-tanaman itu sedikit meringankan beban hidup kami. Dan ketika ayah memelihara kambing, selain kambingnya sendiri bisa dijual, kotorannya yang setiap pagi disapu dari kandang dan dikumpulkan ayah ditempat tertentu, dapat bermanfaat untuk memupuk tanaman singkong, bunga-bunga, atau bila diperlukan tetanggapun ada yang mau membeli kotoran kambing itu, atau malah diberikan begitu saja.
Kesedihan yang ada karena jatuhnya keadaan ekonomi tak terlihat lagi. Perlahan kami bangkit menata hidup dan menata masa depan. Menjalani kehidupan apa adanya, meski awalnya terasa sulit. Melihat ayah begitu tegar, semangat bekerja dalam setiap hembusan nafasnya, rasanya tak pantas bila saya/ kami harus terus-terusan bersedih. Maka sayapun harus dewasa sebelum waktunya, saat teman-teman sebaya/ sekolah, masih senang bermain sepulang sekolah, saya harus belajar, dan belajar, serta mencari uang tambahan sendiri demi memenuhi kebutuhan sekolah. Disaat teman-teman dengan mudahnya meminta uang saku sekolah dan membeli jajanan disekolah, saya harus menerima berapapun uang saku yang diberikan, dan tak pernah jajan disekolah karena uang saku itu saya simpan sebagai tambahan untuk memenuhi kebutuhan sekolah saya sendiri. Mungkin kalau teman-teman saya akan merengek-rengek pada orantuanya minta uang/ minta dibelikan buku pelajaran, alat-alat tulis, majalah anak, tas sekolah dsb, namun saya harus berusaha sendiri untuk bisa membelinya. Dengan cara itulah saya bisa merasakan bagaimana perjuangan ayah setiap harinya, dan ikut merasakan semangat hidupnya. Never give up!
Tak sampai disitu, ketika saya mulai memasuki bangku SMA (sekolah menengah atas), adik duduk dibangku SD (sekolah dasar), ayah dan ibu bekerjasama mendirikan usaha kecil-kecilan dirumah. Awalnya membuat kerupuk saja, kemudian merambat membuat kripik pisang dan keripik singkong. Jadi, selepas kerja dan sesudah mencari pakan (rumput) kambing-kambing yang jumlahnya antara 8-10 ekor, ayah masih harus berkelana dengan sepedanya untuk mencari pisang jenis tertentu untuk dibeli kemudian dibuat keripik. Tak jarang pencarian pisang itu harus sampai kedesa tetangga. Oh saya tak bisa membayangkan menjadi seperti ayah, seperti apa lelahnya....Sementara untuk pembuatan keripik singkong, bahannya dengan mengambil singkong dipekarangan rumah sendiri.
Tak terasa, usaha yang bangun kenalan baik keluarga kami berkembang pesat. Yang awalnya hanya bisa memberikan sedikit bagian keuntungan, perlahan keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dibangun itu meningkat, yang artinya pembagian keuntungan untuk ayah semakin meningkat. Sehingga sayapun merasa sedikit tenang dalam bersekolah, karena uang pembayaran sekolah kami (saya dan adik) bisa dibayar tepat waktu, dan sayapun bisa fokus pada sekolah saja tanpa harus bekerja lagi. Namun tetap saja, kebutuhan sekolah (buku-buku pelajaran, buku tulis, pensil, pena dll) saya beli dengan uang hasil tabungan uang saku yang tak pernah dijajankan.
Mungkin iya, bila dilihat secara gaji, apalah arti gaji ayah yang setiap bulan itu, setahun pertama hanya Rp. 50.000 perbulan, jelas untuk makan sebulan saja tidak cukup, ditambah dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia dimana semua harga barang melonjak tajam. Dalam waktu setahun mungkin kenaikkan gajinya hanya berkisar Rp. 50.000; saja. Tapi itu semua diterima oleh ayah dengan gembira dan tak pernah sekalipun menggerutu pada nasibnya. Justru ayah bangkit mencari sesuatu yang memungkinkan bisa menambahan pundi-pundi keuangan keluarga/ setidaknya bisa meringankan biaya hidup. Bekerja keras, berusaha semaksimal mungkin, dan terus berdoa, itulah kekuatan ayah, percaya bahwa Tuhan akan menolong kehidupan keluarganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H