Seiring berjalannya waktu, fenomena pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja di dalam suatu keluarga merupakan hal yang lazim terjadi pada era globalisasi ini. Hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan kecenderungan demografi yang melanda seluruh dunia yaitu terdapat peningkatan jumlah pasangan perempuan yang bekerja.
Apabila pasangan suami-istri memutuskan untuk sama-sama bekerja, maka desakan untuk menyeimbangkan antara peran keluarga dan peran pekerjaan yang semakin besar harus dijalankan oleh masing-masing pasangan. Jika kedua peran tersebut tidak terpenuhi dengan seimbang, maka akan mendorong terjadinya work-family conflict (WFC).Â
Work-family conflict merupakan suatu bentuk interrole conflict yang timbul karena seseorang mengalami kesulitan menyeimbangkan peran dalam pekerjaan dan keluarga (Greenhaus dan Beutell 1985). Menurut Herman dan Gyllstrom (1977), seseorang yang sudah menikah lebih sering mengalami work-family conflict (WFC) dibandingkan yang belum menikah karena seseorang yang sudah menikah memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menyeimbangkan peran-perannya demi menjaga keutuhan rumah tangganya. Work-family conflict (WFC) dapat mempengaruhi individu yang bersangkutan, keluarga mereka, dan juga perusahaan (Esson 2004).
MANAJEMEN WAKTU
Manajemen waktu merupakan usaha pengelolaan waktu sebagai sumberdaya yang dimiliki dengan efisien dalam merealisasikan suatu tugas. Dalam pengelolaan waktu yang efektif, dibutuhkan gambaran yang jelas terkait prinsip-prinsip serta nilai utama dalam kehidupan sehingga waktu yang dikelola dapat digunakan untuk hal yang benar-benar penting (Gea 2014).Â
Dalam kasus suami-istri bekerja, kondisi ini terkadang menimbulkan kurangnya waktu bersama sehingga memunculkan konflik dalam keluarga (Brannen et al. 2013). Tuntutan pekerjaan dapat menimbulkan stress dan berdampak pada anak karena adanya keterbatasan waktu untuk mendampingi proses pertumbuhannya (Rustham 2019).Â
Beberapa konsep dasar manajemen waktu yang dapat diterapkan dalam keluarga menurut Gea (2014) adalah memprioritaskan tugas-tugas penting berdasarkan sumberdaya yang tersedia; mengembangkan perencanaan dan menggunakan waktu dengan efisien; memantau penyimpangan dan gangguan yang mengganggu jadwal jalannya sebuah tugas; dan mengembangkan efisiensi serta mengurangi tekanan atas jadwal yang telah dibuat.
STRATEGI UNTUK MENDUKUNG KESEJAHTERAAN KELUARGA
Setiap keluarga pasti mengharapkan kehidupan yang penuh dengan kesejahteraan. Menurut (Prayetno dan Rosyadi (2022), Kesejahteraan (well-being) merupakan suatu produk yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola sehingga menghasilkan nilai manfaaat yang bertujuan meningkatkan kualitas individu, keluarga, maupun umum (lingkup masyarakat).Â
Bagi warga negara, kesejahteraan mempunyai arti yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, spiritual, maupun material yang diliputi rasa ketentraman lahir batin, kesusilaan, dan rasa keselamatan untuk menjalankan kegiatan sebagai bentuk dari pemenuhan kebutuhan rohani, jasmani, dan sosial yang baik bagi individu, keluarga, dan masyarakat dengan menjunjung tinggi harkat dan kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 (Hudi 2022).
Kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kehidupan keluarga. Menurut Dewi dan Ginanjar (2019) dalam Wollny et al. (2010), kesejahteraan keluarga merupakan sebuah konsep multidimensional yang terdiri dari fungsi sebagai unsur dan pemenuhan kebutuhan keluarga yang tergabung dalam berbagai tipe kesejahteraan mulai dari fisik, ekonomi, sosial, maupun psikologis. Kesejahteraan keluarga dapat terbentuk melalui adanya komunikasi yang baik antaranggota keluarga.Â