Filsafat cinta menurut pemikiran Jalaluddin
Seputar tentang cinta
Mahabbah atau yang sering kita sebut sebagai cinta, sangat dibutuhkan di dalam kehidupan manusia. Tanpa cinta, manusia tidak akan bisa merasakan nikmatnya kehidupan, baik cinta kepada sesama atau cinta kepada sang Khaliq. Namun, cinta kepada sang Khaliq (pencipta) haruslah di atas segala kecintaannya terhadap sesama atau lainnya. Salah satu tokoh yang terkenal sebagai filsuf dan seorang sufi cinta adalah Jalaluddin Rumi. Jalaluddin Rumi merupakan tokoh sufi yang sangat terkenal dengan ajaran pokoknya yaitu mahabbah. Dalam kehidupan manusia, kita membutuhkan cinta karena dengan cinta, kita bisa menikmati kehidupan baik itu cinta kepada Tuhan maupun cinta kita kepada makhluk-Nya. Bahkan kita sangat tergantung kepada cinta Tuhan bagi makhluk ciptaanNya. Perihal cinta, manusia senantiasa merasa kebingungan dalam mendefinisikannya. Dalam hal ini Jalaluddin berpendapat bahwa akal yang berusaha menjelaskan adalah kekeliruan. Melalui Matsnawi-nya, beliau mengatakan:
“Cinta tak ada hubungannya Dengan panca indra dan enam arah Tujuan akhirnya hanyalah daya tarik Yang dipancarkan oleh Sang kekasih”
Konsep cinta atau mahabbah Jalaluddin Rumi ini jelas menarik untuk dikaji lebih lanjut. Pemahaman masyarakat mengenai konsep mahabbah yang sering disebut dengan “cinta” itu masih sangat reduksionis. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa cinta identik dengan perasaan saling menyukai dengan lawan jenis, padahal konsep cinta menurut para tokoh seperti halnya Jalaluddin Rumi tidak sebatas itu. Anggapan mengenai cinta yang menyebar di masyarakat tersebut menyebabkan cinta mengalami penyempitan makna yang berakibat pada kurangnya kesadaran untuk cinta kepada sang Khaliq. Oleh karena itu, artikel ini secara lebih jauh mengulas tentang bagaimana konsep mahabbah menurut Jalaluddin Rumi. Sebelum lanjut ke pembahasan selanjutnya, alangkah baiknya kita mengenal terlebih dahulu beografi jaluddin rumi.
Seputar Beografi Jalaluddin rumi
Maulana Jalaluddin Rumi memiliki nama lengkap Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Beliau mempunyai banyak karya yang sangat populer hingga di barat. Sejak kecil Rumi sering berpindah-pindah tempat tinggal dan mengampu pendidikan kepada banyak guru. Karya-karya Rumi sebagian besar ditulis dalam bentuk puisi yang berbicara tentang revolusi teologis yang sedang kehilangan kekuatannya saat itu. Karya-karya Rumi memiliki ciri khas yang unik dibandingkan dengan karya-karya sufi lainnya, dan salah satu yang membedakan puisi Rumi dengan karya-karya penyair sufi lainnya adalah ia biasanya mengawali puisinya dengan cerita pendek. Tapi itu tidak berarti dia ingin menulis puisi naratif. Cerita-cerita ini digunakan untuk mengekspresikan pikiran dan ide.
Filsafat cinta menurut Jalaluddin rumi
Meskipun Jalaludin Rumi ini akrab di kenal sebagai seorang sufi dan penyair, sebagian besar karyanya juga mencerminkan pemikirannya tentang aspek-aspek filosofis dan spiritual. Rumi juga menggabungkan pemikiran sufi dengan konsep-konsep filosofis tentang cinta, oleh karnanya Ketika membahas tentang filsafat, maka pembahasannya kurang sempurna jika kata cinta tidak di sebutkan, karna pada dasarnya filsafat ini berasal dari Bahasa inggris “philosophy” yang di artikan “cinta kebijaksanaan” namun ketika kita berbicara tentang cinta, justru tidak terbatas, karna kata cinta sendiri memiliki banyak arti. Bagaimana penjelasan cinta menurut Jalaluddin Rumi? Mencoba menjelaskan ini seperti menaruh keledai di rawa. Setiap pena yang mencoba menggambarkannya berantakan. Inilah yang dikatakan Maulana di bagian pertama Masnawi.
Menurut Rumi, cinta itu menjadi kekuatan spiritual yang menghubungkan individu dengan Tuhan. Cinta ini bukan hanya perasaan emosional, tetapi juga pengalaman transformasional yang membawa seseorang lebih dekat kepada kebenaran dan kesadaran ilahi. Rumi menggambarkan cinta sebagai “cahaya hati” yang menerangi kegelapan jiwa dan membimbing seseorang menuju pemahaman yang lebih tinggi tentang kehidupan dan eksistensi. Dalam pandangannya, cinta juga dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kesatuan dengan Sang Pencipta, dan merupakan tujuan tertinggi dari perjalanan spiritual seseorang.
Dalam beberapa karyanya, Rumi juga menekankan pentingnya kasih sayang dan pengampunan dalam hubungan antar manusia. Dia percaya bahwa cinta sejati melibatkan pengorbanan diri dan penerimaan orang lain tanpa syarat. Melalui konsep ini, Rumi mengajarkan bahwa cinta itu dapat menjadi alat untuk mencapai kedamaian batin dan keterhubungan yang lebih dalam dengan dunia sekitar. Di kutip dari beberapa karya-karya puisinya, seperti " Divan-e Shams-e Tabrizi " dan " Mathnawi", Rumi terus menggali lebih dalam terkait makna cinta dalam konteks spiritual, menciptakan karya-karya yang terus menginspirasi pembaca dengan puisi-puisinya tentang cinta yang mendalam. Karyanya juga bukan sekadar puisi saja, melainkan panduan menuju pemahaman lebih dalam tentang kemanusiaan dan hubungan manusia dengan keilahian. Warisan filosofisnya tentang cinta tetap hidup dalam karya-karyanya yang timeless, terus menginspirasi jiwa-jiwa yang mencari makna dan kebijaksanaan dalam perjalanan rohaniah mereka.