-Alvin-
“Kita putus Vin!!!”
Entah untuk kesekian kalinya, aku mendengar kata-kata itu dari mulut pacarku sendiri. Dari sekian mulut, aku juga nggak inget berapa yang sambil menyemburkan beberapa mili air. Ah dasar cewek, tak bisa diajak kompromi. Pas lagi enak aja luluh, pas udah bosen nyolot. Dia bilang aku suka deketin cewek lain. Biasalah efek samping kebanyakan kepo.
“Gimana udah move on?” si Bray nyeletuk di sela-sela kuliah yang membosankan itu.
“Udah lah, ngapain lama-lama galau.” Komentarku agak ketus. Memang sejak putus mukaku sering suram.
“Hahaha, lu emang bener-bener ya, nggak kapok-kapok.”
“Lu juga kan, nggak kapok menjomblo mulu, eh.” Balasku sambil menampakkan senyum sinis, jenis senyum favoritku.
“Gue mah ngikut ikhwan-ikhwan itu bro, menjaga diri, hahahah.”
“Hahaha, alibi lu nggak variatif banget sih,” Kami tertawa. Memang si Bray ini penghibur sejati.
“Ati-ati bro, bentar lagi UTS, belajar gih jangan mikirin cewek terus.”
“Tumben lu nasihatin gue Bray? Kapan sih UTS gue pernah jeblok? Hahaha.” Kebiasaan congkak-ku kumat.
“Iya deh, lu mah dewa, ajarin gue napa, kan kita friend. Tolong-menolonglah dalam hal kebaikan kata pak ustadz, ini UTS kita yang terakhir loh.”
“Kebaikan gimana, udah gue bilangin jangan minta ajarin pas di ruang ujian!! Pfftttt…..”
Begitulah keseharian kuliahku, kalo nggak ngobrolin yang nggak penting, ya pacaran. Semua jenis pacaran pernah aku rasain di kampus, mulai dari pacaran syar’i, pacaran alay, pacaran high cost, pacaran terselubung, sampai pacaran kakak-adik. Tak heran apabila image pacar hunter melekat di wajah ini. Aku nggak ingat siapa yang mengajarkan aku jadi gini, yang jelas dulu selama SMA aku menjalani jenis pacaran kuno -pacaran sok setia-. Tapi semua sifatku berubah setelah negara api menyerang, maksudku menyerang dengan api asmara yang selalu menggelorakan jiwa. Belakangan aku sudah nggak bisa lagi bedain mana HP mana gebetan, soalnya ketika lihat yang model baru, selalu terasa lebih menarik.
Putus pacar kali ini terasa aneh, karena enam bulan setelahnya nggak ada gebetan yang hinggap di jendela hatiku. Ah ini pasti gara-gara black campaign teman-teman yang sirik aku gampang dapet pacar. Atau jangan-jangan cewek sudah jenuh dengan model cowok seperti aku? Belum hilang kecurigaanku, aku malah disibukkan dengan kesumpekanku sendiri. Hati nggak pernah tenang, cuma tersisa resah gelisah. Aku menduga ini adalah penyakit baru yang bernama sakau jomblo.
Parahnya lagi, penyakit yang aku derita ini malah kumat di malam menjelang sidang skripsi. Sudah bisa ditebak, sidangku hancur lebur nggak bersisa. Aku harus menerima kenyataan pahit bahwa sidang harus diulang, oh sh*t. Aku mulai merasa ada yang nggak beres dengan duniaku. Duniaku sekarang sangat berbeda dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, aku berasa punya ‘dua dunia’, dan sekarang aku memasuki ‘dunia lain’. Dunia yang tak bisa menuruti apapun keinginanku.
Sepertinya Tuhan mulai menyapaku, mendadak aku disadarkan pada dosa-dosaku selama ini. Pacaran, nyontek tugas, bolos rapat, nggosip, bohongin ortu, dan sebagainya, dan seterusnya. Aku sempat berkonsultasi dengan temanku yang bakat menjadi motivator. Dia bilang mungkin aku lagi futur. Demi Neptunus! Kefuturan ini aku alami sepanjang aku kuliah dan baru sekarang aku menyadarinya. Aku mulai membeli dan membaca buku-buku motivasi di toko buku terkenal, juga buku yang mengajarkan bagaimana agar sholatku menjadi penyejuk jiwa, tidak cuma sekedar senam kesehatan saja. Dari situ juga, aku memutuskan untuk back on the track, kembali ke jalan yang benar.
“Minggu depan gue mau pulang.” Kataku pada si Bray.
“Serius? Bukannya lu lagi dikejar deadline sidang part two?”
“Udah gue pending, kata dosen gue boleh.”
“Pending berapa minggu?”
“Nggak, bulan depan.” Jawabku datar, diikuti dengan ekspresi kaget si Bray.
“Ebuset, kok bisa?”
“Bisa lah, lobby bro. Kakak gue nikahan. Kejiwaan gue juga lagi suram parah. Gue butuh netralisasi. Sekitar seminggu lah di kampung.”
“Oke oke. Gue ngerti hidup lu lagi berantakan belakangan ini. Gue cuma bisa ngasih semangat bro. Lu harus tegar, karena setiap hal terjadi untuk maksud tertentu.”
“Lu habis baca buku apaan bisa ngasih nasihat gitu? Haha.”
Hari pertama di kampung, aku menyempatkan jogging pagi sekalian mampir ke SMA ku dulu, sekedar lihat-lihat dari luar pagar, kebetulan nggak jauh dari rumah. Aku duduk di sebuah halte di depan SMA beberapa menit, sambil menikmati suasana pagi yang belum terlalu ramai.
Aku mencoba menarik napas dalam-dalam dengan mata terpejam. Ingatanku kembali ketika masih jadi murid di sini. Pulang sekolah, terjebak hujan, memakai sweater andalanku, menikmati terpaan angin yang membawa tetesan air hujan. Di sampingku ada seorang perempuan, dengan seragam yang sama, rambut diikat satu tergerai sampai setengah punggung, kedua tangan memegang ujung bangku besi, dan kaki yang menggantung dengan sepatu kets dan kaos kaki seperempat betis. Sesekali dia melempar senyum, mulutnya terbuka mengatakan sesuatu, aku nggak ingat apa yang diucapkannya, yang jelas setelah itu aku juga ikut tersenyum, begitu seterusnya. Hey, dimana dia sekarang? Terakhir kali ketemu juga di tempat ini, aku memberikan semacam pin bergambar kartun favoritnya. Setelah itu kami belum pernah ketemu lagi.
Diiiiiiitttttt!!! Suara klakson membuyarkan imajinasiku.
“Woooyy! Ngapain lu pagi-pagi ngelamun?”
“Bangke lu!! Ngagetin aja!!”
Dodi, sahabat SMA-ku dulu, memang sebelas-duabelas sama si Bray, sama-sama nyebelin.
“Hahaha, sejak kapan pulang? Tumben nggak ngasih kabar.”
“Dari semalem, besok kakak gue nikah.”
“Oh gitu. Eh gue jadi inget, kabarnya ada yang mau ngelamar si Intan. Lu kemana aja sampe kalah start gitu? Buruan gih lulus, kerja! Hahaha.”
“Apaan sih, nggak jelas banget, anterin gue pulang dong!”
“Eits, gue nggak mau ngerusak acara jogging lu, jalan kaki lah. Duluan yak!! Byeee”
Emang kampret itu anak. Benar-benar nggak bertanggung jawab, udah ngerusak suasana melankolis yang sedang aku ciptakan. Tadi sampai mana ya ngelamun nya? Ah udahlah, udah hilang moodnya. Eh, tapi apa bener yang dibilang si Dodi tadi? Kalaupun bener, aku bingung harus ngrespon gimana, ya udahlah, nggak penting juga.
Hari kedua, aku ‘sibuk’ mengurus acara pernikahan kakakku. Rekor baru, selama satu hari penuh dipaksa senyum ramah, menyambut dan menemani ngobrol para tamu. Hebatnya lagi, aku masih bisa tersenyum ketika diberondong pertanyaan “Kapan kamu nyusul?”, walaupun jenis senyumnya adalah senyum getir.
Sejujurnya aku heran, kakakku ini berhasil menikahi cewek yang sudah dipacarinnya selama 5 tahun, itu pacaran apa masa jabatan presiden? Lama amat. Pernah aku nanya, apa rahasianya hubungan awet? Kakakku menjawab, “Anggap aja lu milih pacar kayak mau beli mobil. Pilih yang paling cocok, nilai jualnya nggak cepet jeblok, dan yang paling penting itu dirawat, sering di-service.” Aku melongo. Aneh sekali perumpamaan kakakku. Tapi ada benernya juga sih. Kenapa nggak bilang dari dulu kak? Adikmu ini milih pacar kayak mau beli HP, bentar-bentar ganti.
Hari-hari berikutnya aku banyak menghabiskan waktu di rumah, bantu-bantu kerjaan orang tua. Ceritanya edisi insyaf, Birrul Walidain. Banyak juga dapet nasihat orangtua yang bikin jleb. Salah satunya, gimana mau jadi imam keluarga, kalau jadi makmum masjid aja males? Maaakk!!
Tepat seminggu, aku rasa liburanku cukup, lebih tepatnya aku sudah tak mampu lagi menahan malu karena menyadari kualitas hidupku yang jauh dari ekspektasi orang-orang di rumah. Aku memutuskan balik ke kampus. Seperti biasa, aku berangkat dari terminal, naik bus langganan yang sopir dan kondekturnya sudah hafal dengan wajahku, wajah anak rantau yang penuh penderitaan.
Waktu itu hari sudah gelap total, menjelang Isya. Di dalam bus hanya ada beberapa penumpang saja. Aku mengusir bosan dengan nge-chat teman-teman kuliahku. Pas lagi asik-asiknya, aku mendengar mesin bus dinyalakan, getaran mesinnya terasa kuat di kepalaku yang bersandar di kaca jendela. Beberapa penumpang terakhir sudah naik ke dalam bus, ah kursi banyak yang kosong, bisa sambil tiduran nih. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara seseorang yang memanggil namaku.
“Pipin??”
Dan setahuku cuma keluargaku yang memanggil dengan nama itu. Aku kebingungan di tengah temaram lampu interior bus. Menebak-nebak siapa sosok di depanku itu. Keringat dinginku mulai keluar.
***
-Intan-
Aku tidak menghitung berapa minggu kami bertahan dengan hubungan jarak jauh ini, mungkin hanya belasan. Yang jelas sejak kita terpisah, semuanya menjadi berbeda. Sulit sekali mendapatkan kesempatan untuk bertemu, ketika dia libur, aku masih ujian, dan ketika aku mau mudik ke rumah, dia sudah berangkat kuliah. Kata orang, yang penting jaga komunikasi, mereka mungkin nggak ngerti kadangkala kalau kita sudah disibukkan oleh sesuatu, kita jadi melupakan beberapa hal, bongkar-pasang urutan prioritas. Dan itulah yang terjadi. Mungkin aku bukan prioritas utamanya lagi, ini wajar saja terjadi. Tak apa, selama keberadaanku masih diakui.
Aku masih di perpus ketika itu. Dia bilang sudah nggak kuat, kenapa nggak kuat? Bukankah perasaan kami masih sama? Aku juga baik-baik saja sejauh ini, lebih tepatnya berusaha untuk kuat. Dia bilang hubungan kami akan sia-sia saja, what? Setelah semua ini tega-teganya dia bilang seperti itu. Dia bilang lebih baik aku mencari pengganti yang lebih baik, why? Bahkan tak pernah sekalipun aku punya pikiran seperti itu. Tapi aku bisa apa? Dia telah mengambil keputusan. Aku juga nggak mungkin memohon-mohon lebih jauh lagi, karena aku juga masih punya sepotong harga diri. Aku terima keputusannya, walau harus jalan kaki terburu-buru dari perpus ke kos, menahan derasnya air mata.
Aku akui, saat itu adalah momentum perubahan diriku dan perubahan pemikiranku tentang perasaan antar laki-laki dan perempuan. Rasa suka, naksir, kesengsem, apapun itu, memang boleh-boleh saja. Masalah dampak baik buruknya, tergantung seberapa kuat kita bisa mengendalikan rasa itu. Aku memang suka dia, aku sadar mengakhiri hubungan bukanlah keputusan yang buruk, karena dengan begini aku bisa lebih membuka mata, memaknai hakikatnya perasaan ini. Namun, apakah dia kira mengenyahkan bayang-bayang dirinya itu mudah? Sekarang aku hanya bisa menempatkan perasaan ini di belahan otak yang jarang terjangkau oleh saraf-sarafku, menelantarkan sisa rasa kagumku padanya. Menyakitkan, bisa jadi, tapi apa ada pilihan lain?
Aku sedikit terhibur oleh kata-kata dosenku. Perempuan itu tidak usah agresif, tapi menciptakan keadaan untuk di’agresif’in. Sayangnya sekarang ini banyak laki-laki yang agresif terlalu dini. Memang sih umur mereka sudah pantas untuk menikah, tapi apa jaminannya? Masih banyak faktor yang bisa membuat hati berubah haluan, bahkan balik kanan. Ketika semua asa terasa sempurna di angan-angan, tapi jatuh berkeping ketika mencoba diwujudkan dalam realita. Aku tak mau menjadi bagian dari fenomena itu, itu prinsipku.
Minggu lalu, gara-gara kakak kelasku yang bernama Fito berniat melamarku, aku disuruh pulang mendadak, kata Papa ada hal mendesak yang mau dibicarakan, aku sudah tahu pasti tentang lamaran itu. Ya Allah, baru kali ini aku enggan pulang ke rumah. Sudah kucoba berdalih sibuk penelitian dan seabrek aktivitas lainnya, tapi orangtuaku kekeuh memaksaku pulang, barang sehari saja.
“Coba yakinkan Papa bahwa Papa harus menunda bahkan menolak lamaran Fito.” Melihat ekspresinya, aku yakin Papa sudah terpancing emosinya akibat sikapku yang ogah-ogahan.
“Pah, Intan mohon banget, setidaknya urusan seputar perjodohan berikan Intan lebih banyak kesempatan. Lagian Intan belum mau mikirin itu semua Pah, Intan masih ingin fokus kuliah, Intan masih ingin bebas Pah!” Aku menjawab dengan mata berkaca-kaca.
Nampaknya aktingku sukses mencuri sedikit perasaan iba dari Papa. Papa memberi tenggang waktu sampai aku wisuda untuk membicarakan masalah ini lagi. Bagiku itu lebih dari sebuah kemenangan.
Besoknya, aku pergi diantar Iva, teman akrabku sejak SMA. Rencananya aku mau mengunjungi sepupuku di luar kota, itung-itung liburan sejenak.
“Lu serius nggak mau trima lamaran kak Fito?” Tanya Iva yang sedang mengemudikan motornya.
“Apa?? Nggak denger!” Suara angin mengganggu pendengaranku.
“Lu serius nggak mau trima lamaran kak Fito??!”
“Nggak, aku belum punya waktu buat mikirin itu.”
“Kalau aku jadi kamu sih, mungkin aku bakal trima.”
“Kenapa gitu?”
“Yaiyalah, Fito kurang apa coba, ganteng, baik, udah kerja, lu liat sendiri kan. Sekarang yang gue heran adalah kenapa lu seolah males banget mempertimbangkan lamaran dia.”
Aku diam sejenak, mencari jawaban yang tepat agar percakapan ini tak berujung perdebatan.
“Va, menurutku urusan perasaan tidak sesederhana itu. Aku merasa, aku masih punya hak untuk menolak.”
“Jangan-jangan lu masih ngarep si Alvin ya? Jangan bilang itu bener.”
“.......”
Aku nggak fokus mendengar pertanyaan Iva. Baru saja kami melewati jalan depan SMA, dan melihat halte tua itu. Masih jelas dalam ingatanku, setiap pertemuan dengannya, selalu di tempat itu. Ketika kami duduk berdua, nggak ada yang berani mengusik, halte serasa milik kami berdua. Dulu dia selalu menanyakan banyak hal, aku hanya mengikuti kemana dia bicara, seringkali kami sampai lupa waktu. Andaikan sekarang kita ketemu, gantian aku yang ingin menanyakan banyak hal : kenapa, kenapa, dan kenapa??
Dug!! Ujung depan helm-ku beradu dengan bagian belakang helm Iva, lumayan keras.
“Ntan, udah nyampe terminal nih! Lu ngantuk ya??”
“Hehe sory, iya nih, lagian kamu juga mendadak banget ngeremnya.”
“Udah sana buruan, ntar ketinggalan bus, ati-ati di jalan.”
“Makasih banget Va, dadah.”
Aku setengah berlari masuk terminal, beruntung bus yang mau aku tumpangi belum jalan. Setelah membayar tiket di pintu bus, aku segera mencari tempat duduk yang kosong. Saat sampai di bagian tengah, langkahku terhenti. Seseorang duduk di kursi dekat jendela, kepalanya menyandar di kaca, sambil bermain dengan gadget-nya. Laki-laki ini tidaklah asing, refleks aku memanggilnya walaupun dengan nada ragu. Astaghfirullah, dia menengok ke arahku, menatap bingung. Beberapa detik waktunya untuk bisa mengingatku.
“Intan??”
Kakiku tiba-tiba lemas. Ya Allah, kenapa harus ketemu dia sekarang.
***
Dua orang itu mengalami hal yang sama, salah tingkah dan tak bisa menguasai keadaan. Intan, yang kakinya sudah lemas, terpaksa menghempaskan diri di kursi sebelah Alvin.
“Pin, nggak apa-apa kan aku duduk di sini?”
“Eh. . . ii. . iya, iya, nggak masalah, nggak ada orang kok.” Alvin masih gugup. Suasana hening sejenak. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Masih tidak percaya dengan kebetulan yang mengejutkan ini.
“Kamu mau ke. . ”
“Kamu sendirian aja eh, apa?”
“Barusan bilang apa?”
“Kamu duluan aja. . “
Salah tingkah memang tidak nyaman, mau ngomong saja tabrakan.
“Intan mau kemana?”
“Oh, mau ke rumah sepupuku. Kamu sendirian aja?”
“Iya, sendirian. Emang biasa gini.”
“Gitu ya. . .”
Bus mulai menyusuri jalanan kota yang terang oleh lampu bertiang tinggi. Cahayanya melintas teratur menyapu wajah Alvin. Tampak raut muka Alvin sedang menahan gelisah. Pak sopir mulai memutar lagu-lagu favoritnya, volumenya tidak begitu keras.
“Kamu apa kabar pin?” Intan memulai lagi percakapan dengan ramah.
“Baik kok, kamu sendiri gimana? Oya udah mau lulus ya?
“Alhamdulillah, sehat-sehat aja. Hhhmm, belum sih, masih beberapa bulan lagi kayaknya.”
“Oh gitu? Sama dong.”
“Tumben pulang, lagi libur?”
“Nggak sih, kebetulan kakakku nikah, sekalian libur beberapa hari di sini.”
“Oiya? Aku malah baru denger. Sama mbak Tari bukan?”
“Iya sama mbak Tari, kok tau?”
“Ya nebak aja sih, kan emang mereka udah dari dulu kan.”
Sedikit demi sedikit, suasana mulai cair. Dari sekian penumpang, cuma mereka berdua yang punya kegiatan asyik. Walaupun topik obrolan masih seputar basa-basi, tapi nampaknya itu sudah cukup memuaskan kerinduan masing-masing.
“Pin, kapan ya terakhir kita ketemu?”
“Eh, terakhir ketemu?” Alvin gelisah lagi.
“Tadi aku lewat depan SMA, di halte itu bukan sih?”
“Iya bener, di halte itu ntan, sebelum aku pindahan kalau nggak salah. Kemarin aku juga kebetulan ketemu sama Dodi di situ.” Sebenarnya Alvin ingin bertanya kenapa tiba-tiba Intan nanya itu, tapi urung, lebih berharap berganti topik.
Suasana terdiam lagi. CD player yang diputar Pak Sopir sedang memainkan sebuah lagu dari band lawas terkenal. Karena tak ada aktivitas lain, Alvin iseng mendengarkan lagu itu.
Mengapa satu rasa berlari
Mengejar segala perbedaan
Yang seharusnya tak ada di batas bening jiwa.............
Alvin mulai terbawa alunan lirik lagu itu. Memorinya kembali terputar, dia menyadari bahwa apa yang pernah dia lakukan terhadap Intan adalah sebuah kesalahan. Dada Alvin sesak dengan semua penyesalan.
“Pin, boleh nanya sesuatu nggak?” Alvin tersentak, kemudian menoleh, tapi hanya diam, seakan menunggu kata dari Intan selanjutnya. Intan menghela napasnya.
“Sejujurnya ini bukan hal yang penting. Aku menanyakan ini hanya untuk kepuasanku saja. Tapi kalaupun kamu nggak bersedia jawab, aku juga nggak maksa.”
Alvin masih diam. Pikirannya menebak-nebak apa yang bakal ditanyakan Intan.
“Aku masih nggak ngerti kenapa dulu kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita. Maksudku, apakah kamu nggak mau punya hubungan dengan cewek lagi? Atau gimana?”
Tebakan Alvin benar. Dia menyeka keringat dingin di dahinya. Tatapannya berpindah ke arah kursi di depannya.
“Maaf kalau pertanyaanku nggak sopan, maaf banget.” Intan merasa tidak enak karena Alvin tak kunjung memberi respon, khawatir dia tersinggung atau marah.
“Intan.” Alvin berkata setelah satu tarikan napas yang panjang.
“Iya?”
“Aku boleh cerita jujur nggak?”
“Oh silakan Pin, aku nggak masalah kok.”
Alvin mulai bercerita, mungkin dari paling awal. Intan serius sekali menyimak, hanya sesekali mengernyitkan dahi dan lebih sering manggut-manggut. Entah darimana Alvin bisa merangkai kalimat-kalimat penjelasan itu. Namun yang pasti, dia mengatakannya dengan jujur. Tentang perjalanan cintanya, tentang kegalauannya, tentang kesumpekannya, tentang resolusinya, permohonan maafnya, semuanya.
“Sorry ceritaku berantakan, loncat-loncat. Aku nggak siap ngasih penjelasan ke kamu.”
“Nggak apa-apa kok Pin, aku bisa nangkep ceritamu, makasih udah jujur, makasih banget.”
“Oiya Ntan, aku denger ada yang mau ngelamar kamu? Itu beneran? Siapa?”
“Pasti tau dari Dodi ya? Iya, kak Fito.”
“Trus? Kamu trima?”
“Enggak Pin.” Intan menundukkan kepalanya.
“Loh kenapa?” Alvin penasaran, sekaligus deg-degan menunggu jawaban Intan.
“Aku masih menunggu seseorang yang tepat, mungkin memang dia, tapi bisa jadi bukan.”
Intan menegakkan kepalanya, menatap Alvin sedetik, lalu membuang lagi pandangannya.
“Hhhmmm, aku cuma bisa berdoa dan kasih semangat buat kamu ntan, semoga kamu dapet cowok yang terbaik, aku yakin itu.”
“Iya, makasih Pin. Kamu juga berusaha ya.”
“Hehe, aku mah apa atuh, butiran debu nggak jelas gini.” Alvin tersenyum getir, baru kali ini dia merasa nggak pantas di depan seorang cewek. Alvin memalingkan muka ke luar jendela. Baru saja Alvin sempat berpikir untuk kembali pada Intan, tapi nampaknya ada tembok besar yang menghalangi pikiran itu, dirinya yang sekarang bukanlah sosok yang memungkinkan bagi Intan. Matanya tiba-tiba berat, kantuk mulai merenggut kesadarannya, sebentar saja dia sudah terlelap.
Intan masih terjaga. Sesekali dia melirik Alvin yang nampaknya sudah tertidur. Tampak masih ada yang mengganggu di benak Intan, jangan-jangan ada kata-katanya yang salah diucapkan?
Suara intro piano dari sebuah lagu, mengalihkan perhatian Intan. Masih dari band yang sama, namun lagu yang berbeda. Memasuki verse pertama, Intan terdiam, mencoba memahami. Verse kedua, Intan mulai tenggelam. Segaris senyumnya terlihat ketika reff pertama. Dan saat reff-reff selanjutnya, bibir Intan bergerak mengikuti suara sang vokalis. Sampai akhirnya Intan ikut hanyut tertidur.
***
“Ntan, bangun udah pagi.” Alvin mencoba mengguncang bahu Intan. Intan masih menggeliat lesu.
“Astaghfirullah, ini udah nyampe mana Pin?!”
“Sebentar lagi kamu turun kan, belum lewat kok.”
Intan merapikan tas bawaannya dengan tergesa-gesa. Dia harus turun lebih dulu daripada Alvin.
“Nah sudah sampai tuh.” Kata Alvin sambil menunjuk gerbang terminal yang terletak di pinggir ibukota.
Saat mengantar Intan turun dari bus, Alvin tak sengaja mellihat pin bergambar kartun itu terpasang di tas punggung Intan, dan Alvin tak pernah menyangka itu. Mungkin ini bisa menjelaskan semuanya? Mematahkan semua asumsi semalam yang membuatnya lemas dan tertidur?
“Aku duluan ya Pin, makasih banyak.” Intan tersenyum sambil membalikkan badan.
“Eh tunggu dulu!!”
“Kenapa?”
“Ntan, jika aku masih boleh menjadi seseorang itu, pastikan kamu masih punya waktu untuk menunggu.”
Intan mematung beberapa detik, kemudian membalas dengan senyuman, lebih manis dari biasanya. Dia melambaikan tangan dan berbalik melangkah. Ada sisa-sisa lagu semalam yang masih terngiang di telinga Intan.
Cinta kan membawamu, kembali di sini
Menuai rindu, membasuh perih. . .
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H