Mohon tunggu...
Achor Mohammad
Achor Mohammad Mohon Tunggu... MT Bank Danamon -

Alumni IPB 47, Teknologi Industri Pertanian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menolak Rasa

22 Februari 2015   03:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:45 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namamu siapa? Belakangan ini pertanyaan konyol itu selalu memenuhi pikiranku. Konyol karena baru kali ini aku ngerasa penasaran dengan nama seseorang, dan itu laki-laki. Padahal untuk tahu namamu semudah membalikkan telapak tangan, tapi aku merasa malas saja. Bisa saja aku bertanya temanku, atau siapa saja yang kenal kamu, tapi aku ragu-ragu, takut nanti ada yang curiga. Lagian aku masih menikmati rasa penasaran ini, kata orang ‘biarlah waktu yang akan memberi jawabannya’, uhuk-uhuk, aku keselek. Sambel gado-gado hampir saja nyasar ke tenggorokan, gara-gara terlalu jauh melamun. Aku terbatuk-batuk.

“Minum Ren, ini nih.” Nabila segera menyodorkan es tehnya kepadaku.

“Huaahh, makasih Bil.” jawabku setelah menyedotnya hampir habis.

“Lagi ngapain sih, sampe keselek gitu? Mikirin apa?”

“Nggak ada sih, lagi nggak fokus aja, sambelnya pedes banget nih.”

“Eh buruan, udah mau jam tiga lho, jangan sampe telat ngumpul. Mau dibantuin ngabisin ga gado-gadonya?”

“Ihh dasar, nih abisin semua.” Aku sudah tak selera lagi setelah lamunanku buyar. Nabila tersenyum cuek sambil mengarahkan sendoknya ke piringku. Semenit kemudian isi piringku sudah tandas. Dasar nggak tau malu nih anak, pinter-pinter tapi rakus juga. Ngomong-ngomong, tadi sampe mana ya ngelamunnya? Ah dilanjut nanti saja, sekarang aku harus buru-buru kumpul tim pelatih pasukan khusus pengibar bendera SMA-ku.

Sebagai mantan anggota passus, aku diberi tanggung jawab untuk menjadi tim pelatih passus pada tahun berikutnya. Nabila juga ikut, tapi dulu kami beda satuan pasukan, aku ada di pasukan delapan, sedangkan Nabila pasukan tujuh belas. Tugas ini aku jalani dengan semangat empat lima, karena disamping ada rasa bangga, juga punya kesempatan untuk ‘tebar pesona’ di depan para junior. Dua alasan itu cukup memberi energi ekstra walaupun harus rela pulang menjelang petang.

Sore itu agak mendung, sinar matahari hanya bisa menembus celah-celah awan yang menggumpal. Rumput yang tumbuh di taman-taman kelas nampak kering, tumbuh pendek-pendek dan tidak merata, akarnya tercerabut dari tanah. Musim kemarau masih panjang, mendung bukanlah jaminan bagi hujan.

Latihan pun dimulai, sesi pertama adalah penjelasan umum. Temanku yang mantan komandan passus memberikan orasinya tentang apa itu passus, tanggungjawabnya, nilai-nilai yang harus dipegang, dan entah apalagi, yang jelas hal-hal abstrak. Aku berdiri di samping kanan barisan calon anggota. Daripada nganggur, aku iseng mengamati wajah-wajah baru itu.

Eh, itu kamu?? Mataku tertuju pada siswa laki-laki yang badannya lumayan tinggi, tegap, dengan mimik sedang serius mendengarkan. Iya itu kamu!! Pandanganku turun ke arah badge namamu, ‘Brata Senna’ aku membaca lirih tulisan itu. Yes!! Ada kegirangan kecil yang aku dapatkan, akhirnya aku tau juga namamu, nggak perlu repot-repot tanya siapapun, Tuhan memang Maha Pemberi Petunjuk, hehe.

Aku masih punya beberapa menit untuk memperhatikan lebih detail sosokmu. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Sepertinya kamu lebih tinggi beberapa senti dari aku. Rambutmu agak pendek, disisir rapi ke samping. bahumu terlihat kuat, mungkin kamu atlet voli atau basket. Raut mukamu mengisyaratkan kamu bukan anak pemalu, bukan siswa cupu, kamu keren!! Dan yang paling membuat aku kagum adalah matamu yang berwarna madu, cukup sulit mencari nama yang pas, yang jelas mirip warna madu.

Latihan terus berlanjut. Sesi berikutnya adalah praktik gerakan dasar. Calon anggota dibagi dalam kelompok-kelompok. Aku mendapat tugas untuk berkeliling mengawasi kalau ada gerakan atau sikap yang salah dari mereka. Dengan langkah sedikit congkak, aku memutari barisan. Tepat saat di depan barisanmu, aku melihat sikapmu ada yang keliru, spontan saja aku menegurmu.

“Brata! Tanganmu kurang mengepal, nih lihat, gini.” Aku mencontohkan posisi yang benar, tapi karena dia masih saja salah, terpaksa tanpa canggung tanganku membantu membetulkan tangannya. Dia pasrah saja aku perlakukan seperti itu.

“Nah gitu baru bener, jangan salah lagi Brata!”

“Iya kak, maaf.”

Aku baru sadar, kita kan belum kenalan, kenapa aku main panggil-panggil aja ya? Nanti ketahuan pula kalau aku ngamatin kamu dari tadi. Duh! Semoga dia nggak berpikir macem-macem, malu juga kan.

“Untung cuacanya nggak panas ya Ren, capek juga ngurus segini banyak anak.” Nabila menghampiriku sambil menyeka keringat di lehernya.

“Iya sih, tumben aja hari ini mendung.” Timpalku.

“Eh udah liat belum cowok yang dibarisan itu? Ada yang cakep lho.”

“Cowok? Yang mana??” Aku mulai cemas, jangan-jangan yang dimaksud Nabila itu Brata.

“Itu tuh yang cowok putih tinggi, keliatan nggak?” Nabila mendekatkan kepalanya ke pipiku sambil mengarahkan telunjuknya. Deg! Ternyata bener yang ditunjuk itu si Brata.

“Oh itu, menurutmu cakep?” tanyaku.

“Gile itu cakep banget, aku yakin dia bakal jadi ‘Rising Star’ di sekolah ini, hahahah.” Jawab Nabila bersemangat. Iya sih, kamu bener Bil, dia cakep, tapi aku ga mau ngakuin terang-terangan, gengsi ah, kataku dalam hati.

“Eh, ngomong-ngomong, gak terasa ya kita tinggal satu tahun lagi di sekolah ini.” Celetuk Nabila.

“Hhhmm, emangnya kenapa?”

“Ya berarti sayang aja kalau momen-momen terakhir kita di sekolah nggak dimanfaatkan dengan baik. Kalau nggak ada momen indah, ntar nggak ada yang bisa dikenang. Apalagi jomblo kayak kamu Ren, hahahah.”

“Apaan sih, emang cuma yang pacaran yang punya momen? Jomblo juga bisa punya kali.” Aku membela diri.

“Oh I see, maksudmu momen kesendirian?” Nabila tertawa puas menggodaku dengan telak. Entah kenapa aku selalu mati kutu kalau adu ejek sama dia.

“Udah ah, pulang yuk, udah hampir Maghrib.”

Hari memang sudah mulai gelap, bisa-bisa aku ketinggalan angkot terakhir kalau ejekan Nabila ku layani. Aku segera melangkahkan kaki ke depan gerbang sekolah, menunggu angkot yang datang dari arah kanan. Beberapa menit menunggu, akhirnya ada angkot warna hijau mendekat. Aku menghembuskan napas lega.

Dari dalam angkot terlihat lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Beberapa penjual makanan di pinggir jalan nampak sibuk di depan wajan-wajan besar, dengan api yang menjilat dibawahnya. Aku menghembuskan napas lagi, hari ini rasanya cukup melelahkan. Ada momen yang membuatku tersenyum sendiri, tentu saja yang terlintas adalah sosok Brata. Namun sejenak kemudian mataku seperti menerawang sesuatu. Pandanganku tertuju pada tiang-tiang Jembatan Panjang di ujung sana,  beton penopangnya terlihat semakin tua menahan aliran sungai yang membelah kota asalku ini. Benar kata Nabila, setahun lagi ya aku di sini? Lantas setelah itu kemana? Pindah kah? Kalau iya, berarti harus meninggalkan semua yang ada di sini, termasuk kamu? Aku tersenyum getir, tanpa sadar aku menggigit pelan bibirku sendiri.

***

Besoknya, aku terjebak dalam situasi dilematis. Aku harus berpapasan dengan Brata di koridor kelas. Dari jauh aku sudah gelisah memikirkan bagaimana caranya menyapa. Setelah semakin mendekat, aku bermaksud memalingkan wajahku. Tapi di langkah terakhir. . . .

“Hhhai... Brata, mau kemana?” kata-kata itu yang akhirnya kupaksakan keluar.

“Eeh. . . kak Rena.” Brata terlihat tidak siap menerima sapaanku, mungkin dia tidak menyangka bakal disapa.

“Ini kak, mau ke ruang guru. Oiya kak, panggil aja aku Senna, jangan Brata, hehe.”

“Oh gitu ya, maaf, Senna.”

“Nggak papa, duluan ya Kak.” Dia tersenyum sambil berjalan pergi.

Dasar o’on! Kenapa aku manggil namanya, salah pula, untung tadi nggak ada yang lihat. Eh! Tapi kalau tidak salah tadi dia nyebut namaku, tau dari mana? Wah, jangan-jangan. . .

“Hei Ren!!” Sepasang tangan menepuk bahuku dari belakang, membuatku kaget setengah mati.

“Gimana undangan PMDK itu? Udah dikirim?”

“Maksudmu yang kemarin itu? Belum, sejujurnya aku nggak begitu tertarik sih, tapi aku mau aja kalau disuruh nyoba, iseng-iseng, kali aja berhadiah.”

“Enak ya kamu, pinter, bisa pede daftar ke mana aja.”

“Lah emangnya kamu lebih bodoh? Nggak usah merendah untuk meroket gitu deh.” Nabila hanya tertawa, riang seperti biasanya.

Hari-hari berikutnya, aku bisa semakin akrab dengan Brata, eh Senna. Ngobrol ringan di sela-sela latihan ternyata cukup meningkatkan kedekatanku dengannya, ya walaupun sebatas hubungan senior-junior. Aku mulai mengenalnya sebagai sosok yang lugas, percaya diri, dan sangat sopan, untuk ukuran seorang adik kelas. Beberapa kali dia bercerita tentang kehidupan pribadinya kepadaku, tentang mama-papanya, tentang masa kecilnya, tentang apapun yang tidak semua temannya tahu.

Sejujurnya aku sedikit khawatir, gimana jadinya kalau aku naksir beneran? Memang susah untuk mengartikan perasaan ini, intinya aku cuma suka saja bertemu dengannya, ngobrol, ngeliatin matanya. Kalau hanya seperti itu, belum bisa disebut naksir kan? Oke lah, apapun jenis rasa ini, nggak apa-apa, yang penting aku nggak cerita ke siapapun, termasuk Nabila. Aku memang bukan orang yang terbuka, yang bisa dengan mudah bercerita ke seseorang, apalagi dengan seorang laki-laki.

***

Beberapa bulan telah berlalu, musim kemarau sudah berganti. Sore itu, kantin sekolah sangat ramai. Di luar sedang gerimis, anginnya juga dingin, sehingga menyantap makanan adalah aktivitas yang sangat cocok sambil menunggu langit kembali terang. Di salah satu sudut kantin, aku duduk. Di seberang, terpaut satu meja, ada Senna dan temannya. Dengan posisi yang berhadapan membuat aku memiliki banyak kesempatan memperhatikan Senna. Aku sedang menyendokkan makanan ke mulut, ketika tiba-tiba Nabila datang dan berteriak di telingaku.

“Ren!! Udah liat pengumuman di ruang BK belum?”

“Pengumuman apa Bil?”

“Itu loh, PMDK mu waktu itu, kamu diterima!! Selamat yaa!!” Nabila langsung memelukku. Aku yang dalam kondisi bingung, hanya pasrah diperlakukan seperti itu. Sontak teman-temanku yang ada di kantin, langsung mendekat, bertanya-tanya membuat kantin menjadi riuh-rendah.

Di sela-sela keriuhan kecil itu, aku sempat melirik ke arahmu. Kamu terlihat masih sibuk dengan piringmu. Setelah membayar makanan, aku berjalan keluar, melewati mejamu, sambil berharap kamu mau menyapa. Namun tidak ada suara apa-apa ketika aku sudah hampir sampai ke pintu. Entah kenapa aku sedikit kecewa. Aku hentikan langkahku tepat di samping pintu, kamu sedang setengah tertawa, mungkin sedang menanggapi candaan teman-temanmu. Mataku mulai sayu, bersamaan dengan itu kamu menoleh ke arahku, memandangku dengan rasa heran. Astaga! Aku ketahuan, buru-buru melangkahkan kaki sambil pura-pura menaikkan resleting sweater.

Sejak saat itu, aku jadi malas memperhatikanmu lagi, kalau pun papasan di jalan aku mau pura-pura dingin, tapi sampai sekarang juga belum pernah papasan lagi. Untung saat itu sudah selesai ujian akhir, jadi aku juga tidak sering ke sekolah lagi. Lagi pula, kamu tidak pernah berusaha mencari tahu kabarku. Hingga aku sadari, ternyata hari-hari terakhir kita bisa bertemu, bukan merupakan momen yang spesial bagimu.

***

Sudah hampir empat tahun aku tinggal di kota metropolitan ini. Banyak yang berubah dari diriku. Setelah tinggal di lingkungan yang baru, aku merasa lebih hidup. Teman-teman kuliah yang tak pernah membuatku bosan, kehidupan kampus yang penuh kejutan, dan yang paling istimewa adalah keberadaan Hiro.

Aku kenal Hiro saat hari pertama masuk kuliah, kebetulan saat itu dia duduk di sampingku. Dengan senyum gigi putihnya, dia mengulurkan tangan sambil bertanya, “Nama mu siapa? Aku Hiro.” Tidak ada yang istimewa dari Hiro, dia seperti laki-laki yang lain. Hanya saja, dia begitu baik kepadaku, dan aku sangat mempercayainya. Dia teman berbagi yang jujur, selalu bicara apa adanya.

Pernah dia bertanya penuh selidik, “Denger-denger kamu lagi diet Ren?”

“He? Kata siapa?”

“Bener nggak?”

“Ah nggak kok, aku kan nggak terlalu gendut.”

“Kalau iya juga nggak apa-apa kok.”

“Kok maksa jawabannya iya? Jangan sok tahu deh.”

“Hahaha, yaudah kalau emang nggak.”

“Kenapa nanya gitu? Kamu mau nyuruh aku diet juga?”

“Ya nggak lah. Kenapa harus nyuruh, aku kan cuma nanya.”

“Trus kalau aku emang lagi diet, kamu mau ngapain?”

“Nggak ngapa-ngapain, cuma mau bilang aja sih. Kalau kamu memutuskan diet karena kamu merasa terganggu dengan badanmu yang sekarang, ya nggak apa-apa. Tapi kalau cuma karena biar menyenangkan orang lain, buat apa?”

“Emang beda yah? Perasaan sama aja deh.”

“Ya beda lah, coba pikirin lagi.”

“HHhhmm. . . selama ini sih aku masih ngrasa baik-baik saja, dan emang selalu orang lain sih yang bilang kalau aku perlu diet, makanya aku ngrasa terpaksa.”

“Berarti, intinya sekarang kamu emang lagi diet?”

“Aku nggak bilang gitu, Hiro!!” Hiro meringis menahan tawa, memamerkan gigi putihnya.

Percakapan semacam itulah yang membuat aku ketagihan berada di dekat Hiro. Dia adalah teman yang memiliki cara berbeda dalam memperlakukanku. Aku betah berlama-lama di dekatnya. Dia selalu punya bahan candaan baru, dan aku selalu siap untuk mendengarkan ceritanya. Kadang candaan itu berakhir menyebalkan karena ujung-ujungnya ternyata aku sedang disindir, tapi aku tak pernah merasa kapok.

***

“Ren, kamu udah denger gosip dari temen-temen?”

“Gosip yang mana, Hiro?”

“Apalagi, gosip kita berdua, emang ada yang lain?”

“Oh. . .”

Obrolan itu terjadi di suatu malam, saat kami sedang makan di warung ramen dekat kampus. Ada jeda panjang sebelum  percakapan berlanjut, kami saling memandangi mangkok masing-masing sambil mengaduk-aduk isinya. Kepulan uap air sesekali melintas tepat di depan wajahku dan wajahnya.

“Memangnya kenapa, Hiro?”  Aku menunggu jawaban Hiro dengan perasaan tak nyaman. Aku lihat Hiro sedang meniup-niup gulungan mie yang ada di ujung sumpitnya.

“Ya aku sih nggak nyaman aja.” Sedetik kemudian gulungan itu sudah dalam kunyahannya.

Please Hiro, jangan dengerin mereka, itu kan cuma asal ngomong aja.”

“Oh ya? Gimana kalau ternyata mereka nggak asal ngomong?”

“He? Maksudmu?”

“Iya, gimana kalau gosip itu bener.”

Aku menegakkan posisi duduk, lalu meletakkan sumpitku di atas meja.

“Jangan berandai-andai, Hiro.” Demi melihat reaksiku, Hiro terperangah sejenak.

“Oh maaf Ren, maaf. Aku nggak bermaksud apa-apa. Ganti topik deh, sorry ya.”

“Jangan jadi aneh gini deh, biarin mereka ngomong sesukanya, nggak perlu digubris, aku ngambek beneran nih kalau kamu bahas itu lagi.”

“Oke-oke Ren, siap 86!”

“Apaan sih. . . .”

Begitu lah, terkadang kami merasa serba salah, bukan karena celetukan teman yang mengatakan kami saling suka, bukan itu. Tapi karena kami tidak pernah mengakui bahwa kami saling suka. Memperlakukan perasaan sebagai hal yang tabu.

Hingga suatu saat aku menceritakan tentang sebuah rahasia kecil kepada Hiro. Saat itu aku tak menyadari reaksi Hiro sedikit berubah karena ceritaku itu. Aku sempat kehilangan dia beberapa waktu, sebelum dia kembali dan semuanya berjalan normal lagi. Aku tak menemukan hal yang berbeda darinya, dia tetap baik, dan dia masih ‘setia’ menjadi salah satu teman terdekatku. Namun, aku merasa, topik tentang perasaan kami menjadi semakin tabu, jauh lebih tabu, walau aku tak begitu yakin.

***

“Gimana kondisimu Ren?” Aku masih ingat kejadian malam itu, ketika aku baru sadar setelah keluar dari ruang operasi. Perlahan aku membuka mata, memicingkan mata sebentar untuk kemudian berkedip-kedip menyesuaikan cahaya terang di kamar itu.

“Baik, Hiro. Tapi masih agak pusing.”

“Nggak apa-apa, itu cuma sisa efek obat bius. Istirahat aja ya.” Hiro menatap dengan senyum, tangannya memegang pinggiran ranjang dan badannya condong ke arah wajahku. Mengamatiku dari dahi sampai ujung dagu. Aku hanya bisa mengangguk lemas.

“Oya, orang tuamu sebentar lagi sampai di sini. Aku tadi yang mengangkat teleponnya, maaf ya nggak izin dulu, kamu sedang di ruang operasi.”

“Terus mereka bilang apa lagi?”

“Nggak ada sih.”

“Kamu bakal di sini aja kan?”

Hiro menegakkan badannya, menghembuskan napas yang kelihatannya berat, kemudian berbalik, berjalan mendekat ke jendela, menempelkan telapak tangan kirinya di kaca jendela.

“Sepertinya aku mau pulang saja Ren. Nanti ada si Ita dan si Ana yang menungguimu di sini, tapi mungkin masih sejam lagi mereka datang.”

“Lho, kenapa? Nggak bareng-bareng di sini aja, Hiro?” Aku hanya bisa melihat bayangan wajah Hiro dari pantulan kaca jendela.

“Sejujurnya aku takut Ren. Aku nggak pengen nanti orang tuamu mengira yang bukan-bukan ketika melihat ada laki-laki yang menjagamu di sini.” Aku tersentak mendengar kata-kata Hiro. Aku mulai memaksakan diri melawan rasa pusing yang masih ada di kepalaku.

“Jangan berpikir terlalu jauh Hiro. . .!”

“Maaf Ren, aku kan memang terbiasa berpikir begitu.”

“Iya, tapi please Hiro, ini kan kondisinya beda.”

Hiro tidak segera merespon kalimatku, dia membiarkanku menunggu. Pandangan Hiro masih tertuju di antara bangunan-bangunan tinggi gemerlap yang berlomba-lomba menerangi seluruh kota. Suara klakson mobil di jalanan sana, hanya terdengar lirih, namun bersahutan tak pernah terputus, menandakan antrean macet dimana-mana. Kota ini sedang mengalami kegaduhan di malam yang seharusnya senyap, sama seperti yang terjadi pada pikiran kami berdua saat itu.

“Ren, aku mohon sekali ini saja kamu mau membiarkanku.”

“Hiro, kamu sudah membantuku, biarkan orang tuaku sekedar mengucapkan terima kasih kepadamu.”

“Ah, aku tidak butuh itu Ren.”

“Oke, mungkin kamu tidak butuh, tapi aku butuh!!”

“Tapi, soal perjodohan itu Ren. . .”

“STOP!! Cukup Hiro!! Aku bisa menjelaskannya kepada mereka!!!” Aku tak bisa menahan nada bicaraku.

“Aku nggak yakin Ren, lebih aman bagiku kalau mereka tak pernah kenal aku.”

“Jadi, kamu lebih memikirkan dirimu sendiri, begitu??!”

“Bukan Ren, bukan seperti itu.”

“Kamu terlalu takut, Hiro. Kamu juga tidak percaya padaku, bahwa aku bisa menangani situasi ini!”

“Maaf Ren, aku benar-benar nggak bisa. . .”

“Hiro, kamu. . .!!” dadaku tiba-tiba sesak, aku tak mampu melanjutkan kata-kataku. Sebagai gantinya, aku mulai terisak.

Hiro mendekat ke ranjangku. Sambil tersenyum, dia berkata, “Udah Ren, jangan diterusin lagi, kamu masih belum pulih, sampai ketemu di kampus ya. . .”

Baru kali ini aku sebal melihat senyum gigi putihnya. Aku hanya diam membiarkan dia berjalan keluar. Aku masih tak percaya dengan sikap Hiro yang bakal seperti ini. Aku kira dia tak mempermasalahkan tentang hal itu. Tapi ternyata aku salah, bahkan itu sangat memberatkan perasaannya.

“Hiro....!!!!” Aku berteriak sekuat yang aku bisa, namun nampaknya sudah terlambat. Hiro sudah menutup pintu kamar dengan pelan sepersekian detik yang lalu. Dia pasti tak mendengar suaraku. Atau, pura-pura tak mendengar?

***

Aku membetulkan posisi dudukku. Sudah setengah jam aku menunggu di boarding lounge,  sambil melamun mengenang kisahku bersama Hiro di kota ini. Aku melirik jam tangan, ah masih sekitar 15 menit lagi sebelum keberangkatan. Aku mencoba duduk lebih rileks sambil menikmati lagu-lagu yang diputar dari handphone-ku.

Setelah kejadian di rumah sakit itu, Hiro tidak pernah menepati janjinya, katanya sampai jumpa di kampus? Tapi mana? Bahkan saat hari wisudaku pun dia nggak datang. Jujur aku kecewa. Tapi semakin aku kecewa pada Hiro, entah kenapa aku juga semakin kecewa pula terhadap diriku sendiri, apakah ini juga gara-gara aku?

Aku merasa kembali menjadi diriku yang dulu. Hidup di balik topeng palsu yang menutup diri. Secuil ruang hati yang dulu pernah ada Hiro di situ, sekarang kembali kosong dan mulai usang. Aku tersiksa, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Entahlah, aku terlalu lelah untuk memikirkannya. Sekarang aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri.

Aku mendesah pelan, memejamkan mata, sambil menaikkan volume headset-ku.

Lately I got this feeling

I don't know what's the meaning

But I know it's strong

And it's over you

All I want is to be home with you

Oh ooh oh......

And right now I just wish you were here

Oh ooh oh

Right now I just wish you were here

Oh ooh oh (“permisi....”)

Right now I just wish you were here (“permisi....”)

Every night

A different city.... (“maaf mengganggu.”)

Aku membuka mata dan mendapati seorang laki-laki sedang mencoba berbicara kepadaku.

“Iya, ada apa ya?” aku melepas headset dari telingaku.

“Maaf mengganggu, kalau tidak salah, anda Rena kan?”

“Benar, maaf anda siapa?” Aku mengernyitkan kening. Pikiranku mengingat-ingat wajah yang tak asing ini. Mata itu.....

“Senna??” Aku refleks menyebut nama itu, setelah melihat warna madu mata laki-laki di sampingku.

“Iya kak Rena, aku Senna. Apa kabar? Long time no see. . . “

“Baik Senna, kamu gimana? Mau kemana? Wah kebetulan banget bisa ketemu di sini.”

“Iya kak, aku mau pulang kampung, berarti kita naik pesawat yang sama kak.”

“Kamu habis ngapain di sini? Kuliah?” Aku sangat bersemangat ngobrol dengan Senna.

“Oh nggak kak, aku habis liburan aja di sini ke tempat sodara. Kakak gimana kuliahnya? Udah lulus?”

“Oh gitu. Iya aku baru aja lulus bulan lalu.” Senna hanya mengangguk-angguk.

Mendadak aku ingat kejadian kecil yang aku rasakan saat terakhir bertemu Senna, membuat aku jadi diam beberapa saat.

“Kak, dulu kok kakak menghilang gitu aja sih?” Senna menatapku tajam, seolah ada sesuatu besar yang mengganjal di pikirannya.

“Eh? Menghilang? Maksudnya?”

“Iya, sejak kakak dapet pengumuman diterima di universitas itu, aku udah nggak pernah liat kakak di sekolah.”

“Oh itu, aku masih beberapa kali datang ke sekolah kok, ngurus ijazah segala macem. Mungkin kebetulan aja nggak ketemu ya.”

“Aku udah nyari kontak kakak juga, tapi sepertinya nomornya udah ganti.”

“Gitu ya, maaf Senna, nggak bilang-bilang. . .”

“Iya kak, nggak papa, untung sekarang ketemu, hehe. Oya kak, gimana kuliah di sini kak? Enak ya? Kan keren.”

“..........”

Tidak Senna. Di sini tidak keren, juga tidak enak. Sejauh apapun aku melarikan diri, sepertinya pengalaman pahitku di sini akan terus mengendap di kepala. Kenapa kamu muncul di hadapanku sekarang? Apa maksudnya ini? Kenapa baru sekarang tatapanmu menjadi seperti ini?

“Kak, kenapa diem aja? Kakak nggak papa kan? Kak. . .”

Aku tidak mendengarmu Senna, aku cuma bisa melihat gerakan bibirmu. Apa yang aku alami bersama Hiro, juga berawal dari perasaan seperti ini Senna. Aku tidak meminta rasa ini ada, tapi aku juga tak kuasa menolaknya. Tapi kalau aku tak mampu menolaknya, bisa jadi ada hati yang akan tersakiti. Hatiku, dan hati korbanku. Cukup satu kali aku merasakan sakit ini, dan cukup satu orang saja yang aku sakiti. Tidak, aku tidak boleh punya harapan seperti itu lagi.

“Ayo kak, udah ada panggilan penumpang pesawat kita.” Kamu meraih lengan bajuku.

“Tidak Senna!!” Aku menghentakkan tanganku, genggamanmu terlepas. Maafkan aku Senna, aku tak mau membuat kesalahan lagi. Aku berlari, meninggalkanmu yang berdiri mematung penuh t

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun