Sebenarnya, sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa karut-marut politik di Indonesia yang menganut asas demokrasi selalu berakar untuk memenuhi ambisi dari watak kekuasaan yang selalu meminta dipuaskan. Seperti belakangan ini, isu reshuffle jilid II pun makin senter berembus mengguncang roda pemerintahan Jokowi-kalla.
Padahal belum lama tepatnya pada tanggal 12 Agustus yang lalu, Jokowi baru saja mengganti beberapa pembantunya yang dinilai mempunyai rapot merah. Sekarang isu reshuffle kembali mencuat, tentu itu bukan berangkat dari ruang hampa, akan tetapi pasti ada muatan atau sebab yang melatar belakangi kenapa isu reshuffle kembali tampil ke permukaan.
Apalagi peta kekuatan politik sekarang sudah bergeser, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai partai pengusung pemerintah mendapat suntikan kekuatan dengan bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) dalam barisannya. Ini bisa jadi satu alasan kuat kenapa wacana reshuffle mulai hangat diperbincangkan.
Jatah Kekuasaan
Jika mengacu pada logika kekuasaan, dukungan politik di Indonesia memang selalu akan bermuara untuk memenuhi hasrat kekuasaan. Mungkin bahasa yang lebih sederhana seperti ini, “Apa yang partai saya dapatkan jika turut mendukung anda dalam kontestasi pemilu”?, bagitu juga yang terjadi dalam struktur kabinet kerja besutan Jokowi-Kalla, masih sangat tercium aroma bagi-bagi kekuasaan bagi partai pendukungnya, walau dalam beberapa stattmentnya, Jokowi selalu mangkir untuk disebut bagi-bagi kursi dalam roda pemerintah yang dijalankannya.
Watak kekuasaan seperti ini yang imbasnya akan mencetak menteri-menteri yang tidak sesuai dengan bidang keahlianya, atau menteri yang tidak memiliki prestasi sama sekali dibidang garapannya, atau barangkali paling banter hanya akan melahirkan menteri yang hanya sekedar memenuhi hasrat kekuasaan parpol pengusung.
Mungkn inilah alasan kenapa wabah reshuffle selalu menyertai rezim yang berkuasa, watak kekuasaan yang selalu ingin mandapatkan jatah bagian dari “keringat” yang dikucurkan saat pemilu, masih belum sepenuhnya bisa dihilangkan. Jika memang demikian, sampai kapanpun sangat susah bagi Jokowi-kalla untuk meracik satu komposisi kabinet yang sekiranya bisa memuaskan semua pihak.
Seharusnya alasan yang bisa diterima terkait reshuffle kabinet adalah mengenai kinerja dari menteri itu sendiri yang selama mengisi pos menteri di kabinet kerja, apabila melakukan kesalahan fatal, atau tidak memberikan kinerja yang memuaskan maka layak kiranya menteri tersebut di copot dari jabatanya.
Jangan sampai bergulirnya wacana reshuffle jilid II ini hanya sebagai ajang pergantian jabatan untuk memuaskan watak kekuasaan beberapa oknum yang bermain dipartai politik. Sangat disayangkan jika benar-benar terjadi, akan tetapi tidak mengubah sama sekali keadaan yang pelik ini, karena bukan jaminan juga perombakan kabinet akan membawa angin segar perubahan yang lebih baik, jika dilatar belakangi dengan hausanya watak kekuasaan segelintir elit partai politik.
Seharusnya jika reshuffle jilid II benar-benar harus dilakukan dalam kabinet kerja Jokowi-kalla, hal yang paling penting perlu adanya keikhlasan dari parpol pendukung untuk memberikan hak prerogratif sepenuhnya kepada presiden Jokowi, untuk memilih calon menteri yang kapabel, bukan atas dasar watak kekuasaan parpol. Sebaliknya, Jika perombakan hanya dijadikan ajang pergantian personil tanpa melihat prestasi dan kapabilitasnya besar kemungkinan semua akan gagal dan sia-sia.
Oleh karena itu, sekali lagi hanya dengan meredam watak kekuasaan dari parpol pendukung untuk tidak memaksakan kehendak, dan memberikan hak sepenuhnya kepada presiden Jokowi untuk mencari calon menteri yang kompeten dan kapabel, maka perombakan menteri bisa bermanfaat untuk laju pemerintahan mendatang.