Nelayan merupakan wajah dari negara maritim. Tanggal 6 April kemarin bangsa ini memperingati hari nelayan, bukan perayaan gegap gempita yang didamba, bukan juga hingar bingar meriahnya pesta, akan tetapi perbaikan nasib dan kepedulian pemerintah adalah hal utama yang mereka cita-citakan. Karena sama seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan hari nelayan masih dalam kondisi yang sama dan wajah yang sama, yaitu kemiskinan.
Momentum perayaan hari nelayan semestinya menjadi titik renungan pemerintah dan bagi kita semua, sudah sejahterakah nelayan Indonesia?. Untuk menjawab pertanyaan itu tentu bukan jawaban yang didapat dari segelintir kalangan akan tetapi dari data objektif yang mampu menjelaskan secara gamblang kondisi riil nelayan di negeri maritim ini.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) dari hasil PPLS Tahun 2011, desa pesisir yang merupakan desa miskin mencapai 10.640 desa. Sedangkan dari penduduk miskin sebanyak 31,02 juta orang, sebesar 25,14% atau 7,87 juta orang adalah penduduk miskin di pesisir.
Dari data tersebut membuktikan bahwa kehidupan nelayan Indonesia masih jauh dari kata sejahtera, diperparah dengan keadaan infrastruktur yang kurang memadai, sanitasi yang jelek, kampung nelayan yang kumuh dan perekonomian yang tak kunjung membaik. Padahal kita sama-sama tahu bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki garis pantai terpanjang didunia, negara kepulauan dengan kekayaan laut yang melimpah tetapi semua itu ternyata tak mampu menunjang kesejahteraan bagi nelayan.
Dengan kondisi semacam ini, nasib nelayan dinegeri maritim semakin keruh dengan gejolak politik Indonesia yang tak pernah sepi dari cerita, sebut saja kebijakan dari menteri perikanan dan kelautan Susi Pudjiastuti. Peraturan menteri kelautan dan perikanan nomor 2 tahun 2015 yang melarang nelayan menggunakan pukat hela (Trawls) dan pukat tarik (Seine Nets) sebagai alat tangkap ikan, menuai protes dari berbagai paguyuban nelayan disepanjang garis pantura, pasalnya kebijakan ini dinilai belum pas melihat kondisi nelayan kecil yang masih minim modal.
Peraturan ini dibuat dengan dasar alasan untuk menjaga ekosistem kelautan Indonesia, akan tetapi kebijakan menteri kelautan ini nampaknya tidak memihak kepada para nelayan kecil yang sudah “kadung” menggunakan dua alat tangkap ikan tersebut. Imbasnya banyak dari nelayan yang merugi karena harus mengganti alat tangkap mereka, yang sudah barang tentu harganya tidak bisa dikatakan sedikit.
Pada titik ini memang memprihatinkan, program presiden tentang negara dengan orientasi kemaritiman patut dipertanyakan ketika memperbaiki nasib nelayan saja pemerintah masih terkesan setengah hati. Jangan dulu bicara tentang kemandirian dan poros maritim dunia, untuk melaut saja nelayan dibeberapa daerah masih banyak yang hutang dulu ke rentenir (tengkulak), sehingga harga ikan tangkapan para nelayan pun banyak dipermainkan oleh para pemodal atau tengkulak. Ini sangat miris.
Jika kondisi semacam ini terus berkelanjutan, perayaan hari nelayan yang diperingati 6 April lalu itu sama artinya hanya menabur garam diatas luka menganga. Nasib nelayan sebagai wajah dari negara maritim masih memprihatinkan.
Ahmad Syarifudin
Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah Dan Komunikasi
UIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta
No hp : 0857-8612-7168
Email : syariefachmad53@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H