Globalisasi merupakan suatu proses dimana antar individu, antar kelompok dan antar negara berinteraksi, bergantung, terkait dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara dalam banyak hal. Jika mengacu pada pengertian diatas, globalisasi memang menawarkan era dunia baru, lepas dari kerangka dan belenggu. Akan tetapi lantas kemudian akan timbul suatu kegelisahan, globalisasi menawarkan dunia membaur untuk saling bertukar pandangan dan budaya, menjadi riskan ketika dunia tanpa sekat, masyarakat negeri ini semakin gandrung dalam budaya westernisasi yang katanya paling modern.
Dalam sebuah artikel yang terbit diharian kompas pada (20/01) Daoed Joesoef mengatakan, globalisasi berfungsi bahwa orang-orang dari semua bangsa berpartisipasi secara proaktif dalam kemajuan ilmu terapan dan diakui pantas berbuat begitu dinegara terbelakang berkat kelebihan kemampuan teknologinya. Kecenderungan kolonialisasi diganti dengan kecenderungan pembentukan republik imperial dari negeri-negeri yang baru merdeka menjadi sekedar pemasok bahan baku dan pasar bagi produk industri manufakturnya.
Jadi Iming-iming saling ketergantungan (interdepedensi) antar kedua belah pihak, nyatanya tidak terjadi semulus yang dibayangkan secara konsep, praktiknya jauh dari yang diharapkan, negara berkembang seperti Indonesia dengan karakter masyarakat yang lebih condong kearah konsumtif, menjadi lahan basah bagi pasar negara pengembang teknologi dan industri, inilah yang di sebut dengan “kolonialisasi modern”.
Apalagi ketika keran globalisasi di buka dengan kecepatan penuh dengan dalih kemajuan, dampaknya akan jauh lebih miris lagi, karena berbagai macam budaya, dan ideologi asing masuk begitu derasnya tanpa ada filter, imbasnya akan sungguh luar biasa, berbagai macam isu-isu atas nama agama sulit di kendalikan, berbagai paham agama bermunculan bak jamur di musim hujan. Arus globalisasi mengantarkan masyarakat tidak mengenal lagi budayanya sendiri, karena tercampur adukan dengan budaya asing yang terbawa masuk, akibatnya budaya yang berkembang di masyarakatpun menjadi budaya imitasi yang hanya bisa meniru dan latah terhadap budaya luar. Ini semua akibat ‘sampah’ yang ikut menyumpal dan mengotori comberan peradaban.
Nampaknya ini menjadi permasalahan serius karena secara perlahan nilai nilai budaya lokal sendiri sudah hampir punah, berganti menjadi budaya hegemoni yang di dalangi dunia luar (baca:barat), mirisnya kita ditekan terus untuk mengikuti budaya mereka, padahal jelas budaya kita dengan mereka sangatlah berbeda.
Pemerintah saat ini keasikan dalam urusan politik, gonjing-ganjing politik yang tak pernah mengenal titik usai, membuat negeri ini semakin labil. Sedang aspek agama, budaya, peradaban dan segala permasalahan yang terjadi di dalamnya tak tersentuh, ini yang justru lambat laun akan menjadi bom waktu yang kapan pun bisa meledak tanpa disadari.
Apalagi kita sudah masuk ditahun 2015, dipenghujung tahun ini tantangan sudah menunggu didepan mata dengan diberlakukanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), apa yag bisa diharapkan dari bangsa yang katanya besar ini, jika ‘kelabilan politik’ masih menjadi trend para pemangku kekuasaan, kami atas nama rakyat hanya sebutir pasir yang hanya akan diterbangkan oleh kebijakan-kebijakan.
Oleh sebab itu, sudah sepatutnya pemerintah sadar dari ‘romantisme iblis’ yang sarat akan kepentingan-kepentingan golongan tertentu, dengan menciptakan regulasi dan tata aturan yang jelas yang mampu membentengi diri dari kerakusan budaya yang semakin tak mengenal batas, sehingga budaya original masih akan kita warisakan kepada anak cucu nanti sebagai kekayaan yang tak ternilai, dan sebagai tanggul pertahanan dari arus globalisasi yang siap menerjang tanpa bendung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H