Mohon tunggu...
Ach. Nurcholis Majid .
Ach. Nurcholis Majid . Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

penikmat kata, selebihnya mimpi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Petasanku dari Busi Bekas

12 Juli 2013   10:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:40 1955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semalam saya berjalan ke tengah kota, di antara hujan petasan dan riuh percakapan. Bagiku tak ada yang istimewa, terutama dengan petasan itu.

Kira-kira dua puluh tahun lalu. Aku adalah seorang anak kecil di tengah pulau yang pernah menenggelamkan kapal Thampomas II. Waktu itu aku tak banyak kenal mainan bagus, bukan hanya karena perekonomian keluarga yang seret, tetapi karena memang daerahku sangat jauh dari kota, bayangkan 12 jam perjalanan laut untuk sampai ke kota, dengan jadwal kapal seminggu sekali.

Hampir semua mainan kami bikin sendiri. Kadang kami membuat mobil-mobilan dari kayu, atau sederhananya, kami bikin dari bungkus rokok kemudian diberi roda dengan membundarkan sandal jepit rusak, lebih sederhana lagi, kami ambil daun kemudian bagian belakangnya kami lipat untuk dijadikan tempat palang bagi roda yang terbuat dari buah dari pohon daun itu sendiri.

Ini tentu tentang ritual permainan kami di bulan Ramadhan. Karena di pulau kami, hanya di bulan Ramadhan waktu bermain demikian panjang. Biasanya ba’da Asar, kami sudah siap dengan sepeda kami masing-masing untuk bergerilya mencari-cari bahan mainan. Pertama, kami akan bergerilya mencari bambu kecil untuk dibuat bedhil-bedhilan, jika sudah rampung, tentulah berikutnya kami mencari mimis (peluru) yang bahannya adalah buah tanaman liar di pinggiran sungai.

Permaianan kami bukan sekedar mainan, waktu itu kami adalah sekelompok anak yang sedikit heroik, barangkali memang pada umumnya. Karena kami memang selalu mendengar cerita yang lumayan heroik, dari kakek, ayah, bahkan guru ngaji dan madrasah selalu bercerita tentang bambu runcing, tentang batu yang dilempar kemudian menjadi bom, cerita tentang bedhil-bedhil yang menumpas banyak penjajah, tentang pahlawan yang begitu gagah berani membela bangsa dan tanah air ini.

Jika sudah selesai itu semua, sudah kami bersihkan bambu kecil yang seukuran dua puluh centi meter itu. Sesudah kami bikin pendorong pelurunya dan mengumpulkan banyak mimis dari sungai yang agak jauh, barulah kami mempersiapkan petasan.

Ada dua petasan yang kami buat di pulau kami, pertama petasan karbit, petasan besar yang diletakkan di dalam tanah, dengan kekuatan bunyi yang luar biasa. Jadi aku tidak kaget, ketika salah seorang temanku harus dibawa ke Puskesmas dan dirawat intensif karena luka dan beberapa organnya yang rusak.

Petasan kedua, adalah petasan busi bekas. Inilah petasan yang paling aku sukai, selain karena bunyinya lumayan nyaring, petasan ini juga tidak berbahaya, bahkan jika dibandingkan petasan instan yang dikenal saat ini.

Untuk membuat petasan ini, kami mencari busi bekas, kalau tidak ada, kadang kala kami agak nakal dengan mencabut busi sepeda motor orang tua untuk dibikin petasan. Maklum, pada waktu itu, orang yang memiliki kendaraan sepeda motor bisa dihitung jari. Perlu kami akui, pulai kami memang sangatlah terpencil dan tak dihiraukan pemerintah.

Enaknya, petasan busi ini bisa dimainkan berulang-ulang, tidak ada istilah rusak, kecuali jika besinya karat. Kami menghilangkan bagian elektroda tengah dan bagian U busi dengan menggunakan tang. Kemudian kami siapkan baut untuk menutupi bagian atas busi yang diiikatkan ke kedua bagian agar tidak lepas saat dilempar. Bahan berikutnya kami akan mencari tali rafia untuk dijadikan rumbai-rumbai, sebagai pegangan saat melempar dan memberi keseimbangan bagi busi saat mendarat dan meledak. Sedangkan bahan peledaknya, kami akan membuat bubuk fosfor merah korek kayu untuk diletakkan di bagian dalam busi, lalu kami tutup dengan bagian kasar coklat di bagian luar korek api, setelah itu barulah ditutup dengan baut. Petasan busi siap dilempar dan meledak.

Kami bahagia, selain karena permainan sudah siap, kami sekarang sadar, betapa kesemua itu adalah keterampilan sederhana yang membuat kami mandiri. Kami berusaha sekuat tenaga untuk berhasil membuat semua peralatan “game”, tanpa harus membeli. Kami tidak lahir secara instan, maka kami harus belajar untuk lebih ulet dan mandiri.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun