Sungguh suatu ironi, di tengah maraknya kampanye dan munculnya kalangan elite-intelektual di dalam pemilu legislatif, angka “golput”-menurut hasil quick count-malah mencapai 34,02%. Bahkan lebih tinggi dari capaian suara tertinggi partai politik.
Tentu faktornya bukan hanya satu. Tetapi, kenyataan pahit itu setidaknya disebabkan oleh tiga hal utama yang saling berkaitan dan menguatkan angka suara tidak sah dalam pemilihan anggota legislatif 2014. Pertama, praktik suap yang dibungkus dalam bentuk bantuan, acara kemasyarakatan dan lain-lain. Kedua, adanya pemilik hak pilih yang pengecut, dan panitia yang teledor dalam melaksanakan tugasnya.
Tiga faktor tersebut menjadi sangat akut dalam pemilu, karena ia bisa mengalahkan figur dan atau ideologi suatu partai, bahkan juga mengalahkan kehormatan bangsa. Tidak bisa dimungkiri, bahwa figur-figur dan ideologi terbaik yang ditampilkan oleh suatu partai tidak mampu mendongkrak cita-cita perolehan suara.
Praktik Suap
Pola pikir buruk yang saat ini menjangkiti masyarakat dan elite politik adalah adanya transaksi perdagangan suara, yang pada akhirnya juga menyangkut penjualan harga diri dan Negara. Perdagangan suara ini hampir terjadi di seluruh Dapil yang bermutual antara calon anggota legislatif dan masyarakat yang bermental pelacur.
Hal ini terjadi, karena masyarakat sudah merasa muak dengan pemimpin yang seringkali acuh tak acuh terhadap rakyat kecil data menduduki kursi jabatan, sehingga mereka merasa perlu mendapatkan uang muka bagi suara yang diberikannya kepada seorang elite politik.
Praktik ini, semakin lama semakin melenakan para pelakunya dalam tindakan kesehariannya, yang nantinya berujung pada jual-beli keadilan, korupsi, termasuk juga menjadi pemicu bagi tindakan anormatif lainnya yang dimotivasi oleh spirit kapitalisme.
Ini hal pertama dan menjadi alasan utama terjadinya pilihan yang tidak objektif-kualitatif dalam pemilu legislatif 2014 ini, termasuk pemilu-pemilu sebelumnya.
“Golput” Hitam
Istilah “golput” saya rasa kurang tepat jika disematkan kepada mereka yang tidak mempergunakan hak pilih yang dimilikinya. Karena bagaimanapun, mereka tidak memberikan perubahan dan tidak melakukan tindakan positif bagi kemajuan bangsa ini.
Kelompok ini selalu merasa paling suci, dan merasa bahwa calon yang ada tidak memenuhi syarat untuk menduduki jabatan dan mewakili dirinya di senayan. Mereka merasa dirinya yang paling baik dan idealis. Padahal di satu sisi, ketika dirinya tidak menggunakan hak pilih, sejatinya dirinya sedang membiarkan sekelompok orang buruk semakin berbahagia dalam rangka pemenangan kelompoknya.
Benarlah apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib bahwa kedhaliman akan terus ada, bukankarenabanyaknyaorang-orangjahat. Tapi karena diamnya orang-orang baik. Istilah ini membenarkan bahwa selama ini kita salah menyematkan nama golput bagi mereka yang tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu.
Panitia Teledor
Hal terakhir yang menjadi rusaknya pemilu legislatif 2014 adalah, adanya panitia pemilu yang teledor. Menurut data Bawaslu, di Bekasi bahkan ada 30 TPS yang kertas suaranya tertukar, di Bali juga mencapai angka yang cukup tinggi, yakni 23 TPS.
Padahal, jika merujuk anggaran yang cukup tinggi, panitia harusnya bisa mengawal pesta demokrasi ini secara baik. Baik berupa perencanaan, pelaksanaan pemungutan suara, dan pengawasan. Termasuk juga evaluasi pemilu demi perbaikan pemilihan umum di masa yang akan datang.
Hal ini penting. Sebab, pemilu tentu bukan saja suatu pesta para elite partai politik, tetapi juga penentuan masa depan suatu bangsa. Tidak sedikit bangsa hancur, karena pemilu hanya menghasilkan pemimpin buruk dengan kualitas karakter rendah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H