Mohon tunggu...
achmad zulfikar
achmad zulfikar Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang mahasiswa biasa

Seorang mahasiswa Astronomi ITB yang gemar menulis, membaca cerita sejarah, mengamati langit, dan menganalisis pertandingan sepak bola

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bangsa Kita Pernah Bercinta dengan Langit, Lalu Sekarang Bagaimana?

7 Juli 2019   12:23 Diperbarui: 7 Juli 2019   12:26 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


"Sebuah peradaban maju lahir dari mereka yang menguasai langit."

            Pernah mendengar atau membaca kalimat di atas? Tidak? Tentu wajar. Karena kalimat diatas tidak pernah dikutip oleh tokoh penting sains astronomi manapun di dunia.Kutipan tersebut penulis temukan ketika berselancar di dunia maya menelusurijejak peradaban dunia di masa silam. 

            Akantetapi pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah. Perhatikan bangsa-bangsakuno yang memiliki peradaban maju di dunia. Mesir, Yunani, Aztec, Inca, Romawi,hingga bangsa Cina. Semua bangsa yang telah disebutkan pernah mengalamikemajuan di masa jayanya dulu. Dan kemajuan mereka selalu berkaitan erat dengantingkat penguasaan ilmu langitnya. Tambahkan pula era kejayaan umat islam.Ketika ilmuwan muslim mulai tampil di dunia, konsep yang mereka bawa banyakberkaitan dengan astronomi. Sebut saja satu ilmuwan yang paling terkenal, AlKhawarizmi. Sumbangsihnya terhadap ilmu matematika mungkin merupakan sumbangsihterbesar seorang muslim bagi peradaban manusia saat ini. Namun yang tak banyakdiketahui, beliau juga merupakan peneliti di bidang astronomi.

            Dariberbagai hal tersebut tak heran beredar pendapat di kalangan saintis bahwa ilmulangit adalah gerbang dari peradaban maju. Pun juga di zaman modern.Penemuan-penemuan baik dari fisika klasik maupun fisika modern selalu berkaitandengan ilmu langit. Sebut saja Albert Einstein dengan teori relativitasnya atauIssac Newton yang masyhur karena hukum gravitasinya. Semuanya berkaitan denganlangit. Berbagai unsur yang mungkin tercetak di tabel periodik dalampembelajaran kimia juga mungkin banyak yang ditemukan oleh mereka yang menelitilangit. Karena pemahaman itulah bangsa barat berlomba-lomba menginvestasikanuang mereka demi kemajuan pengetahuan astronominya. 

            Lantas,bagaimana dengan Indonesia?

            Siapapunyang tertarik dengan bidang sains, terutama fisika dan astronomi pasti pernahmendengar nama observatorium Bosscha. Observatorium peninggalan Hindia Belandayang terletak di Lembang, Jawa Barat ini masih menjadi satu-satunyaobservatorium di Indonesia. Observatorium ini pula lah yang melandasi kelahiranprogram pendidikan astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang hinggasaat ini masih menjadi satu-satunya perguruan tinggi di Asia Tenggara yangmenyediakan program pendidikan astronomi. Dan sekarang Indonesia sedangmembangun satu obsevatorium lagi di Timau, Nusa Tenggara Timur.

            Sayangnyahal tersebut belum layak untuk kita banggakan. Kenapa? Karena pengetahuanmasyarakat Indonesia akan astronomi maupun ilmu langit lainnya tergolong rendah.Lihat saja di sistem pendidikan negeri kita sekarang. Pelajaran astronomidisisipkan di 2 mata pelajaran, yaitu Geografi dan Fisika. Tidak ada matapelajaran khusus yang membahas astronomi. Ironisnya, kedua mata pelajarantersebut terletak di dua kutub berbeda, satu terletak di kubu IPA dan yang satuberada di kubu IPS. Otomatis mereka yang ingin mempelajari ilmu langit sejakmasa sekolah tidak bisa menerima hasil yang maksimal karena salah satupembelajaran pasti tak bisa mereka ikuti.

            Selainitu hanya satu perguruan tinggi yang menyediakan program astronomi membuat ilmulangit ini tidak bisa tersebar dengan baik. Tidak masalah apabila satu tempatitu untuk satu pulau Jawa saja. Akan tetapi satu tempat ini diperuntukkan bagiIndonesia yang merupakan salah satu negeri terbesar di dunia. Dengan adanya 5pulau besar di Indonesia tentu setidaknya membutuhkan 1 program studi astronomidi tiap pulau agar pemerataan ilmu astronomi di Indonesia bisa lebih lancar.

Karenasesungguhnya khazanah ilmu langit negeri ini sangat kaya. Sebutlah suku Mandardi Sulawesi Barat atau Suku Bugis dari Sulawesi Selatan yang berlayar denganmembaca pertanda alam. Meskipun tak disadari, tapi mereka telah menerapkan ilmuastronomi dalam pembacaan pertanda alam tersebut, yaitu dengan membaca rasibintang untuk menentukan arah atau bahkan menentukan musim. Petani-petaninusantara pun banyak menggunakan pertanda alam dari rasi bintang sebagaipenentu masa panen dan masa tanam. Dan masih banyak suku-suku di pelosoknusantara yang mengembangkan astronomi baik dari pertanda alam maupun yanglainnya untuk bertahan hidup.

            Haltersebut tentu belum termasuk pesantren yang terus mengembangkan ilmu falak yangmerupakan ilmu perbintangan dari kalangan umat muslim. Dengan begitu banyaknyaperbedaan dalam memandang langit tentu diperlukan wadah yang lebih merata demistandardisasi ilmu astronomi bagi semua pihak. Para anak petani berhak tahubahwa rasi bintang Waluku yang selama ini digunakan dari zaman nenek moyangmereka untuk menentukan masa tanam dan masa panen di dunia luas lebih dikenalsebagai rasi bintang Orion. Para anak nelayan juga berhak tahu bahwa GubukPenceng yang dijadikan patokan arah selatan sejak zaman dahulu di kalangan luasmahsyur dikenal sebagai rasi bintang Crux. Begitu pula semua pihak yangtertarik dengan langit. Mereka layak mendapatkan kesempatan dan pengetahuan yangsama dengan yang selama ini dunia luar ketahui.

            Denganberbagai masalah tersebut tentu tak mudah bagi negara kita untuk mengembangkan astronomi.Tapi hal tersebut juga bukan hal yang mustahil. Karel Albert Rudolf Bosscha,seorang tuan tanah dari perkebunan teh di Lembang era Hindia Belanda jugamengalami banyak hambatan dalam mewujudkan pembangunan observatorium impiannya.Butuh waktu bertahun-tahun serta dana yang saat itu terbilang cukup tinggiuntuk membangun itu semua. Namun rasa cinta dan penasaran terhadap ilmu langitlah yang membuat Bosscha tetap bertahan dalam pembangunan tersebut. Karenaitulah namanya diabadikan sebagai nama observatorium yang ia bangun tersebut.

            Halini menunjukkan, bangsa kita, meskipun melalui Hindia Belanda dan seorang tuantanah Belanda, pernah mencoba bercinta dengan langit. Pernah dihantam rasapenasaran yang tak terbendung akan misteri yang tersembunyi di langit. Sekarangmungkin bangsa ini masih takut menunjukkan kecintaannya kembali terhadaplangit. Namun layaknya orang jatuh cinta, negeri ini, dan seluruh rakyat yangada di dalamnya, mereka akan menyadari bahwa dari langit lah bangsa ini pernahmencoba berjaya, dan kelak dari langit lah bangsa ini juga akan mencoba meraihjayanya kembali. Tak mudah memang, tapi layak dilakukan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun