Zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam. Perintah zakat merupakan salah satu yang paling sering disebut di dalam al-Qur’an. Biasanya perintah zakat itu selalu digandeng dengan perintah shalat, “…aqiimush sholaata wa-aatuz zakaata…” (…dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat…).
Di dalam pembahasan fiqih di kitab-kitab klasik, zakat dibahas begitu panjang lebar, baik syarat-syaratnya, kategorisasinya, subyek yang berzakat serta pihak-pihak yang dizakati (mustahiqqiin). Ia menempati prioritas bahasan yang lumayan serius. Karena begitulah yang juga tertulis di dalam al-Qur’an, bahwa zakat merupakan realitas kebajikan sosial sekaligus kesalehan individual. Saya tidak sebutkan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits yang panjang dan banyak itu tentang perintah dan kewajiban zakat.
Kategorisasi zakat yang sedemikian ketat bagi orang Islam yang mukallaf (subyek hukum penuh) hampir mirip dengan kewajiban pajak dalam sebuah negara. Jika ada istilah PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) pada kewajiban pajak dalam sebuah Negara, maka di dalam zakat ada istilah nishab (batas minimal harta yang kena zakat). Bahkan ada batas minimal waktu kepemilikan harta yang terkena zakat, yakni haul (satu tahun penyimpanan). Begitu teknis managemen pemungutan zakat itu sehingga dapat disimpulkan bahwa zakat merupakan realitas dari prinsip-prinsip keislaman yang dapat membentuk jiwa sosialis. Karenanya, nilai aqidah seseorang dapat diukur dari caranya mengapresiasi perintah zakat ini.
Selain itu, komitmen keislaman dan keimanan seseorang dapat dikatakan sia-sia atau gugur dengan sendirinya tanpa diiringi dengan praktek berzakat. Bahkan sayyidina Umar ra. pernah memerintahkan untuk membakar rumah orang Islam yang menolak perintah zakat. Begitu seriusnya perintah zakat itu diperhatikan sehingga ia menjadi syarat keislaman dan keimanan seseorang. Dari situ dapat disimpulkan bahwa beraqidah Islam sama dengan berkomitmen pada zakat. Menolak berzakat atau bersiasat supaya terhindar dari zakat berarti menolak aqidah Islam.
Namun demikian, tak banyak dibahas tentang filosofi zakat. Karena itu, kewajiban zakat menjadi kurang begitu diperhatikan oleh orang Islam, atau setidaknya banyak yang bersiasat agar dirinya terhindar dari zakat. Hitung-hitungan jumlah harta yang terkena zakat menjadi sering dipermainkan, baik secara nishab maupun haul. Pada prakteknya, jiwa sosialisme tidak terbentuk sama sekali oleh perintah zakat. Belum lagi ketika dalam praktek pembagian zakat itu seringkali diembel-embeli dengan “pesan sponsor”. Walhasil, praktek zakat menjadi sama dengan promosi produk dagang atau kampanye parpol. Seorang yang berzakat jadi mirip seorang salesman atau mirip caleg parpol yang sedang kampanye. Nah, lho. Hehehee…
Ada beberapa kategorisasi praktek memberi dalam Islam seperti zakat ini, yakni infaq, shadaqah, fidyah, hadiyah, dll. Masing-masing punya persyaratan tersendiri. Singkatnya, bahwa praktek memberi yang dapat membangkitkan jiwa welas asih dan kedermawanan begitu sangat diperhatikan dalam aqidah Islam. Trus, kalau begitu, apa sih makna filosofis dari zakat itu ?
Begini ya sayang…
Secara bahasa, zakat dapat diartikan sebagai thaharah (kesucian), shadaqah (empati), nabaat (tumbuhan), numuwwah atau ziyadah (kesuburan, pertumbuhan, perkembangan atau pertambahan), dan thayyibaat (kebaikan-kebaikan). Sedangkan secara syar’ie bisa kita tengok pengertian zakat itu dari kitab-kitab fiqh klasik karangan ulama-ulama terdahulu (salafiyyun) semisal matan taqrib, fathul qarib, kifayah, dll. Cari dan buka sendiri aja deh, pengertian syar’ie nya. Hehehe….
Maa hiyaz zakah ? Apa itu zakat? Apanya sih yang disebut zakat itu? Atau, istilah zakat itu dinisbahkan kemana sih?
Pengertian dasar zakat ternyata merupakan suatu istilah yang lebih dinisbahkan pada sesuatu yang secara perlahan tumbuh dan berkembang. Apanya sih yang tumbuh dan berkembang? Heheheee….
Ada suatu dalil yang agak aneh alias unik dan sering dipake sebagai alas hukum zakat dengan konversi pemahaman bahwa zakat adalah shadaqah wajib. Dalil itu saya katakan unik, mengapa? Coba perhatikan bunyi ayatnya…(Q.S. at-Taubah ayat 103)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Melalui ayat itu, Allah memerintahkan seseorang untuk “mengambil” sebagian harta dalam rangka membersihkan dan menyucikan (tuthahhir dan tuzakki). Titik inilah yang saya katakan unik. Mengapa? Ya, karena gak ujug-ujug memberi begitu aja, tapi ada yang diperintah untuk membersihkan dan menyucikan.
Pertanyaannya, siapa yang diperintahkan oleh Allah itu? Pasti jawaban klasiknya adalah Muhammad saw. Heheheeee…, jelas dan simple bahwa yang diperintah oleh Allah untuk memungut zakat itu adalah Nabi Muhammad saw. Mengapa begitu? Karena makna zakat itu bukan sekedar mengeluarkan harta belaka, tetapi mengandung makna untuk sebuah “penyucian”. Jadi, si pemilik harta itu tidak secara langsung membagi-bagi hartanya kepada mustahiq, tetapi lewat tangan Nabi dengan alasan bahwa Nabi-lah yang akan menyucikan jiwa si pemilik harta melalui doanya.
Ada dua pekerjaan yang diamanahkan kepada Nabi menyangkut pemungutan zakat ini, yakni tuthahhir (pembersihan) dan tuzakki (penyucian). Wah, jadi gak sederhana gitu dong…?
Lha, trus, kalau di zaman sekarang ini siapa yang memegang amanah Allah untuk menggantikan peran Nabi dalam hal pemungutan zakat yang bisa membersihkan dan menyucikan orang berzakat? Heheheee…, yang menggantikannya ya pewaris para Nabi. Siapa tuh? Mereka adalah para ulama yang mewarisi amanah kenabian, “al-‘ulama-u waratsatul anbiyaa..”.
Trus, apa sih yang dimaksud dengan pembersihan (tuthahhir) dan penyucian (tuzakki) ?
Setiap perbuatan memberi akan menimbulkan kesan-kesan tertentu dalam jiwa kita. Kesan itu bukan diarahkan kepada siapa perbuatan memberi itu ditujukan tetapi atas alasan apa. Transaksi zakat dengan nabi atau yang mewarisi kenabian akan menghilangkan kesan bahwa si pemberi zakat telah menolong seseorang. Bukan nabi yang menerima zakat, beliau hanyalah memungut atau mediator untuk memberikan makna pada pemberian zakat seseorang. Perbuatan memberi pada sisi ini adalah realitas kesetiaan kepada nabi. Kesetiaan kepada nabi adalah komitmen terhadap perintah-perintah Tuhan. Dalam makna ini, perintah berzakat itu bukan bertujuan untuk alasan kemanusiaan, tetapi alasan ke-Tuhan-an. Lho, kok bisa berbeda gitu ? Lha iya, memahami peran Tuhan dalam sebuah perbuatan akan mendatangkan jiwa kemanusiaan dengan sendirinya. Namun tidak sebaliknya, alasan kemanusiaan dalam sebuah perbuatan tidak serta merta akan mendatangkan pemahaman akan ke-Tuhan-an.
Jadi, sesuatu yang tumbuh dalam perbuatan memberi adalah titik sasaran yang dibangun dalam zakat. Sesuatu yang tumbuh itu adalah kecintaannya kepada Tuhan. Seperti pucuk pohon yang dipotong oleh petani agar si pohon menumbuhkan tunas atau cabang baru yang lebih banyak, sehingga akan menghasilkan buah yang lebih banyak pula. Alasan inilah yang membuat jiwa seseorang berada dalam kesuciannya. Kesucian itu tumbuh hingga ia benar-benar merasakan kerinduan kepada Tuhan. Wallaahu a’lam, wa huwa muwaffiq ilaa sabiilit taufiiq.
alHajj Ahmad Baihaqi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H