Membaca Status FB kawan karib saya yang mengungkapkan kegundahannya ketika kawan sehaluan politiknya didera hukum, cukup memberikan saya inspirasi untuk menggoreskan tulisan singkat ini. Pasalnya, beliau menyebutkan tentang negara dagelan, lantaran pengadilan dianggapnya tidak adil dalam menjatuhkan vonis hukum menyangkut perkara kawannya itu. Heheheee… baru sadar wan Negara ini memang dagelan?
Waktu saya jadi mahasiswa dulu, begitu antusiasnya menyuarakan “jeritan” suara rakyat yang waktu itu saya pandang sebagai korban dari “skenario” Negara dagelan seperti yang disebut teman saya tadi. Belakangan (setelah tidak lagi jadi mahasiswa), ternyata saya sadar bahwa saya pun ikut dilibatkan dalam “drama kolosal” Negara dagelan itu. Alur pelibatannya cukup jelas, bagaimana benang merah itu menampakkan dirinya kepada saya selaku elemen terakhir dari “grand design” Negara dagelan beserta jaringan-jaringan luarnya.
Apa yang terjadi di negara ini adalah sebuah “supra government will” yang menurunkan semacam “titah” sesuai dengan gerak-gerik emosi para aktor. Seperti teori supply-deman dalam ilmu ekonomi atau upload-download dalam cara kerja koneksi internet, masing-masing memanfaatkan kebutuhannya. Sebagaimana karakteristik dasar manusia bahwa setiap manusia itu memiliki potensi dasar baik-buruk yang bekerja melalui emosinya. Baik-buruk itu berada pada tataran idea yang sangat berbeda dengan teori baku “benar-salah”. Sebab kebaikan itu bisa berasal dari kebenaran dan bisa juga dari kesalahan. Begitupun keburukan, bisa berasal dari kebenaran dan bisa juga dari kesalahan. Dari karakteristik dasar itulah, manusia tidak ada yang seratus persen benar atau seratus persen salah. Namun demikian, melalui emosinya, manusia berupaya untuk bisa sampai kepada alam ideanya yakni menjadi manusia yang baik, meski dengan segala kesalahannya.
Istilah dagelan yang disematkan oleh kawan karib saya kepada Negara ini merupakan bentuk ekspressi dari emosi dasarnya, dan ekspresi itu bisa saja benar, bisa juga salah. Dari sini saja, tanpa sadar kawan saya itu dibawa pada suatu keadaan yang melibatkannya pada sebuah “grand design” Negara dagelan. Hahahahaaa… (‘afwan ya akhi…).
System bekerja Negara dagelan itu memanfaatkan seluruh emosi dasar manusia, termasuk bagaimana cara manusia itu beragama, baik dari segi pemahamannya maupun dari segi prilakunya. Lha, kok bisa begitu? Ya bisa dong. Coba perhatikan, agama itu kan merupakan sektor yang paling “empuk” dan efektif untuk sebuah pengendalian jarak jauh (remote control). Cukup dengan menampilkan fenomena kontroversial, para penganut agama sudah saling bunuh. Ketika dikatakan ada pakaian yang ikut-ikutan jadi agama, maka pakaian itu menjadi komoditas terbesar. Pakaian jadi agama? Lha, istilah busana muslim/muslimah itu kan pada akhirnya menjadi semacam ruang pengendalian para kapitalis. Ada lagi perumahan islami, musik islami, tv islami, partai islam atau negara islam, dll. Adanya klaim agama yang disematkan ke istilah barang atau jasa, menjadikannya sebagai ruang untuk dikendalikan oleh para aktor dagelan.
Saya bukan antipati terhadap penyebutan embel-embel Islam atau muslim. Justru saya mengajak kawan-kawan untuk waspada terhadap penyebutan yang hanya sekedar embel-embel. Para “pelaku” penyematan embel-embel itu pada akhirnya memanfaatkannya sebagai ruang masuk kapitalisme global. Coba lihat Arab Saudi, pendapatan Negara yang berasal dari haji/umroh saja bisa dikatakan cukup untuk membiayai gaji pegawai negerinya. Sementara track record nya dalam blantika politik internasional justru hanya menjadi mitra AS untuk “membantu” membuat huru-hara di sebagian besar Negara-negara Timur Tengah. Ironi bukan…?
Selain itu, demi menunjukkan prestise sebagai Negara kaya, secara serampangan ia habisi situs-situs sejarah Islam dan digantikannya dengan gedung-gedung pencakar langit di seputaran Masjidil Haram. Hal itu dilakukan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan para peziarah, baik haji maupun umroh. Sementara umat Islam dari seluruh dunia, asyik memberikan sumbangsihnya bertahun-tahun hingga batas waktu yang tak terbatas dan punya nilai prospektif luar biasa. Hehehehee…asyik yah….
Nah, Negara dagelan itu, menurut pandangan saya, merupakan kata lain dari penyebutan karakteristik manusianya. Kalau seorang hakim dianggap keliru dalam menjatuhkan vonis hukuman kepada seseorang yang melangggar hukum, maka yang harus kita sadari adalah bahwa kewenangan hakim tersebut merupakan ruang besar terjadinya dagelan. Tinggal cara memainkan perannya saja yang disesuaikan dengan “kecerdasan akting” dan kondisi di lapangan. Apa dan siapa yang dijadikan rujukan non-teknis untuk dijadikan dasar putusannya. Kalau dulu, waktu kasus cicak-buaya, muncul istilah baru dalam pertimbangan hukum, yakni istilah “suasana kebathinan”. Hahahahaaa….
Jadi, sampe kapan dong “film Negeri dagelan” ini berakhir? Ya, akhir dari filmnya sih gak ada, yang ada hanyalah akhir dari sebuah episode. Karena itu, bersiaplah untuk menjadi seorang aktor dari film yang berjudul “Negeri dagelan”. Kalo jadi actor mah jangan serius-serius banget wan….hahahaaa….
Allaahu Muwaffiqunaa ilaa sabiilit taufiiq….
alHajj Ahmad Baihaqi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H