Awalnya, enggan sekali saya menulis sebuah artikel yang bertujuan mengapresiasi tentang praktek perdukunan yang akhir-akhir ini mencuat di televisi dengan tema “Eyang Subur”. Karena ya sama saja, mengapresiasinya juga berarti memberikan semacam “kekuatan” terhadap popularitasnya. Ditambah lagi cara penyampaiannya dilakukan dengan emosionil. Hadeeeh, capek deeeh…. Untuk yang ke sekian kali bangsa ini dijejali oleh media dengan fenomena-fenomena yang sangat melemahkan ini.
Namun, untuk yang ke sekian kali pula saya merenung bagaimana berbuat sesuatu untuk sekedar memberikan apresiasi ringan melalui tulisan singkat tentang tema klasik yang rentan prasangka-prasangka ini. Mengapa saya sebut prasangka? Ya, semua informasi yang berkenaan dengan Eyang Subur ini bertendensi prasangka. Meskipun ada beberapa kasus yang seolah-olah hasil “kutukan” Eyang Subur, namun hal itu sangat sulit dibuktikan. Malah adanya informasi tersebut justru memberikan “tempat” di hati publik akan keberadaannya. Realitas sisi lain dari trik hypnosis untuk membuktikan “kebenarannya” dengan cara menarik masuk para korban dalam lingkaran berpikirnya sebagaimana teori dasar teknik hypnosis yang umumnya kita kenal. Heheheheee….., masuk perangkap deh.
Karena itu, berulangkali saya selalu memberikan “sentilan” kesadaran tentang bagaimana menyikapi teks-teks agama yang materil itu untuk bisa dicerap hingga masuk ke dalam wilayah spiritual. Kebanyakan orang sangat terbiasa mematerialisasi teks-teks Kitab Suci sehingga cara membacanya tidak berbeda sama sekali dengan membaca novel, koran atau majalah. Terlalu pragmatis. Padahal seharusnya teks-teks Kitab Suci yang materil itu harus bisa dispiritualisasi hingga “kepribadian Tuhan” bisa terbangun.
Nah, menyangkut kasus Eyang subur ini, media sangat berperan besar dalam memberikan kekuatan hipnosis Eyang Subur melalui penggiringan publik televisi ke dalam lingkaran kasusnya. Dengan pola publik judgment, Eyang Subur seolah mendapatkan “tenaga baru” untuk memperluas jaringan hipnosisnya. Mengapa? Karena televisi di satu sisi merupakan alat hipnosis yang paling jitu dalam membentuk dan menggiring pola pikir pemirsa dan di sisi lain, keberhasilan teknik hipnosis ini sangat membutuhkan media yang paling efektif dalam penggiringan pikiran sebagai kondisi awal untuk mempraktekkannya. Sajian informasi tentang Eyang Subur ini sudah sampai pada legitimasi media terhadap “kutukan-kutukan” yang dibuatnya. Ini efek balik dari rentanitas kesadaran para pemirsa yang diporak-porandakan oleh media. Bukan soal benar atau salah secara hukum agama, tapi informasi yang secara terus menerus disajikan sehingga publik dibikin pusing. Sebuah fakta disonansi kognitif dalam psikologi sosial. Sangat menyedihkan.
Sebenarnya, fenomena semacam Eyang Subur ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Malah di luar negeri lebih hebat lagi. Praktek perdukunan sudah menjadi industry yang pengembangannya jauh lebih canggih, modern dan elegan. Mereka sudah sampai pada tahap penerapan teknik-teknik hipnosis hingga si korban tidak merasakan lagi sebagai korban. Penyedotan “energy” korban berlangsung untuk jangka waktu yang lama, dan selama itu pula si korban terus memberikan keuntungan signifikan kepada si “dukun”.
Hypnosis atau gendam selalu saja memanfaatkan sifat-sifat dasar manusia, antara lain : keinginan untuk memperoleh keuntungan dengan cara cepat, keinginan untuk lolos dari masalah dengan cara ajaib, sifat empati dan sosial kepada orang lain, dan juga sifat naif yang mungkin tidak pada tempatnya. Ilmu ini tidak terlepas dari pemanfaatan sifat-sifat dari pikiran bawah sadar manusia, terlepas bahwa praktisinya seakan-akan memperoleh kemampuan ini dengan cara gaib, atau yakin bahwa dibantu oleh entitas gaib, akan tetapi sesungguhnya tetap bermain dengan area yang itu-itu juga, yaitu pikiran bawah sadar.
Setiap manusia memiliki potensi untuk memasuki keadaan ”trance”, jika berada dalam situasi kondisi tertentu, dan tentu saja dapat dikondisikan pula oleh si ahli gendam. Trance tidak semata-semata seperti Kuda Lumping kesurupan, tidak seperti orang yang dihipnotis di layar kaca. Trance memiliki wajah yang lebih luas, bahkan orang yang sedang kasmaran jatuh cinta dapat juga disebut sebagai trance. Trance dapat dianalogikan sebagai ”tersesat” di logika yang tidak wajar. Tidak wajar menurut si pengamat, tetapi mungkin sangat wajar bagi si subyek yang tengah memasuki trance. (Yan Nurindra : “Ilmu Gendam, Benarkah Ada?”).
Ada sebagian orang yang begitu phobianya terhadap praktek-praktek perdukunan. Dengan alasan karena dilarang oleh agama, mereka secara serampangan menggeneralisir hukum tanpa pengetahuan secuilpun. Padahal era keterbukaan infokom saat ini telah membuka mata kita lebar-lebar bahwa wilayah semacam itu harus benar-benar dikenali dan diriset untuk kemudian dilokalisir penetapan hukumnya. Orang yang sangat anti atau tentu saja yang pro, terhadap praktek perdukunan justru sangat lemah dan mudah dihipnotis. Mereka sangat mudah tersesat pada logika yang tidak wajar (berada kondisi trance). Karena itu, sering berpikir ke “dalam” dan menyelami alam bawah sadar akan meningkatkan kehati-hatian dan resistensi dari mangsa perdukunan.
Fenomena Eyang Subur sangat rentan dipolitisasi. Dengan memanfaatkan pola pembiusan secara massif, issue tersebut efektif sekali untuk pengalihan perhatian publik dari persoalan-persoalan politik. Terlepas betul atau tidaknya fakta yang disajikan media, fenomena itu berangsur-angsur justru menjadi sebuah legitimasi sosial terhadap tindakan perdukunan. Sebuah pembodohan secara massif yang kerapkali dilakukan untuk mengalihkan isu-isu besar sepanjang sejarah perpolitikan.
Wilayah perdukunan adalah wilayah yang sudah ada sejak zaman baheula. Seyogyanya sudah tuntas dalam pembahasan hukumnya. Jika di zaman ini masih saja ada orang yang tidak mengalami pengembangan pengetahuan akan wilayah perdukunan, maka sama saja tidak pernah mau belajar untuk bisa mengembangkan mengenai hukum dasarnya. Padahal sebenarnya, praktek pembiusan yang mirip dengan kerja di dunia perdukunan sungguh telah memasuki hampir semua wilayah kehidupan manusia. Sebut saja kapitalisme global.
Kapitalisme global, menurut saya, cara kerjanya sama persis dengan praktek perdukunan. Dengan memanfaatkan nafsu liar manusia, kapitalisme global masuk dan merasuki pola pikir setiap orang dalam sebuah bangsa. Alat yang paling ampuh untuk bisa mengendalikan pemikiran secara massif adalah media infokom (televisi, jaringan internet, hp, radio, Koran, majalah, dll.). Dengan menggunakan teknik-teknik pemasaran modern, dalam jangka waktu yang hampir bisa dipastikan, para penikmat infokom tanpa sadar telah terbius dan menjadi korban dari system dan pola pemikiran kapitalisme global. Ini kan sama saja dengan pola hypnosis atau gendam sebagai teknik-teknik dasar perdukunan.
Dengan nafsu yang dimiliki, setiap manusia berpotensi untuk digiring ke keadaan dan pola pikir tertentu. Ia hidup dengan system berpikirnya dan menjadi pengendali segala bentuk perbuatannya. Melalui nafsunya pula, kapitalisme global telah mengacak-acak nilai teragug manusia. Semboyan dan jargon kehidupan manusia kapitalis adalah kebebasan tanpa kendali nilai. Ini adalah sebuah pembiusan massal yang tidak berbeda sama sekali dengan praktek perdukunan.
Para penyembah berhala di abad ini justru menciptakan patung dari alam pikirannya sendiri. Kehausan yang menderitakan justru disebabkan oleh patung yang dibuatnya sendiri. Pandangan jernih yang semestinya sangat sederhana telah tertutup oleh pandangan-pandangan nafsu. Bukan soal apa dan bagaimana caranya, tetapi untuk apa dan kemana arah tujuannya, itu yang membuat setiap orang mengalami kegamangan dalam kehidupannya. Tak mampu menjawab segala persoalan dan aktifitas kehidupan yang dibangunnya bertahun-tahun.
Fenomena Eyang Subur adalah cermin dari fakta terbesar dan terluas yang tumbuh subur di abad ini. Modernisasi adalah alasan “teragung” yang diciptakan sebagai celah agar kapitalisme selalu diberi “pupuk” untuk terus tumbuh dan menjadi kekuatan yang justru menghancurkan dan membinasakan para penikmatnya. Bukan sosok Eyang Suburnya yang menjadi penentu, tetapi orang-orang yang terlibat di dalamnya, baik yang pro maupun kontra, telah membuat praktek perdukunan membias dan membius. Karenanya, gemakanlah terus tema-tema membangun kepribadian kokoh dengan cara menyulam pemikiran-pemikiran jernih agar diri ini selalu proporsional dan jernih dalam melihat sesuatu.
Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia, Raja manusia, Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia”. (Q.S. an-Naas : 1-6)
Wallahu Muwaffiq ilaa sabiilit taufiiq…
alHajj Ahmad Baihaqi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H