Fenomena rutin di Indonesia yang terjadi setiap tahun dan memunculkan banyak kisah, peristiwa dan catatan-catatan beberapa pihak, tak terkecuali catatan media massa. Wilayah ruhani yang tadinya hanya bermaksud silaturahmi, kemudian (seolah) dikonversi menjadi tradisi yang mengakar, unik dan menarik. Banyak pihak yang diuntungkan dari tradisi tahunan ini.
Adalah “mudik” yang menjadi istilah tersendiri bagi masyarakat Indonesia yang memiliki makna khusus yang (barangkali) tidak dijumpai di negara lain. Hampir semua pihak memfokuskan perhatiannya bagi “even” tahunan ini. Ada yang mengambil bagian dari sisi keamanan dan kenyamanannya, ada juga yang mengambil bagian dari sisi keuntungannya, dan ada juga yang mengambil bagian dari sisi kemudahan informasinya.
Mudik bermakna pergi ke “udik” atau pulang ke kampung halaman. Setidaknya begitulah seperti yang disebutkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sedangkan menurut pengertian Wikipedia berbahasa Indonesia, mudik adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik berasal dari bahasa jawa "Mulih Dhisik" yang artinya pulang dulu. (Wikipedia)
Mudik dalam pengertian itu telah digeser ke makna idul fitri (kembali fitri) atau lebaran setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Istilah mudik mengalami sinkronisasi dengan istilah idul fitri. Ia lebih ditekankan pemaknaannya pada waktu menjelang idul fitri. Padahal selain idul fitri pun orang yang kembali ke kampung halaman tetap saja disebut mudik juga.
Demikian juga dengan istilah lebaran. Ia merupakan penjelmaan makna yang diambil dari istilah idul fitri. Lebaran dan idul fitri menjadi istilah yang di sepadankan dalam bahasa Indonesia. Sebuah praktek beragama yang diadopsi menjadi tradisi.
Lebaran dan mudik merupakan persenyawaan tradisi yang menimbulkan tranformasi sosial cukup besar. Perubahan sosial ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan hari-hari biasa. Jumlah transaksi perdagangan meningkat tajam. Kenaikan harga barang dan jasa menjadi fenomena yang sudah biasa di hari-hari menjelang lebaran. Bahkan kesibukan distribusi barang sudah terjadi dua bulan atau bahkan tiga bulan sebelum lebaran.
Selain itu, selama Ramadhan hingga idul fitri media televisi meningkatkan jam tayangnya pada waktu-waktu tertentu. Para penikmat televisi pun disuguhkan dengan acara-acara khusus Ramadhan yang ditayangkan pada jam-jam yang tidak biasa. Para kru dan artis televisi mendapatkan pekerjaan tambahan yang khusus diadakan pada saat Ramadhan hingga idul fitri.
Lain halnya bagi setiap perusahaan. Mereka harus membuat kebijakan THR (Tunjangan Hari Raya) bagi para karyawannya. Besaran THR pun bervariasi, namun rata-rata mereka menetapkan sebanyak satu bulan gaji. Pihak perusahaan jangan coba-coba menolak tradisi THR ini, bisa-bisa “didemo” oleh karyawannya.
Lain lagi di tempat-tempat tertentu. Masjid-masjid disibukkan dengan pengelolaan zakatnya. Penerimaan dan penyaluran zakat punya kesan tersendiri bagi para pengurus masjid. Kantor-kantor pemerintah dan swasta, lembaga pendidikan dan ormas-ormas, masing-masing menyediakan layanan penerimaan dan penyaluran zakat. Bagi orang-orang tertentu yang “berduit”, penyaluran zakat mereka kelola sendiri secara langsung.
Namun demikian, perubahan sosial pada saat Ramadhan hingga menjelang idul fitri tersebut diiringi juga dengan semakin meningkatnya angka kriminialitas. Kasus-kasus kejahatan di titik-titik tertentu kerap terjadi menjelang lebaran.
Angka kecelakaan lalulintas pun meningkat. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat bahwa angka kecelakaan lalu lintas pada musim mudik tahun 2012 berjumlah 3.600 kasus dengan korban meninggal dunia sebanyak 638 orang, luka berat 994 orang, luka ringan 3.444 orang dan kerugian materi mencapai Rp 7,4 miliar.
Kemacetan di jalan raya mengalami peningkatan yang luar biasa. Bahkan di jalan tol yang sedianya merupakan jalan bebas hambatan, kemacetan pada saat mudik bisa mencapai puluhan kilometer. Jarak tempuh yang biasanya hanya 1 jam bisa mulur sampai puluhan jam. Luar biasa.
Pada musim mudik tahun ini, Polri menerjunkan sekitar 88.000 personil untuk mendukung Operasi Ketupat. Demikian sebagimana dikemukakan oleh Kepala Korps Lalulintas Mabes Polri Irjen Pol Pudji Hartanto. Sungguh unik fenomena selama Ramadhan hingga lebaran di Indonesia ini, hingga semua pihak all out untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat pemudik dalam banyak hal; keamanan, kenyamanan dan keselamatan.
Satu pertanyaan yang muncul dibenak kita; apakah perubahan sosial yang terjadi akibat lebaran itu merupakan kecendrungan positif dalam hal praktek beragama? Mengingat mudik itu pada asalnya bertujuan baik, maka semestinya ia berakibat baik bagi tatanan sosial berbangsa dan bernegara.
Catatan Kemenhub dan Kepolisian tentang dampak yang ditimbulkan pada saat musim mudik merupakan fakta yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Belum lagi ketika terjadi arus balik para pemudik yang juga bisa dimaknakan sebagai urbanisasi besar-besaran. Perpindahan penduduk desa menuju kota yang memanfaatkan arus balik para pemudik sepertinya menjadi seperti gelombang eksodus. Terjadilah ketimpangan persebaran penduduk yang memunculkan peledakan penduduk di kota-kota besar. Masalah sosial barupun bermunculan.
Sepertinya, kita harus sama-sama menelaah dan merenungkan kembali akan cara beragama kita. Sesuatu yang asalnya baik, namun di kemudian hari ia mendatangkan mudharat yang lebih besar. “Dar-ul mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih” (menghindari kerusakan harus lebih didahulukan daripada menegakkan kemaslahatan). Begitu kata al-qawaaid al-ushuuliyyah. Mari merenung… Wallaahu a’lam, wahuwa muwaffiq ilaa sabiilittaufiiq.
alHajj Ahmad Baihaqi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H