Di balik kemegahan kota dan geliat pembangunan, terdapat realitas pilu yang sering kali luput dari perhatian banyak orang: eksploitasi anak jalanan. Anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecil mereka dengan belajar dan bermain justru harus menghadapi kerasnya kehidupan jalanan. Tidak hanya terpaksa bekerja sebagai pengamen, pemulung, atau pengemis, banyak dari mereka juga menjadi korban eksploitasi oleh individu atau kelompok tertentu yang mengambil keuntungan dari kerentanan mereka. Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, kami berada di pusat kehidupan kota besar seperti Surabaya dan menyaksikan secara langsung bagaimana anak-anak jalanan menjadi korban dari rantai kemiskinan, ketidakpedulian sosial, dan kelemahan penegakan hukum. Fenomena ini menunjukkan bagaimana ketimpangan sosial terjadi; itu juga menunjukkan bagaimana bangsa ini tidak melindungi anak-anak sebagai aset masa depan.
Anak-anak yang dieksploitasi di jalanan biasanya dimulai karena keadaan kemiskinan ekstrem yang memaksa mereka bekerja di jalanan untuk membantu keuangan keluarga. Namun, masalah ini tidak berakhir di sana. Banyak sindikat memanfaatkan anak jalanan untuk mengumpulkan uang. Anak-anak kehilangan kendali atas hidup mereka karena para pelaku ini menggunakan ancaman, kekerasan, atau manipulasi emosional. Lebih ironis lagi, eksploitasi anak jalanan sering dianggap "normal" oleh sebagian orang yang terbiasa melihat anak-anak jalanan di halte atau di perempatan jalan. Ketidakpedulian ini membuat situasi menjadi lebih buruk, membuat eksploitasi anak jalanan menjadi bagian penting dari kehidupan kota besar.
Indonesia sebenarnya memiliki berbagai perangkat hukum untuk melindungi anak-anak, seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Namun, implementasinya sering kali tidak berjalan optimal. Penertiban anak jalanan oleh aparat pemerintah lebih sering berfokus pada "membersihkan" ruang publik daripada memberikan solusi jangka panjang. Program seperti rumah singgah dan panti sosial sering kali kurang memadai dalam hal kapasitas, fasilitas, maupun pendekatan rehabilitasi yang manusiawi. Dalam kapasitas kami sebagai mahasiswa yang mempelajari dampak kebijakan, kami menyadari adanya perbedaan yang signifikan dalam koordinasi antarinstansi. Kebijakan yang seharusnya terintegrasi tidak mengatasi masalah utama seperti pemberdayaan ekonomi keluarga dan kesetaraan pendidikan.
Eksploitasi anak jalanan adalah masalah yang kompleks dan membutuhkan pendekatan yang melibatkan berbagai sektor. Sebagai agen perubahan, mahasiswa memiliki kewajiban moral untuk berpartisipasi secara aktif dalam menyelesaikan masalah ini. Kami dapat membantu memberikan solusi berbasis bukti untuk mengentaskan anak-anak dari jalanan melalui penelitian, advokasi, dan pengabdian masyarakat. Sementara itu, masyarakat harus mengubah cara berpikir mereka juga. Memberikan uang kepada anak jalanan mungkin terlihat seperti tindakan empati, tetapi seringkali justru memperpanjang lingkaran eksploitasi. Sebaliknya, masyarakat harus lebih proaktif melaporkan kasus eksploitasi kepada otoritas dan mendukung program yang bertujuan untuk memberdayakan keluarga miskin.
Eksploitasi anak-anak di jalanan adalah gambaran dari krisis kemanusiaan yang serius. Jika ini dibiarkan, kita tidak hanya akan kehilangan masa depan anak-anak ini, tetapi kita juga akan menciptakan generasi yang akan kehilangan pendidikan, keterampilan, dan nilai-nilai kemanusiaan jika mereka tidak melakukannya.
Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, kami percaya bahwa perubahan dimulai dari keberanian melawan ketidakadilan. Kita dapat membuat solusi yang berkelanjutan dengan bekerja sama dengan pemerintah, akademisi, organisasi masyarakat, dan komunitas lokal. Anak-anak di jalanan bukanlah masalah bagi masyarakat; sebaliknya, mereka adalah individu yang membutuhkan bantuan untuk kembali bermimpi dan memiliki masa depan yang cerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H