Mohon tunggu...
achmad supardi
achmad supardi Mohon Tunggu... -

Belajar dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Panen Terakhir

24 Juni 2014   18:06 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:45 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang wanita petani memanen padi miliknya. Bisa jadi, kemarau mendatang, sawahnya mendapat giliran untuk diuruk, ditanami perumahan dan pabrik. (Pictures taken on 29 December 2012 by Khoirul Umam — Khoirul.Umam@Mattel.com, khoirulpret@yahoo.com) Minggu pagi setelah hujan rintik semalaman. Segar. Matahari juga tidak terlalu garang. Kukayuh sepeda ke Graha Asri. Mampir beli gudeg Jogja “rasa Cikarang” agar perut berhenti protes. Beberapa menit kemudian sudah kutempati pojokan favoritku: sebuah dangau di depan SD Rabbaani yang menghadap ke beberapa petak kecil sawah. Pesawahan sempit itu dipagari perumahan dan pabrik, juga lahan luas yang sedang diurug. Ya, diurug buat apalagi kalau bukan pabrik-pabrik baru. Ada sedih menyelinap kala menyadari bahwa sekotak kecil surga hijau ini pun akan segera menemui ajalnya, berubah menjadi perumahan dan pabrik kesekian. “Tanah pesawahan ini juga sudah punya pengembang. Tinggal tunggu giliran saja untuk dibangun,” kata seorang petani yang duduk bersamaku di dangau itu. Ah bukan, dia bukan petani. Lelaki berputra dua itu adalah mantan petani yang terpaksa menjual 3 petak kecil sawahnya tahun 1994 lalu. “Saya hanya punya sawah sempit, sulit untuk menolak tawaran untuk menjualnya. Apalagi petugas (pejabat desa, Pen.) selalu meng-ojok-ojoki kami agar menjual sawah kami ke pengembang. Bukannya menyadarkan kami agar mempertahankan tanah itu karena nantinya harganya akan mahal, mereka malah terus mendesak kami agar menjual tanah kami. Harganya waktu itu hanya Rp 10.000 per meter persegi,” katanya, mengingat sebuah keputusan yang sepertinya ia sesali. Kini, tanah di perumahan bekas sawahnya itu sudah dihargai Rp 500-750 ribu per meter persegi. Sebuah angka yang membuat penyesalan lelaki di depanku makin mengental saja. Lelaki, yang terlupa kutanya namanya, kini merenungi nasibnya.  “Saya sempat jadi tukang ojek. Tapi tahun segitu, perumahan masih sepi, jalan bergelombang dan berbatu. Narik seminggu saja sudah turun berok. Perut sakit, tak enak makan,” katanya. Tiga tahun lalu, ketika SD Rabbaani belum banyak dikenal, dia diterima menjadi satpam di situ. Bukan pekerjaan ideal, bukan pula posisi yang menjanjikan pemasukan lumayan. Namun, ini diterimanya sebagai berkah. “Sekarang, untuk jadi satpam saja harus SMA. Lha saya sendiri cuma lulusan SD. Saya diterima karena waktu itu sekolah ini masih baru, masih butuh pegawai,” katanya. Syukur dan galau bercampur dalam nada suaranya. Di antara padi yang mulai menguning bulirnya dan burung berbulu putih-hitam yang mencuri-curi kesempatan, dia menghela napasnya. “Di sekeliling rumah saya sekarang adalah pabrik-pabrik. Di situ (tangannya menunjuk bekas pesawahan yang sekarang sedang diuruk) katanya akan dibangun 30 pabrik. Saya bingung memikirkan nasib saya sendiri. Pabrik-pabrik dibangun, orang-orang berdatangan dari banyak daerah, tapi saya hanya bisa menonton saja. Ikut kerja di sana (calon pabrik-pabrik baru,Pen.) belum tentu diterima. Saya terkendala usia dan ijazah,” ujarnya. Matanya kembali menatap pesawahan sempit di depan kami. Pesawahan yang, bisa jadi, akan lenyap musim kemarau ini. (Achmad Supardi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun