Kemarin saya menemukan sebuah goody bag di atas meja kerja saya. Di dekatnya tergeletak skripsi edisi revisi. Saya bisa langsung menebak, itu pasti oleh-oleh dari salah satu mahasiswa bimbingan skripsi saya. Goody bag yang ternyata berisi jaket kulit –atau jaket racing?– ini adalah goody bagkesekian yang saya terima di periode penulisan skripsi kali ini. Sebelumnya saya menerimasweater, baju batik, juga pancake durian.
Saya GEMBIRA sekali menerima goody bag itu.
Pertama, saya senang karena merasa ada orang-orang yang ‘cukup dekat’ dengan saya. Mungkin ‘kedekatan’ itu berawal dari hubungan profesional –dosen dan mahasiswa—namun menjadi dekat sebagai sesama manusia justru dianjurkan oleh Tuhan, bukan? Saling membantu, saling membuat gembira.
Sungguh, saya gembira melihat binar kelegaan di wajah mereka ketika saya tanda tangan yang menandakan kripsi mereka layak diuji. Saya gembira melihat mereka mengucap syukur saat dinyatakan lulus sidang skripsi. Saya senang melihat mereka menjadi sarjana. Semoga ilmunya barokah.
Lalu, bila karena kegembiraan itu mereka mereka merasa ingin membaginya, dan saya adalah salah satu yang mendapat bagian, saya tak bisa tidak kecuali menjadi gembira pula. Tentu saya sadar ada sebagian orang yang “kalau sudah selesai ya selesai”. Hubungan berakhir di sana. Saya tentu tak bisa menolak. Namun di pihak saya, pintu selalu terbuka untuk bersaudara.
Kedua, saya memang selalu menikmati sensasi membuka hadiah. Membuka goody bag, bagi saya, sangat menyenangkan. Sensasinya melebihi ketika saya memakai atau memakan isi goody bag itu. Istri saya tahu betul kebiasaan saya ini. Seringkali dia tidak membuka oleh-oleh yang ia terima dari sekolah atau dari kondangan hanya supaya saya yang membukanya lebih dulu. Dia tahu saya menikmati sensasi itu.
Dulu, waktu kecil, saya gembira sekali saat ayah datang dari yasinan, tahlilan, kondangan, atau dari rumah saudara dengan membawa sesuatu. Saya belum tentu memakan isinya, namun saya suka membukanya. I love surprises. Saking sukanya pada kejutan, saya suka sekali mengecek klikbca di akhir bulan. Sudah masuk gak ya? Ada tambahan gak ya? Mungkin ini penyakit sinting ke-48 versi Andrea Hirata. Hahahaha.
Namun di balik kegembiraan, cukup sering saya terganggu oleh renungan-renungan –ceilee… bahasanya– tentang status goody bag-goody bag tersebut. Apakah itu semacam sogokan? Gratifikasi? Apakah goody bag-goody bag itu justru harus saya tolak sesopan mungkin dan bukan malah gembira menerimanya? Apakah saya tak ada bedanya dengan pejabat-pejabat yang menerima gratifikasi dari pengusaha dan banyak pihak penuh kepentingan lainnya? Am I that bad?
Kini, izinkan saya mengajukan pleidoi di sini:
Saya tidak pernah meminta. Tidak pula memberi kode. Memang, secara guyonan sebagian mahasiswa menyebut saya memberi ‘kode’, padahal kami sedang membicarakan hal lain di luar skripsi. Durian, misalnya. Saya selalu antusias membicarakan durian seantusias saya menikmati buah yang dagingnya lembut wangi itu. Kalau itu dianggap kode… ya sutralah. Toh saya sudah membeli pancake durian sebelum pancake durian dari mahasiswa datang J Saya juga tak pernah memberi spesifikasi isi goody bag yang saya inginkan. Buktinya, jaket racing yang saya terima kekecilan. Mahasiswa itu terlalu berprasangka baik bahwa tubuh saya atletis, padahal perut saya lebih mancung dari hidung. Karena di rumah tak ada pria dewasa lain selain saya, maka barang ini masuk daftar untuk didermakan J. Saya, tentu saja, tak pernah mengenakan tarif. Karena, pada dasarnya, memang tak ada harapan untuk mendapat goody bag-goody bag itu.
Saya gembira menerima goody bag-goody bag itu. Toh porsi perhatian saya untuk para mahasiswa bimbingan tak berbeda antara yang satu dengan yang lain. Toh nilai skripsi mereka tak akan berubah…. Goody bag tak mengubah posisi mereka –misalnya—dari bidder menjadi winner. (*)