Dua hari yang lalu saya menulis artikel di kompasiana yang berjudul Video Ariel-Luna Asli Palsu?! Case Closed!. Tanpa saya duga artikel tersebut sempat menjadi yang terpopuler, bahkan menjadi headlines di homepage Kompasiana untuk beberapa jam. Bangga? Sempat juga sih, tapi untuk beberapa menit saja lalu rasa bangga itu kemudian jadi biasa-biasa saja. Toh saya pada dasarnya menulis bukan untuk terkenal. Saya selalu menulis sekadar melepaskan uneg-uneg atau unjuk perasaan saja. Apalagi di bandingkan dengan Kompasianer yang sudah lama malang melintang di Kompasiana ini artikel saya itu tidak ada apa-apanya. Pembacanya juga tidak lebih dari 500 orang, tidak heran siang harinya artikel tersebut terdepak keluar dari zona elit tersebut.
Yang menarik bagi saya adalah komentar dari salah satu Kompasianer yang menanyakan/protes kepada saya; katanya “Heran sekali saya, tulisan kayak gini kok bisa jadi headline.. … Oke bung, saran saya kalo sebelum nulis mikir dulu lah bung. Mikir dikit aja, gak susah juga kan”. Saya kemudian bingung sendiri. Orang ini kok nanya soal headlines kok ke saya? Bukan ke admin? Bukankah soal itu hak prerogatif admin? Tentunya admin punya standar dalam mengkategorisasi tulisan yang layak untuk ditempatkan di headlines. Saya pernah bertanya kepada Bung ASA ketika beliau berkunjung ke rumah saya (kebetulan beliau satu kampung dengan saya). Menurut bung ASA itu memang hak admin. Menurut saya, apapun yang kita lakukan dalam hidup ini (makan, minum, bekerja, hingga nge-blog) haruslah di sertai dengan prinsip yang kita pegang teguh. Prinsip ini yang akan mewarnai segala tingkah pola dan tutur kita. Dalam menulis (baca; ngeblog) saya memiliki prinsip menulis untuk berbagi dan berharap umpan balik yang bermanfaat. Menulis untuk popularitas? no..no.. menjadi Pria Terpopuler di mata istri saya jauh lebih membahagiakan bagi saya. Selain untuk berbagi menulis bagi saya adalah sarana pelepasan. Pelepasan ide, keresahan, serta uneg-uneg yang menurut beberapa psikolog sangat baik untuk kesehatan otak. Jika memang menurut sahabat Kompasianer tulisan-tulisan saya tidak layak konsumsi, itu juga tidak masalah. Memang saya menulis untuk diri saya sendiri kok. Seperti yang saya baca di buku Mengikat Makna Update. Menulis adalah sarana untuk bercengkrama dengan diri kita sendiri, berdebat dengan sosok yang tidak kita kenali yang ada dalam diri kita sendiri. Menulis menjadikan kita paham diri kita, suatu hal yang sangat penting sebelum kita memahami orang lain. Akhirnya saya ingin mengutip sebuah kalimat yang menarik dari buku mengikat makna di atas:
Anda tidak usah terlalu memikirkan masalah tata bahasa, ejaan ataupun struktur kalimat ketika menulis. Anda juga harus berusaha untuk membebaskan diri anda. Terserah kepada anda untuk menulis apa saja yang anda inginkan. Yang penting, anda merasa nyaman dan tekanan anda hilang ketika menulis.
Jadi, tulisan ini tidak usah ditempatkan di headline, please… saya masih belajar menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H