Bila mendengar nama kesatuan aparat keamanan nasional bernama polisi maka biasanya masyarakat akan merasa takut. Loh ko merasa takut? Padahalkan semboyannya pengayom masyarakata ,apalagi para pengguna jalan khususnya ibu kota, biasanya akan takut berkendara di jalan kota bukan karena kawanan kampak merah atau pun para bajing lompat.Kehadiran para aparat ini ternyata yang lebih membuat masyarakat takut dengan aksi razia dan 'tilang ekspresnya'. Pemerasan tidak lagi dilakukan oleh preman dan penodong bertubuh legam dan kekar serta tato harimau di lengan tidak lupa anting besar pada telinga namun pria berseragam pahlawan pun melakukan hal tersebut. Hampir di setiap regional dimanapun di wilayah negara ini terdapat setan berseragam pahlawan yang sedang menjalankan tugasnya menjaga ketertiban jalan raya. Tapi ternyata rumor Tuhan itu Adil ternyata benar,selain menciptakan setan Tuhan juga menciptakan malaikat supaya dunia ini seimbang dan malaikat yang diciptakan itu aku temukan pada sebuah perjalanan menuju Wonosari,Jogja. [caption id="attachment_86624" align="alignnone" width="300" caption="Inilah Salah Satu Malaikat ditubuh Polantas"][/caption] Kira - kira kisahnya seperti ini pertemuanku dengan malaikat ini. Saat perjalanan menuju Pantai Siung dari Kota Jogjakarta yang berada di Kabupaten Wonosari,Gunung Kidul aku dan kelima temanku memilih untuk berkendara dengan sepeda motor dikarenakan akses menggunakan kendaraan umum sulit. Kami menggunakan tiga buah sepeda motor jadi satu motor terdiri dari dua orang. Kami memutuskan untuk jalan terus walau jumlah helm yang dimiliki hanya empat buah berarti dua penumpang tidak menggunakan helm dan itu jelas dapat membahayakan keselamatan raga kami dan uang kami (karena taku ditilang). Kami pun menggunakan jalan yang aman dari polisi (jalan tikus) untuk sampai ke tujuan. Namun apa daya sampai di perempatan di daerah Gunung Kidul kami diberhentikan oleh seorang aparat karena kelengkapan berkendara yang kurang. Seperti halnya masyarakat secara umum apabila diberhentikan aparat di jalan maka otomatis mentalnya pun akan jatuh karena takut,kami pun demikian. Seperti biasa kami ditawari opsi tilang yang mana pelanggar mengambil barang yang disita seperti SIM atau STNK di pengadilan untuk sidang dan denda. Namun karena temanku yang kuliah di Jogja dan tinggal di kota Jogja keberatan apabila melakukan sidang di pengadilan Wonosari karena terlalu jauh. Temanku pun menanyakan opsi lainnya yang dimaksudkan opsi 'jalan pintas' atau 'opsi nakal' atau istilahnya berdamai seperti itulah. Tetapi polisi ini terlihat tidak mengeluarkan gelagat untuk memeras dengan sebutan damai. Ia kokoh dengan opsinya untuk menilang walau temanke memnita opsi lain. Opsi berikutnya dikeluarkan yaitu para pelanggar bisa mengambil barang di bank dengan menitipkan uang di bangk juga namun dengan denda maksimum. Dikarenakan kami ialah kumpulan pelajar yang sedang berlibur dengan uang pas - pasan maka kami merasa tidak punya cukup uang untuk membayar di bank. Tawar menawar pun kembali terjadi tentang adanya opsi selanjutnya yang lebih ringan lagi. Polisi yang terlihat mematuhi prosedur ini pun akhirnya menyerah dan memutuskan untuk mengeluarkan opsi berikutnya. Dalam hati kami sudah berkata,"Hhh,dasar polisi,ujung - ujungnya duit juga kan,keliatannya aja dari awal ga mau!" Namun apa opsi polisi ini ternyata membuat aku dan kawan kaget yang mana tidak pernah kami temukan pada kasus tilang lainnya yang ada dibelahan Indonesia. Kira - kira seperti ini opsi dari polisi tersebut, " Begini adik - adik,sebenarnya saya tidak dibenarkan untuk mengeluarkan kebijakan seperti ini,tapi saya keluarkan karena saya kasihan dengan adik - adik." "Hmm Duit kan ujung - ujungnya!",Temanku berbisik lirih. Polisi bernama Tugina itu melanjutkan," Adik - adik saya persilahkan jalan dengan syarat dua orang dari adik - adik membeli helm di salah satu toko di Wonosari lalu kalian gunakan, ini bukan untuk saya tapi untuk keselamatan adik - adik." Kami seperti tersambar petir mendengar pernyataan yang jauh dari dugaan pikiran aku dan teman. Pernyataan tersebut merupakan pertama kalinya yang didengar dan semoga bukan yang terakhir. Aku dan satu teman pun langsung membeli helm di salah satu toko helm yang jaraknya agak jauh dari tempat kami ditilang. Walau aku dan teman menghabiskan sembilan puluh ribu untuk helm dan itu jelas memangkas uang makan kami selama liburan rasanya tidak ada beban berat yang tertinggal di hati ini dan merasa ikhlas. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Pantai Siung setelahnya dengan hening mungkin teman - teman sedang berpikir adanya malaikat tadi.Aku pun sambil berpikir dalam hati bahwa ternyata masih ada warna putih yang tersisa pada gelas susu yang sudah dicampur air got. Masih ada harapan diantara carut marutnya bisnis hukum di negri ini. Semoga dengan adanya pengalaman ini, aku dan beserta orang yang membaca tulisan ini bisa belajar dari malaikat ini bahwa ternyata ada yang lebih penting dari sekantung emas dan bertumpuk - tumpuk uang yaitu kebahagiaan. Tidak ada artinya hidup ini kaya secara materi namun kebahagiaan tidak dialami karena sumpah serapah dan kebencian didapat terus karena orang lain tidak merasa bahagia dengan keberadaan diri ini. Salam Harapan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H