Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tetangga Membangunkan “Rumah” untuk Kami

2 Juni 2013   05:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:40 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini sepenggal kisah hidup saya dan istri saya mengenang betapa salah satu kebahagiaan hidup adalah memiliki tetangga yang baik. Kisah sangat berkesan bagi kami dan tak mudah kami lupakan. Kisah yang membuat kami kembali disegarkan akan karunia Allah yang begitu besar pada kami. Kisah yang membuat kami selalu bersyukur menjalani kehidupan ini. Tetangga yang baik, salah satu nikmat Allah yang tidak boleh kita abaikan untuk disyukuri.

Awal-awal perantauan kami di awal tahun 2000 juga merupakan masa awal kami menikmati masa indahnya sebagai pasangan muda. Kami tinggal di rumah kontrakan sederhana di Medan. Sangat sederhana karena satu rumah dihuni oleh beberapa keluarga dan kami kebagian di ruangan dekat garasi. Meski sangat sederhana namun rumah di sekitar kami dihuni oleh orang-orang yang sangat peduli. Tetangga kami sangat perhatian pada kami yang merupakan perantau yang tak memiliki sanak saudara di Medan yang awalnya kami anggap kota yang keras. Kesan yang menganggap orang Medan itu “galak”, sirna seketika ketika kami merasakan kehangatan bertetangga dengan mereka.

Sebagai perantau, kami tak memiliki keluarga di Medan. Keluarga kami adalah para tetangga dan teman-teman sejawat. “Keluarga” baru inilah yang membuat kami betah di perantauan. Kami memiliki hubungan yang sangat dekat sedekat keluarga sendiri. Pernah suatu ketika, istri saya mengalami keguguran. Tak disangka para tetangga dan warga komplek mengumpulkan dana untuk membiayai pengobatan istri saya seluruhnya. Para penghuni perumahan ini memang memiliki perkumpulan bernama STM (Sarekat Tolong Menolong) yang salah satunya membantu warga yang membutuhkan. Subhanallah, sungguh Allah meberikan kemudahan pada kami.

Kehidupan bersahaja di awal-awal bekerja di Medan kami nikmati. Kami bahkan sangat dikenal oleh warga perumahan sebagai keluarga yang mesra. Kemana-mana berdua naik sepeda. Saya juga aktif di kegiatan warga khususnya di Mushola komplek perumahan. Saya biasanya paling awal hadir di Mushola dan menjadi Muadzin. Terkadang saya diminta jadi imam shalat berjamaah ketika ustadz yang biasa jadi imam tidak hadir. Saya juga terkadang membangunkan warga dengan mengumandangkan “tarhim”. Sebuah lantunan ayat-ayat Alquran yang dilantunkan sebelum waktu Shubuh dengan kalimat awal “Ya Arhamar Rahimin....”

Jadilah saya mulai dekat dengan mushola. Saya dianggap membantu “memakmurkan mushola” yang sebelumnya memang tidak banyak yang peduli. Mungkin warga punya kesan yang positif pada saya. Sampai-sampai saya kemudian dibangunkan tempat tinggal, mirip rumah kecil di lahan Mushola agar bisa mengurus kegiatan mushola dengan baik. Rumah kecil di komplek mushola juga dilengkapi perabotan rumah tangga yang bisa kami pergunakan. Sungguh sebuah karunia tak terduga yang datang dari tetangga-tetangga kmi.

Bulan Ramadhan justru saat kami sangat menikmati hidup bersama “keluarga” baru di perantauan. Mereka, terutama para tetangga, sangat perhatian dengan kami. Kami hampir tak pernah memasak, sebab tiap hari Mushola kebanjiran makanan tajil dan makan berat untuk kami dan jamaah. Apalagi di hari-hari terakhir Ramadhan, makanan lezat mengalir deras ke Mushola dimana ujungnya adalah buat kami juga.


Rasa kekeluargaan dan perhatian dari tetangga inilah yang menghibur kami meski kami tidak bisa pulang kampung saat lebaran tiba. Maklum dengan gaji yang sangat minim, kami tak banyak mempunyai uang untuk pulang kampung di awal masa perantauan. Tak apalah, toh kami bisa tetangga yang sudah kami anggap keluarga sendiri Kami juga bisa menikmati Ramadhan sebulan penuh mengurus tempat ibadah dan tidak terganggu aktifitas lain.
Di perantauan, meski jauh dari keluarga, kami tetap memiliki keluarga yang bisa menghibur kami, membantu kami dan menyemangati kami. Keluarga itu adalah tetangga kami. Meski tinggal di rumah kecil Allah membesarkan hati kami melalui tetangga yang baik. Meski ruangan rumah kami sempit, Allah meluaskan rezeki melalui perhatian dan kepdulian tetangga. Meski gaji masih minim, Allah memaksimalkan kebahagiaan kami dengan bertetangga dengan orang-orang baik.

Subhanallah...Nikmat yang mana lagi yang kami dustakan?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun