[caption id="attachment_346985" align="aligncenter" width="512" caption="Anggota Manggala Agni Daerah Operasional Kapuas Kalimantan Tengah sedang memadamkan kebakaran lahan gambut di Pulang Pisau pada September 2014 (dok. Agusman)"][/caption]
Dalam dua bulan terakhir kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan kembali melanda berbagai daerah di Indonesia. Musim kemarau yang lebih keras pada tahun ini membuat kekeringan yang memicu kebakaran hutan dan hutan di berbagai wilayah. Di beberapa kota di Pulau Kalimantan saat ini masih diselimuti asap tebal dari pembakaran hutan dan lahan. Sementara di Sumatera beberapa provinsi langganan kebakaran hutan dan lahan seperti Sumatera Selatan, Jambi dan Riau juga mengalami mengalami pengapnya udara dari kabut asap.
Secara teoritis, tingkat keparahan kebakaran hutan dan lahan sangat dipengaruhi oleh iklim. Musim kemarau yang panjang atau curah hujan yang lebih rendah dari kondisi normal (dibawah normal) membuat potensi bahaya kebakaran meningkat di berbagai wilayah di Indonesia. Menurut Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), tahun 2014 akan datang mulai pada Bulan Juli. Meski tergolong El Nino lemah, kejadian kebakaran hutan dan lahan mulai marak, bahkan pada awal tahun 2014 (Baca El Nino Akan Datang pada Bulan Juli )
Kebakaran hutan dan lahan di Riau menjadi awal tanda-tanda munculnya dampak El Nino di Indonesia. Kabut asap akibat dari kebakaran hutan dan lahan, khususnya di lahan gambut di Riau dan sekitarnya telah mendapat sorotan dunia. Kondisi ini mengulang kejadian setahun sebelumnya pada tahun 2013 dimana ka but asap dari kebakaran hutan dan lahan di Riau sampai mengganggu aktivitas masyarakat di negara Malaysia dan Singapura. Pada 2014 Presiden SBY sampai turun tangan dan ke lapangan memimpin upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Riau pada Februari 2014. (Baca selengkapnya di Pak SBY Akankah Anda Menunggu Sampai Riau "Menghilang"?
Sesat Penafsiran Hotspot
Sebenarnya, memantau kebakaran tidaklah sulit bagi semua kalangan. Data tentang hotspot (titik panas kebakaran) bisa diakses secara terbuka oleh siapa saja yang memiliki perhatian pada penanggulangan bencana kabut asap dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Hotspot menurut  Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu disekitarnya Menurut LAPAN (2004) hotspot atau titik panas adalah parameter yang diturunkan dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit. Hotspot adalah sebuah indikasi awal dari kejadian kebakaran hutan. Hotspot direkam sebagai sebuah piksel yang tidak mutlak kebakaran, tetapi mengekpresikan suhu yang relatif lebih tinggi daripada lingkungan sekitarnya. Jadi hotsppot tidak selalu lokasi yang terjadi kebakaran aktual di lapangan, namun hotspot bisa digunakan untuk indikasi areal berpotensi terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Sangat disayangkan, banyak wartawan dari berbagai media memakai kata hotspot yang diartikan sebagai titik api atau titik kebakaran. Penafsiran kata hotspot yang salah bisa membuat persepsi bahwa betapa banyaknya lokasi kebakaran di Indonesia karena tiap bulan saja bisa terdeteksi lebih dari 10 ribu hotspot di berbagai wilayah. Pada kenyataannya, di dalam data hotspot dari satelit Terra/Aqua MODIS Â terdapat tingkat kepercayaan (confidence level) dimana kebakaran umumnya terdeteksi oleh hotspot diatas confidence 50 (Lebih lanjut bisa membaca penelitian Thoha dkk, berjudul Spatiotemporal distribution of peatland fires in Kapuas District, Central Kalimantan Province, Indonesia). Namun dalam program peringatan dini , hotspot bisa digunakan sebagai data untuk membuat analisis spatial, temporal dan prediksi kebakaran hutan dan lahan. Karena kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh faktor manusia, maka hotspot bisa juga digunakan untuk mengetahui pola aktivitas masyarakat yang terkait dengan pembakaran lahan.
Beberapa sumber data yang bisa diperoleh publik tentang hotspot adalah dari Fire Information for Resource Management System (FIRMS) dibawah manajemen NASA (National Aero Space Administration) Amerika Serikat. (Bisa klik disini https://earthdata.nasa.gov/data/near-real-time-data/firms) yang merekam jejak titik panasi di bumi melalui satelit Terra dan Aqua dengan sensor MODIS. FIRMS sejak 2002 menyediakan data hotspot dalam berbagai format yaitu Shape, KML. WMS dan Text Files. FIRMS juga memiliki visualisasi sebaran hotspot dalam bentuk peta sehingga publik bisa melihat kondisi sebaran lokasi terindikasi kebakaran hutan dan lahan dalam rentang waktu yang diinginkan (bisa dilihat disini https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov/firemap/). Selain dari NASA, juga tercatat beberapa Lembaga di Indonesia yang secara intensif mengembangkan program deteksi dan peringatan dini berbasis data hotspot antara lain :
·Kementerian Kehutanan Republik Indonesia (Kemenhut) dengan program Indofire Map Services yang dapat diakses melalui situs http://indofire.dephut.go.id/indofire.asp (Gambar 2)
·Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) dengan program Forest Fire Danger Rating System yang bekerjasama dengan Kemenhut dan Kemen LH dan Pemerintah Australia diakses melalui situs http://indofire.landgate.wa.gov.au/indofire.asp
·Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang dapat diakses melalui situshttp://satelit.bmkg.go.id/satelit/modis/hotspot/
·Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional LAPAN dengan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) yang dapat diakses melalui situs http://www.lapanrs.com/simba/detail/5?i=24807
Bagi kalangan media yang membutuhkan data hotspot di daerah, beberapa kantor dibawah koordinasi Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)  seperti Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), Kantor Manggala Agni (Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan), Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Lembaga-lembaga tersebut  memiliki tugas pokok dan fungsi diantaranya menyediakan data hotspot kebakaran. Kementerian kehutanan bahkan menyediakan sarana  menyebarkan informasi hotspot  dari Satelit NOAA 18 secara harian di berbagai wilayah di Indonesia melalui mailing list sipongi. Awak media perlu menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga tersebut agar memiliki data terkait kebakaran hutan dan lahan yang bisa dipertanggungjawabkan sebelum dipublikasikan.
Kondisi Kebakaran Terkini.
Kebakaran hutan dan lahan kembali marak diberitakan berbagai media dalam dua bulan terkakir ini. Setidaknya sampai awal bulan Oktober 2014, bencana kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan melanda beberapa provinsi yaitu seluruh provinsi di Kalimantan, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Kejadian kebakaran yang masih marak sesuai dengan hasil pantauan satelit yang mendeteksi titik panas yang merupakan indikasi aktivitas kebakaran hutan dan lahan. Dari hasil pengolahan data hotspot yang diolah dari citra satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer), didapatkan jumlah hotspot seperti Gambar 1.
Selama 10 pekan dari bulan Agustus – awal Oktober 2104, hotspot kebakaran hutan dan lahan paling banyak terdeteksi di Kalimantan Tengah menyusul Sumatera Selatan kemudian Kalimantan Barat. Dari delapan provinsi yang menjadi wilayah yang sering terjadi kebakaran hutan dan lahan tersebut, telah terdeteksi sebanyak 24.161 Hotspot. Dari total hotspot sebanyak 24.161, hotspot yan ada di Kalteng mencapai 35 % sedangkan Sumsel 20 % dan Kalbar 14%. (Gambar 2)
Pada pekan pertama bulan Oktober ini, beberapa media mengabarkan masih maraknya kebakaran hutan dan lahan yang berakibat muculnya kabut asap yang pekat di beberapa wilayah seperu Kalimantan Tenga, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tiimur, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan. Berdasarkan hasil pengolahan data hotspot, provinsi-provinsi tersebut memang terdeteksi banyak hotspot. (Gambar 3).
Bila dianalisis lebihlanjut, pada awal bulan Oktober 2014, tidak semua provinsi rawan kebakaran hutan dan lahan mengalami peningkatan hotspot. Provinsi Riau pada pekan pertama Oktober justru mengalami penurunan hotspot dari rata-rata pekanan selama 10 pekan. Bila memakai data anomalid dari rata-rata pekanan selama 10pekan (1 Agustus – 9 Oktober 2014), maka di Riau terjadi anomali negatif. Artinya jumlah hotspot yang terjadi pada awal bulan Oktober 2014 menurun dibandingkan provinsi lain yang justru meningkat. (Gambar 4). Di Riau, pada awal Pktober 2014 jumlah lebih rendah dari rata-ratanya sebesar 44 hotpot (-44). Hal ini disebabkan di wiayah Provinsi Riau sudah turun hujan sejak awal bulan Oktober. Sementara itu, di Provinsi Kalteng dan Sumsel, justru anomali hotspotnya masih sangat besar di atas rata-rata. Faktanya dalam sepekan terkakir berita kabut asap di Kalteng dan Sumsel masih muncul di media. Staf  Manggala Agni Kapuas juga memberitakan melalui media sosial aktivitas pemadaman kebakaran lahan di beberapa tempat di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalteng.