Bila mendengar kata Harimau, sebagain masyarakat menunjuk pada satwa buas yang menakutkan. Banyak pandangan masyarakat yang masih memposisikan bahwa satwa mamalia berkulit belang ini merusak, mengganggu dan merugikan. Pemberitaan media juga sering menyebutkan bahwa ada “tindakan jahat” Harimau ketika terjadi konflik dengan manusia.
Persepsi negatif terhadap harimau tersebut menyebabkan upaya konservasi Harimau menghadapi jalan terjal. Harimau yang tersisa yaitu Harimau Sumatera di Indonesia diambang kepunahan menyusul dua jenis lain yang sudah punah yaitu Harimau Jawa dan Harimau Bali. Harimau Sumatera hidup di sisa ekosistem yang sebagian besar mendapat tekanan besar dari aktivitas manusia seolah dianggap sebagai musuh yang harus dilawan dan dibinasakan oleh sebagian orang.
Fakta Harimau Sumatera dan Habitatnya
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu-satunya sub-spesies harimau yang tersisa di Indonesia, setelah punahnya Harimau Jawa (P. t. sondaica) dan Harimau Bali (P. t. balica) di tahun 1980an dan 1940an. Data paling umum digunakan sebagai perkiraan jumlah harimau sumatera saat ini adalah sekitar 400-500 individu, meskipun data ini muncul dalam dokumen Sumatran Tiger Action Plan tahun 1994.
Selama lebih dari dua dekade, laju kehilangan luas hutan sebagai habitat utama Harimau di Sumatera mencapai 2% per tahun dari total luas kawasan hutan negara. Tutupan hutan, baik primer maupun sekunder telah menyempit dari 25,3 juta hektar di tahun 1985 menjadi 12,8 juta hektar di tahun 2009. Khusus untuk hutan primer, diketahui sejumlah 2,9 juta hektar telah terbuka pada selang tahun 2000 dan 2012. Kehilangan terbesar berada pada hutan lahan basah primer, sebesar 1.5 juta, dan hutan primer dataran rendah sebesar 1,2 juta hektar.
Deforestasi terutama terjadi pada wilayah yang lebih mudah aksesibilitasnya cocok sebagai lahan budidaya (hutan primer dataran rendah) atau terdapat sejumlah klaim oleh masyarakat lokal (terutama pada hutan lahan basah). Wilayah-wilayah ini juga merupakan areal yang kaya keanekeragaman hayati dan habitat terbaik bagi Harimau Sumatera.
Ancaman terhadap program konservasi Harimau Sumatera semakin tinggi oleh meningkatnya kerusakan habitat akibat deforestasi dan degradasi hutan dari kegiatan pembukaan lahan pertanian dan perkebunan, kebakaran hutan dan pembalakan hutan. Habitat Harimau Sumatera juga menghadapi bayang-bayang kerusakan yang makin luas dengan meningkatknya tren peningkatan pembangunan infrastuktur yang menambah fragmentasi habitat. Tekanan yang tidak kalah serius adalah perdagangan Harimau Sumatera yang diperdagangkan sekitar 50 ekor per tahun pada rentang waktu 1998 – 2002.
Pendekatan Sosia-Kultural dalam Konservasi Harimau Sumatera
Saat ini upaya konservasi Harimau Sumatera telah banyak dilakukan. Upaya konservasi masih menekankan pada perlindungan spesies, penurunan ancaman habitat, penegakan hukum dan penguatan kelembagaan para pihak. Banyak lembaga donor yang antusias mendanai proyek konservasi Harimau Sumatera di Indonesia, namun ancaman terhadap spesies dan habitatnya masih terus berlangsung.
Upaya konservasi Harimau Sumatera yang belum digarap secara sistematis dan berkelanjutan adalah pendekatan sosio-kultural. Pendekatan sosio-kultural ini intinya adalah mengubah persepsi Harimau Sumatera dari hewan yang “negative” menjadi satwa kebanggaan dan satwa yang disayangi. Bisa dikatakan bahwa kita perlu membangun image baru secara masif bagi harimau agar masyarakat beralih menjadikan Harimau sebagai satwa kebanggaan.
Masyarakat tradisional sebenarnya sudah menempatkan Harimau sebagai satwa yang “terhormat” bahkan keramat. Di beberapa wilayah Sumatera, Harimau diberi sebutan “Datuk” dan sangat tabu memperbincangkan harimau sembarangan. Keberadaan “Datuk” di kampung dipertahankan berikut juga habitatnya. Masyarakat tradisional percaya bahwa keberadaan Harimau akan menjaga keseimbangan alam sekaligus menjaga hutan di sekitar mereka.