[caption id="attachment_167336" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Satu ketika, saya naik angkot bersama anak dan istri saya. Saya memperhatikan seorang ibu yang membawa anak dan pengasuhnya duduk satu angkot. Sang Ibu sedang asyik memencet keypad Blackberry (BB)-nya. Di depan sang ibu, seorang anak usia kurang dari dua tahun merengek-rengek meminta susu. Si Pengasuh anak menanyakan pada Sang Ibu.
”Bu, botol Dedek di tas Ibu, Ya?”
Sang Ibu tidak menjawab. Sementara sang Anak makin kuat rengekannya.
”Susuuuu....” Sang anak mulai menangis
Sang Ibu masih asyik memencet BB-nya. Pengasuh anak itu lalu dengan agak keras menanyakan pada majikannya.
”Bu, Susu Dedek di tas Ibu?”
Dengan santai sang Ibu merogoh tas tanpa melepaskan padangannya pada BB dan menyorongkan botol susu pada pengasuh anaknya.
Memang sang anak tangisnya reda, namun sang ibu tetap saja asyik dengan BB-nya. hingga mereka sampai ke tempat tujuannya. Saya mengelus dada melihat fenomena ini.
Di kesempatan lain, saya melihat seorang anak muda yang sedang meyumpal telinganya dengan headphone entah dari mp3 player, mp4 player, HP (Handphone) atau iPod. Saat mereka berjalan di depan orang lain, berpapasan dan beradu pandangan sekalipun, pemuda-pemuda itu tak memberikan respon apapun bagi orang sekitarnya. Bahkan ketika suatu ketika seseorang bertanya pada anak muda itu, "Mas, stasiun kereta dimana, ya?" Anak-anak muda itu membisu sambil menggeleng-geleng kepalanya mengikuti irama.
Pemandangan yang tak kalah pihatinnya saya perhatikan di sebuah restoran. Sebuah keluarga, ayah, ibu, dua anak remaja, dalam satu meja. Mereka semua sibuk dengan handphonenya. Ayah dan anak yang terkecil tampak tersenyum-senyum memandangi layar handphone, sebaliknya anak yang satunya memelototi handphonenya dengan wajah cemberut. Sang ibu tampak serius mengirim sms.
Meja itu sunyi, tak ada yang bercakap-cakap satu sama lain. Saat makanan yang mereka pesan datang, mereka berbicara sejenak mengomentari makanan mereka, dan kemudian asyik kembali dengan handphone masing-masing sambil makan.
Ini yang lebih parah. Seorang anak sekolah dengan asyik memencet keypad HP-nya sambil menyetir motor dan cengengesan sendiri. Ia tidak sadar kalau posisi motornya berada di tengah jalan. Sementara mobil yang dibelakangnya terus membunyikan klakson. Anak sekolah itu asyik saja sampai kemudian pengendara motor lainnya mengingatkan dengan membentak-bentak.
***
Seorang Ibu seolah tercekat seluruh perhatiannya pada BB seolah buta dengan apa yang di depannya. Anak-anak muda yang tersumpal telinganya oleh headphone music player seolah menjadi tuli dengan irama musiknya. Sebuah keluarga membisu seribu bahasa di satu meja penuh makanan. Anak sekolah yang tak peduli keselamatan nyawanya karena asyik membalas pesan dari HP-nya. Mereka menjadi linglung, tersesat di dunia maya atau rimba lagu-lagu dan lupa akan apa yang berlangsung di sekitar mereka. Bahkan mereka mengabaikan siapapun yang mereka lewati. Fenomena yang hampir serupa juga akan banyak kita temukan saat menaiki angkutan umum entah itu angkot, kereta, bus atau pesawat. Dengan jarak yang begitu dekat, pemakai Gadget seolah tak pernah berdekatan dengan manusia di sekitarnya. Justru ia “terbang” beserta manusia lain di dunia maya.
Handphone, Blackberry, iPad, iPhone dan beragam gadget yang dipakai seseorang telah mengintensifkan penyekatan atau isolasi sosial. Bahkan ketika si pemakai headphones mengalami perjumpaan langsung dengan seseorang, telinga yang tersumpal langsung merupakan dalih untuk memperlakukan orang lain sebagai objek, sesuatu yang harus dilewati, bukannya seseorang yang harus dihargai, atau setidak-tidaknya yang harus diperhatikan. Sementara kehidupan sebagai pejalan kaki menawarkan peluang untuk menyapa orang yang mendekat, atau meluangkan waktu beberapa menit untuk bercakap-cakap dengan teman, si pengguna Gadget bisa mengabaikan siapa saja, menatap orang-orang lain begitu saja seolah-olah mereka tidak penting.
Orang lain yang maya di dalam yang gadget tak ada hubungannya apapun dengan orang-orang yang keberadaannya hanya sekitar satu meter atau bahkan sejengkal, yang kehidupannya praktis tak dipedulikan oleh pemakai gadget yang asyik sendiri itu. Sejauh teknologi menyerap orang ke dalam realitas maya, teknologi mematikan mereka terhadap orang-orang yang secara aktual ada di dekat mereka.
Fenomena ini disebut oleh Daniel Goleman dalam bukunya Social Intelegence sebagai Autisme Sosial. Autisme sosial yang diakibatkan oleh teknologi ini memperpanjang daftar yang tak akan ada akhirnya tentang konsekuensi yang tak dikehendaki terhadap manusia sebagai akibat serbuan teknologi yang terus berlangsung dalam kehidupan kita sehari-hari.
Konektifitas digital seperti music player, televisi, telepon selular, internet, email atau jejaring sosial yang terus menerus menjadi berarti, menyebabkan “pekerjaan” akan terus memburu kita bahkan saat kita berlibur atau bersantai dengan keluarga. Telepon selular bisa berbunyi di tengah-tengah piknik bersama anak-anak. Ketika ada di rumah, ayah dan ibu bahkan absen dari keluarganya karena setiap malam sibuk memeriksa e-mail.
Bagaimana dengan Saya, Anda atau orang terdekat kita? Jangan sampai kita berhubungan dengan orang terdekat kita namun sebenarnya menjaga jarak dengannya karena sibuk dengan konektifitas digital. Normn Nie, pemimpin survey Internet, direktur Stanford Institute for the Quantitative Study of Society, dalam konteks kehidupan keluarga (bukan kehidupan remaja) menyatakan, “Anda tak bisa mendapat pelukan atau ciuman di Internet.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H