Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Orang Mulai Enggan Menegur Kesalahan

9 Maret 2012   00:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:20 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_175495" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption] Tiga orang mahasiswa perempuan di perpustakaan kampus asyik ngobrol. Posisi saya hanya tiga meter dari mereka. Mereka asyik diskusi diselingi tawa ringan. Volume suara makin keras dan obrolan mulai bising. Di tempat sesunyi perpustakaan, suara bervolume biasa namun dilakukan tiga orang akan terdengar bising. Saya menengok mereka dan memandangi salah satunya. Saya harap ada yang mengerti dengan pandangan tajam saya. Baru satu paragraf saya membaca jurnal, suara tiga mahasiswa itu meledak lagi. Akhirnya saya menengok dan berkata, “Mbak, maaf suaranya, ya.” [caption id="attachment_167330" align="aligncenter" width="441" caption="Doc. Google Images"]

13312329661043744906
13312329661043744906
[/caption] Mendadak ruangan senyap. Beberapa pengunjung perpustakaan juga melihat tindakan saya. Apakah ada yang aneh? Apakah hanya saya yang berani menegur mereka? Lain waktu saya naik angkot beserta keluarga. Seorang lekaki dengan santai menghisap rokok tepat di depan saya. Seorang ibu disamping laki-laki itu menkibas-kibaskan tangannya dan memperlihatkan muka cemberut. Sepertinya si Ibu tidak suka asap rokok menerpanya namun segan menegur. Saya pun angkat suara, “Pak, maaf rokoknya. Tolong dimatiin!” Laki-laki perokok itu kaget. Dia langsung membuang rokoknya di lantai angkot. Tak lama setelah mematikan rokok dia pun turun dari angkot. Penumpang lain sepertinya merasa lega. [caption id="attachment_167331" align="aligncenter" width="600" caption="Merokok di ruang publik (doc. Google Images)"]
1331233030610492859
1331233030610492859
[/caption] Dua kejadian ini hanya mewakili begitu banyak fenomena semakin enggannya orang menegur kesalahan di ruang publik. Padahal tindakan mereka sudah mengganngu kenyamanan dan membahayakan. Apa jadinya kalau banyak orang sudah enggan menegur kesalahan? Pertama, mereka yang melihat kesalahan mengeluh pada tempat yang salah. Mahasiswa yang terganggu oleh pengunjung perpustakaan yang berisik mengeluh di milis, bukannya langsung menegur langsung. Ada orang yang melihat istrinya melakukan kesalahan di rumah, namun dijadikan status di jejaring sosial. Atasan yang bertindak salah digosipkan di kantor. Anak yang berlaku tidak benar diceritakan di tempat kerja. Ini bukan menyelesaikan masalah malah memperumit dan membuat masalah makin liar. Kedua, orang yang melakukan kesalahan akan semakin nyaman dengan kesalahannya. Mereka menjadi makin tersesat dengan perbuatannya karena pembiaran yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya. Bayangkan kalau mahasiswa di perpustakaan tidak merasa perbuatannya ngobrol sudah mengganggu atau orang yang merokok tidak merasa telah menyebar penyakit ke orang lain, apa yang terjadi? Ketiga, aturan tak lagi berwibawa. Seperti di perpustakaan ada aturan tidak boleh berisik dan menjaga ketenangan, namun karena tidak ada yang menegakkan aturan, maka perpustakaan tak lagi jadi tempat yang tenang untuk membaca dan belajar. Aturan yang dibuat pun sia-sia saja. Keempat, keengganan menegus kesalahan bisa mematikan rasa peduli pada lingkungan. Di lingkungan individulistis di Barat, complain atas ketidaknyamanan dan kesalahan justru masih menjadi budaya. Entah bagaimana seandainya seorang pengendara motor yang ugal-ugalan dan membahayakan pejalan kaki tidak ditegur, tentu banyak orang akan terkena getahnya. Menjaga privasi bukan berarti tidak peduli. [caption id="attachment_167332" align="aligncenter" width="448" caption="Perpustakan harusnya jadi tempat yang tenang (source : ksulib.typepad.com)"]
133123310010991898
133123310010991898
[/caption] Menegur tentu saja memiliki cara dan tempatnya sendiri. Perlu seni menegur yang cantik agar teguran berbuah kebaikan, bukan sebaliknya berbuntut percekcokan dan permusuhan. Cara yang baik, perkataan yang santun dan situasi yang tepat membuat teguran berbuah cinta dan kasih sayang. Seperti seorang anak kecil yang menegur kesalahan orang tua yang salah dalam berwudlu. Dia meminta mengecek cara wudlunya pada orang tua tersebut. “Bapak tolong cek cara berwudlu saya, apakah sudah benar atau belum?” Anak tersebut berwudlu dengan cara yang sempurna. Ini membuat orang tua itu sadar atas kesalahannya dan akhirnya memperbaiki kesalahannya tanpa rasa malu. Salam teguran kasih sayang!

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun