Jelang kampanye politik pemilihan kepala daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Pilkada DKI), suasana makin panas. Dugaan kampanye hitam pada salah satu calon, politisasi produk otomotif, dugaan korupsi dan isu lain makin memanaskan perhelatan Pilkada paling ditunggu di Indoenseia. Namun saya tidak akan membahas hal yang membuat suasana panas. Saya justru tertarik pada kampanye sejuk. Kampanye sejuk yangs aya maksud adalah pesan kampanye salah satu calon yang mengusung isu lingkungan hidup di dalamnya.
Kampanye politik yang kreatif setidaknya bisa menggarap berbagai isu, salah satunya isu lingkungan. Apalagi penduduk Jakarta banyak dari kalangan terdidik. Kalangan terdidik inilah yang relatif lebih menerima dan tetarik dengan isu lingkungan. Sedangkan untuk kalangan menengah ke bawah, isu lingkungan harus bisa terkoneksi dengan isu lain salah satunya budaya.
Isu lingkungan yang menjadi salah satu konten kampanye calon gubernur DKI adalah mengembalikan salah satu identitas Jakarta dulu yaitu sebagai kota penghasil buah. Anda tentu sangat familiar dengan Kawasan Condet, Duren Sawit, Mangga Besar, atinegara, Jatiwaringin, Jatipetamburan, Jatipadang, Kampung Rambutan, Kebu Jeruk.. Nama-nama tersebut terkait erat dengan produk buah yang dihasilkan oleh daerah tersebut zaman dulu.
[caption id="attachment_186702" align="aligncenter" width="448" caption="Buah Gandaria"][/caption]
Sebut saja daerah Condet. Condet dulunya adalah kawasan penghasil Salak, Duku dan Emping Condet yang sangat terkenal. Menurut budayawan Jakarta Alwi Shabab yang dikenal dengan Abah Alwi, Salak Condet bagitu dikenal di masa lalu, karena rasanya manis dan masir. Jauh lebih manis dibanding salak pondoh dari Yogyakarta. Salak yang kini populer dan paling banyak dipasarkan di Jakarta, belum ada apa-apanya dibandingkan salak Condet, kata sejumlah warga di Condet, yang dulu memiliki kebun salak di kediamannya. Apalagi kalau dibandingkan salak Bali. Duku Condet tidak kalah manisnya dengan duku Palembang, yang kini juga banyak merajai pasar buah di Jakarta. Masih ada lagi buah-buahan lainnya, seperti sawo dan kecapi yang juga terkenal manisnya. Belum lagi melinjo, yang oleh rakyat Condet dijadikan sebagai emping. Pohon melinjo, menurut para sesepuh di Condet, jumlahnya pernah mencapai ratusan ribu pohon. Tak heran ketika itu industri emping melinjo menjamur. (Baca : Salak, Duku dan Emping Condet)
[caption id="attachment_186705" align="aligncenter" width="239" caption="Salak Condet"]
Abah Awi juga menegaskan bahwa Jakarta, dulunya juga banyak tumbuh pohon jati, yang hingga kini masih diabadikan untuk nama kampung dan tempat. Seperti Jatimurni dan masih banyak lagi. Hutan jati yang dulu banyak terdapat di Jakarta telah dikuras sejak masa VOC karena laku keras di pasaran internasional. (Baca : Kampung Tertua di Jakarta)
Abah Alwi juga menambahkan bahwa sempitnya lahan karena telah berubah menjadi perumahan, mengakibatkan pepohonan dan buah-buahan yang dulu sangat syarat kini hampir tidak ada. Padahal semua buah-buahan yang ada di Jakarta, seperti duku, salak, mangga, rambutan, durian dan masih banyak lagi tumbuh subur di sini. Menurut keterangan penduduk asli, buah-buahan ini sengaja ditanam Pangeran Ahmad Jaketra pada ketika hijrah. . (Baca : Kampung Tertua di Jakarta )
[caption id="attachment_186706" align="aligncenter" width="239" caption="Duku Condet"]
Bila ditelusuri lebih dalam, nama-nama daerah yang terkait buah-buahan tersebut merupakan akar budaya lahir dan berkembangnya kota Jakarta yang dulunya bernama Jayakarta. Mengembalikan identitas Jakarta Zaman Dulu artinya juga mengembalikan Jakarta menjadi Kota yang Sejuk, Asri, Merakyat dan Penuh Warna Warni.
Inilah yang menarik perhatian salah satu calon gubernur (cagub) DKI Hidayat Nur Wahid dan Didik J. Rachbini menjadi salah satu konten kampanyenya. Selain memiliki konsep strategis dalam penanggulangan banjir, pasangan Cagub DKI ini banyak menyampaikan ide dan aktifitas untuk mengembalikan ikon Kota Tua Jakarta yang lekat dengan pepohonan.