Saya sering mendengar pernyataan banyak orang ketika diajak membantu sesama saudaranya yang tertimpa musibah.
"Saya tidak punya banyak, waktu."
"Saya masih harus mengepulkan asap dapur dulu. Nanti saya dan keluarga makan apa?
"Kalau ada dana saya bisa partisipasi."
"Nanti jualan saya rugi."
Hal sebaliknya justru saya menemukan kondisi yang berbeda, ketika panggilan nurani dan kemanusiaan menggelora dalam jiwa seseorang.
"Saya siap cuti, untuk ikut membantu korbam bencana di sana."
"Saya tutup usaha saya sementara. Rezski takkan tertukar."
"Saya mengambil semua tabungan saya untuk berangkat membantu saudara saya disana."
"Saya sumbangkan uang pulang kampung saya buat meringankan beban penderitaan saudara saya."
Perkara membantu sesama seringkali tidak bisa dikenali nalar atau logika. Ia begitu saja melesat cepat. Tapi terladang juga keras mebatu tak bergeming.
![Pengungsi Gempa Lombok mengais sisa barang berharga yang mungkin masih tersisa di reruntuhan rumahnya (dok. Thio RELINDO Kota Bogor, 21-8-2018)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/22/pengungsi-3-5b7d011d43322f78175e3412.jpg?t=o&v=770)
Disisi lain, banyak rakyat jelata yang berkorban jiwa, raga dan hartanya untuk bisa membersamai derita saudaranya, mengurangi rintihannya, menyambung harapannya yang terputus dan merangkai kembali puing-puing kehidupan yang berserakan. Mereka datang dari jauh melintas pulau, menyebrang laut, membelah angkasa dan menguras kantongnya demi saudaranya.Â
Tak ada hitungan untung rugi materi dalam dirinya. Mereka justru merasa rugi bila berdiam diri melihat saudaranya merintih dalam kesedihan di bawah bayang-bayang goncangan musibah yang dahsyat.
![Pengungsi Gempa Lombok mengais sisa barang berharga yang mungkin masih tersisa di reruntuhan rumahnya (dok. Thio RELINDO Kota Bogor, 21-8-2018)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/22/pengungsi-2-5b7cfddbbde57561ae3253c2.jpg?t=o&v=770)
Malam takbiran di pengungsian, begitu sunyi. Sesunyi suara dan kepedulian elit negeri yang nyaman tidur di kasur empuk dan udara yang hangat.
Buat pemimpin yang selalu menghitung untung rugi melihat rakyatnya menderita, jangan sepelekan doa orang yang terzalimi. Belajarlah dari rakyatmu yang memiliki jiwa pengorbanan yang tinggi.