Malam ini angin begitu kencang. Para pengungsi yang sebagian besar tinggal di tanah terbuka pasti kedinginan dibawah terpal.
Pengungsi dari anak-anak kecil dengan mata berbinar setiap hari memandangi kami, para relawan. Â Ada teriakan ceria dalam beberapa hari ini. Sebelumnya mereka masih ketakutan saat para relawan mengajak bermain di halaman ruko kosong di Jalan raya Tanjung, Jenggala Kecamatan Tanjung Lombok Utara.Â
Anak-anak itu menngungkapkan alasanya dengan dua kata yang sangat memilukan; "Takut gempa".
Hari ini, lagi-lagi masih saja para pengungsi datang  ke Posko kami dan mengadukan kondisinya.  Tentang makan yang kurang, pampers yang habis, pembalut yang tak lagi ada di tangan,  diare berketerusan,  sakit perut berulang-ulang,  terpal yang koyak dan bolong,  selimut dan pakaian yang tak mencukupi. Duh, hati terasa teriris-iris.
Duh... malam ini angin bertiup teramat kencang. Â Badan kami menggigil dalam terkamannya. Tanpa jaket dan tanpa sleeping bag. Suara nyaris habis, Â batuk dan pilek mulai mendera. Kondisi fisik menurun. Pikiran mulai kurang fokus. Apakah nasib mereka di deretan terpal pengungsi di tengah sawah sana?
Terpal sebagai pelindung cuaca mereka berlobang. Â Baju yang mereka kenakan hanya beberapa lembar bahkan kadang hanya yang kering dibadan saja.
Joko Mulyono, seorang relawan dari Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan (Relindo) mengungkapkan sebuah kisah singkat dimana seorang ibu dan anak balitanya sering mengunjungi posko kami hari ini (17/8/2018). Ada dialog singkat yang memilukan dan membuat hati ini bergelegak sedih. Sang Ibu menyapa dan memohon pada Joko Mulyono:
"Pak, ada terpal?Â
"Tenda kami dihuni 15 orang, Tendanya bolong-bolong. Angin masuk kencang. Si kecil ini sudah 6 kali mencret... ".
Oh Ya Rabb...kami tak sanggup menahan bulir air mata ini mengalir mendengar cerita dan pengakuan pengungsi ini.