Tubuh wanita renta berusia 72 tahun ini begitu lemah. Saat berdiri kakinya gemetaran. Saat saya mengunjunginya pada hari ahad, 27 Mei 2018 beliau sedang sakit. Tekanan darah Nek Iting, demikian beliau dipanggil sedang naik.
Saya lalu menjelaskan bahwa kedatangan saya ke rumah beliau dalam rangka memenuhi janji saya, saat dua bulan lalu saya datang kesini. Saya dan teman-teman sudah mengumpulkan dana untuk membantu memperbaiki rumah Nenek yang atapnya jebok sana-sini.
"Terima kasih, anakku. Aku senang bisa ada yang bantu. Apapun itu, aku senang menerimanya."
Nek Iting meskipun dalam kondisi sakit masih menampakkan aura semangat. Panggilan 'anakku' memang sangat mesra bagi saya. Sebuah penghormatan dari warga di Kabupaten Karo kepada yang lebih muda.
"Kau ambil yang diember itu anakku."
"Apa ini, Nek."
"Ambillah semua dan masukkan dalam karung."
"Ah Nenek kok repot-repot, nenek sakit lagi."
"Udah aku siapkan buat kelen."
Masya Allah, saya sangat terharu. Nenek yang hidup sebatangkara ini hidup capek-capek menyiapkan sekarung sayur-sayuran untuk "buah tangan" saya dan teman-teman relawan. Beliau menyambung hidup hanya dari berladang sayuran dan kopi di lahan yang tidak begitu luas di Kaki Gunung SInabung.
Dalam kondisi Nek Iting yang lemah, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh orang setua beliau. Tapi beliau menunjukkan kemuliaannya. Saya membayangkan demikian keras dan sulit usaha Nek Iting mengambil sayur-sayuran yang diberikan kepada kami. Dalam kondisi apapun rasa terima kasih dan memberikan sesuatu kepada tamu apalagi yang membantu adalah sebuah keharusan.
"Bujur, Nek."
Saya berpamitan kepada Nek Iting. Alhamdulillah sejak Senin, 28 Mei 2018 Nek Iting hidup di rumah beratap baru, aman dan nyaman. Semoga berkah ya Nek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H