Jarum jam dinding terus bergerak. Pagi ini jam menunjukkan pukul 06.15. Lima menit lagi saya harus menunaikan tugas sehari-hari, mengantar dua anak saya ke sekolahnya.
"Pagi amat, Pak?"
Begitu kata teman saya di kantor mengomentari aktivitas pagi saya yang tidak bisa sesantai teman kantor lain.
"Ya begitulah, Bu." jawab saya.
Bisanya pukul 06.20, roda motor Yamaha Jupiter Z, kendaraan kesayangan saya sudah melaju cepat mengantar dua anak saya ke sekolahnya. Ciuman tangan Faruq anak ketiga saya dan Aisyha anak ke empat saya, dibalas dengan kecupan sayang oleh istri saya.
Selama perjalanan singkat ini anak saya begitu menikmati udara segar dan jalanan yang sepi kendaraan. Jarak 4 km menuju sekolah anak saya di sebuah Sekolah Dasar di Jalan Abdul Hakim Tanjung sari Medan Selayang Kota Medan ditempuh dalam waktu 15 menit. Saya meninggalkan kecupan dan pelukan hangat buat anak saya yang selalu semangat berangkat sekolah. Lambaian tangan dan lari-lari kecil kedua anak saya mampu menerbitkan semangat saya setiap pagi.
Lain waktu, saya keluar kota. Istri saya harus mengantar anak saya ke sekolah. Karena istri saya tidak bisa mengendarai sepeda motor, maka istri saya memakai angkutan umum; kadang becak, angkot atau angkutan online. Anak saya sering rewel bila naik angkutan umum.
"Lama..."
"Gak enak..."
Itulah yang dirasakan anak saya saat saya tidak bisa mengantarnya. Selalu ada keluhan tanda ketidaknyamanan.
Bila saya ada di rumah, meski hujan deras, anak-anak tetap bersikeras tetap mau diantar ke sekolah oleh saya. Mereka tidak mau ditawarkan alternatif lain, meski itu sebuah mobil yang nyaman.
Hampir dua tahun saya lalui aktivitas menjadi pengantar dan penjemput anak sekolah di Medan. Ada rasa jenuh dan bosan awalnya. Ada rasa terganggu. Kadang ingin bersantai di pagi hari sebelum berangkat kerja. Kadang ingin terus bekerja di kantor sore hari jelang petang. Semua berubah dan beralih pada dua pasang mata yang selalu berbinar menaiki motor menembus padatnya lalu lintas Kota Medan.
Dua tangan mungil yang mencium tangan saya membuat lelah saya hilang. Tas-tas mungil berisi buku membuat saya teringat betapa masa-masa sekolah dulu begitu indah. Pelukan hangat Aisyah yang duduk di belakang saya menghangatkan jiwa saya yang seharian membeku oleh rutinitas kerja. CeritaFaruq yang senang habis mencetak gol usai latihan tanding di klub sepak bola di sekolahnya membuat energi saya yang hampir habis mulai terisi kembali.
Betapa indahnya bisa membersamai anak-anak di masa-masa emasnya. Mengantar anak sekolah memang banyak bermanfaat buat perkembangan anak saya dan juga buat saya. Dua sisi manfaat yang bisa dinikmati antara saya dan anak-anak. Saya merasa memiliki waktu saat anak-anak membutuhkan di waktu-waktu pentingnya. Anak-anak bersemangat memasuki pintu kelas sekolahnya dan membuat mereka semangat menjalani detik demi detik waktu di sekolah. Saya juga banyak mengetahui aktivitas sekolah di awal dan diakhir masa belajarnya. Saya banyak kenal dengan teman dan guru anak-anak saya. Saya banyak tahu lingkungan dan aktivitas luar kelas di sekolah anak-anak saya. Saya juga tahu apa yang ada di dalam kelas anak-anak saya.
Ini yang membuat saya membantu berkomunikasi lebih dekat dengan anak-anak saya. Setiap interaksi saya dengan anak saya bisa "nyambung" karena saya juga mengenal bagian kehidupan mereka yaitu kehidupan sekolahnya.
Jadi sebagai orang tua, saya tidak hanya ke sekolah saat mengambil rapor saja, tetapi sehari dua kali saya bisa melihat dan mengenal sekolah anak saya dan mendapat energi kebahagiaan anak-anak generasi penerus bangsa yang berharap masa depannya cerah.
Medan, 29 Oktober 2017
Catatan Seorang Ayah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H