Saat ini kata menanam menjadi popular di masyarakat. Di kalangan pemimpin, seruan menanam bibit pohon menjadi bobot politik yang positif untuk pencitraan dirinya bahwa mereka peduli lingkungan. Di kalangan aktifis lingkungan, kata menanam memiliki makna mengubah paradigma merusak menjadi memperbaiki. Di komunitas masyarakat kecil menanam menjadi penguatan dan dukungan akan kebiasaan baik mereka yang diparesiasi lewat program yang menguntungkan bagi mereka.
Program berbasis menanam telah banyak diluncurkan. Ada program dengan slogan “Kecil Menanam Besar Memanen”. Ada pula Slogan ”One Man One Tree”. Pemerintah juga mencanangkan ”Hari Menanam Indonesia” setiap tanggal 28Nopember dan pencanangan Penanaman ”Satu Miliar Pohon” di seluruh penjuru Nusantara. Menanam bahkan kini menjadi acara seremonial yang menambah nilai positif dalam setiap kegiatan. Maka bermunculan pula event organizer bagi kegiatan menanam bibit pohon di berbagai kota.
Namun yang terjadi sungguh tidak memuaskan hati kita. Berbagai kegiatan menanam berakhir dengan tidak jelasnya keberhasilan bibit pohon mencapai tahap pertumbuhan yang stabil. Beberapa kasus bahkan bibit hasil kegiatan penanaman dicabut akibat ketidakpahaman dan konflik lahan pertanaman. Lebih parah lagi, kegiatan penanaman dengan dana triliunan rupiah berakhir dengan dipenjarakannya penanggung jawab proyek akibat korupsi.
Orientasi menanam tidaklah buruk. Menanam adalah orientasi mengakhiri kerusakan dan memulai sebuah kebaikan. Niat baik untuk memperbaiki lingkungan telah dituntaskan dengan masuknya bibit tanaman atau pohon ke dalam lubang tanam. Namun apakah kebaikan itu hanya kita biarkan berakhir dengan membiarkan bibit yang lemah itu merintih karena tak terawat. Bukankah justru malah kita menyakiti bibit pohon yang ditanam. Bahkan akhirnya kematian adalah nasib yang hampir pasti bagi bibit pohon bila kita mengabaikan perawatannya.
Seperti seorang bayi yang baru lahir, tanpa daya dan kemandirian. Bayi itu coba kita rawat sebentar hingga bisa berbicara dan bisa makan makanan lunak. Kemudian bayi tersebut dilepas di lingkungan dimana makanan harus diusahakan sendiri, minuman harus diraih sendiri dan perlindungan pada tubuh perlu dipenuhi. Bisakah bayi itu bertahan hidup lama tanpa ada yang merenggut dan merawatnya di tempat yang cocok baginya?
Sahabat, merawat adalah tradisi mempertahankan kebaikan hingga tuntas. Merawat pohon menempa kesabaran, ketekunan, keikhlasan dan berserah diri pada-Nya. Perawat pohon meyakini bahwa tumbuhnya pohon bukan sekedar hasil upayanya sendiri, namun Tuhanlah yang menjamin pohon ini tetap hidup dan berkembang besar.
Bukankah kita tidak dapat mengendalikan cahaya matahari, hujan dan udara sebagai bahan kebutuhan pokok bagi pohon. Bagaimana bila Sang Pemilik Hujan menahan waktu dan memperkecil jatah turunnya hujan? Bagaimana bila cahaya matahari tidak bisa bersinar terang sepanjang hari, bulan dan tahun karena sering tertutup awan? Atau seandainya ada hama dan penyakit baru yang kemudian menyerang tanaman tanpa diduga? Apa yang bisa diperbuat kita, manusia?
Sahabat, sungguh mulia orang yang menanam sekaligus merawat kebaikan hingga memiliki manfaat besar bagi manusia. Menanam seratus kebajikan tanpa merawatnya tidak akan banyak berguna dibanding menanam satu atau dua kebajikan namun dirawat dengan penuh cinta, kasih sayang, keikhlasan dan berserah diri pada-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H