Mohon tunggu...
Achmad Rahayu
Achmad Rahayu Mohon Tunggu... -

laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masyarakat Tanpa Negara

14 Februari 2012   14:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:39 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bentrokan antar warga sekarang semakin marak terjadi di Republik ini. Tidak jelas sebab musababnya sehingga warga begitu mudah terprovokasi untuk saling bertikai antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Persoalan sepele terkadang dapat memicu bentrokan yang sangat kontra produktif. Persoalan yang dapat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Menggerus nilai-nilai persatuan dan kesatuan diantara sesama anak bangsa. Juga merupakan sebuah pengingkaran terhadap sifat alamiah manusia sebagai mahluk sosial yang mengharuskan dirinya untuk hidup bersama dan berdampingan dengan manusia yang lain.

Baru-baru ini bentrokan pecah di Desa Pelauw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Bentrokan tersebut pecah sejak Jumat (10-2) malam hingga Sabtu (11-2). Lima orang diberitakan tewas dan 300 rumah ludes dibakar akibat insiden ini (eksposnews.com). Bentrokan berdarah ini menjadi tamparan keras bagi kita semua terutama pemerintah. Dalam waktu sekejap, lima nyawa melayang dan ratusan rumah rata dengan tanah. Itu semua akibat didahulukannya amarah daripada duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Yang lebih anehnya lagi, warga yang saling bentrok tersebut merupakan warga yang masih bersaudara antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Seperti apa yang dikatakan oleh Kabid Humas Polda Maluku, AKBP Johanes Huwae, “Bentrokan dipicu perbedaan penentuan waktu peresmian rumah adat marga Salampessy, antara marga Salampessy belakang dan Salampessy muk di Desa Pelauw.”

Dapat kita bayangkan, hanya karena berbeda pendapat mengenai penetapan waktu peresmian rumah adat mereka saling bertikai. Saling menghabisi sesama. Membumi hanguskan bangunan-bangunan yang tidak berdosa. Sehingga cost yang harus dibayar oleh mereka sangat mahal sekali. Lima nyawa manusia melayang. Ratusan rumah habis rata dengan tanah. Belum lagi biaya sosial dan ekonomi yang harus ditanggung. Selain warga harus kehilangan tempat tinggal, bentrok tersebut dapat menciptakan ketegangan sosial berkepanjangan.

Pertanyaannya adalah, sudah sedemikian parahkah masyarakat kita melupakan nilai-nilai persatuan dan kesatuan diantara sesama anak bangsa. Kemana budaya musyawarah yang merupakan jiwa bangsa Indonesia itu menghilang. Apakah nilai-nilai nasionalisme dan kebhinekaan sudah berganti dengan nilai-nilai barbarianisme. Atau jangan-jangan hukum di negeri ini sudah berganti dengan hukum rimba. Siapa kuat dia menang. Tanpa mempertimbangkan lagi nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh kita semua.

Anarkisme-Kolektif

Kejadian di Pelauw menjadi pelajaran sangat berarti bagi kita. Betapa anarkisme masyarakat menjadi membudaya di negeri ini. Budaya bangsa Indonesia yang selalu mendahulukan gotong-royong dan musayawarah berganti dengan budaya bar-bar. Tidak ada hukum serta kemanusiaan. Yang ada hanyalah hukum rimba. Siapa yang merasa paling kuat dan berkuasa maka dialah yang akan menang. Spirit persatuan dan kesatuan tengah tergerus oleh perilaku individualistis dan egoistis yang selalu menganggap dirinya paling benar. Nasionalisme yang dapat menghantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan seakan tergerus dan musnah dari jiwa bangsa Indonesia. Siapakah yang salah dalam hal ini?

Masyarakat Indonesia yang dulu sangat toleran terhadap segala bentuk perbedaan sekarang menjadi lebih agressif bahkan acapkali anarkis. Secara sadar dan berami-ramai mereka menegakkan hukum bar-bar tanpa pandang bulu. Differensiasi (perbedaan) yang dulunya mampu hidup didalam bingkai kebhinekaan (walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu) sekarang terdifferensiasi (terbedakan) menjadi kelompok-kelompok ataupun golongan-golongan yang lebih mengedepankan egosentrisme dan tidak mampu hidup didalam perbedaan.

Bentrok yang terjadi di Pelauw hanya sebagian kecil saja dari konflik-konflik dan bentrokan-bentrokan horizontal di negeri ini. Daerah-daerah lain juga mengalami hal yang sama. Sebut saja bentrokan di Palu baru-baru ini. bentrok antar warga di Propinsi Lampung, bentrok antar suku di Papua, dan lain sebagainya. Belum lagi warga yang bentrok akibat persengketaan lahan maupun perbedaan aliran kepercayaan. Kerapkali anarkisme yang dikedepankan oleh masyarakat kita tanpa ada upaya pencarian jalan keluar masalah secara kekeluargaan.

Begitulah aksi-aksi anarkis terjadi secara kolektif ditengah masyarakat kita. Aksi yang merugikan secara ekonomi maupun sosial. Terlebih sampai nyawa manusia menjadi taruhannya. Sungguh nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang tertuang didalam Pancasila tak lagi bersemayam dan menjiwai masyarakat kita. Kalau tidak segera mendapatkan jalan keluar terhadap permasalahan kebangsaan ini, merupakan suatu ancaman serius terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Dari sudut pandang sosiologi, ada beberapa sebab atau pemicu terjadinya suatu konflik dan pertikaian. Pertama, perbedaan antar individu atau antar kelompok. Kedua, perbedaan kebudayaan. Ketiga, bentrokan antar kepentingan. Keempat, perubahan-perubahan sosial yang meliputi perubahan nilai-nilai dan norma-norma sosial, (Setiadi, M, Kolip; 2011). Keempat penyebab tersebut dapat menimbulkan benturan-benturan antar individu maupun antar kelompok atau golongan sehingga terjadilah pertikaian atau konflik ditengah-tengah masyarakat.

Masyarakat Tanpa Negara

Semakin maraknya pertikaian dan koflik horizontal akhir-akhir ini, berdampak kepada munculnya spekulasi-spekulasi terhadap keberadan negara kita. Dimanakah negara memainkan peranannya dalam situasi seperti ini. Ketika masyarakat tidak lagi menghargai dan mematuhi aturan hukum yang berlaku di negaranya. Masyarakat tak lagi menjiwai apa yang menjadi jiwa bangsanya sendiri. Bukankah Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia? Yang didalamnya terdapat nilai-nilai persatuan dan kesatuan didalam semua perbedaan. Lebih tegas lagi semboyan negara kita yaitu Bhineka Tunggal Ika mengajarkan kepada kita agar senantiasa bersatu didalam semua perbedaan. Bukan malah saling bertikai diantara sesama anak bangsa.

Pada zaman Orde Baru, Indonesia seperti halnya sebagai negara tanpa masyarakat. Masyarakat dipaksa untuk mengikuti semua keinginan pemerintah. Negara tampil kedepan sebagai kekuatan super power. Kebijakan-kebijakan pemerintah tak lagi berorientasi kepada kepentingan rakyat. Rakyat dibungkam kebebasannya didalam segala bidang. Negara melalui pemerintah menjadi otoriter terhadap rakyatnya sendiri. Namun demikian, konflik sosial di lapisan masyarakat dapat diminimalisir. Begitu terjadi konflik dibawah, pemerintah segera bertindak cepat dan tegas. Terlebih konflik yang mengarah kepada separatisme, negara tidak mentolerir sama sekali. Akan tetapi kebebasan publik dibatasi dengan berbagai macam dalih. Sehingga muncullah kesan bahwa zaman orba Indonesia seperti Negara tanpa masyrakat. Negara berjalan sendiri tanpa memperdulikan keberadaan rakyat.

Berbalik 180 derajat, Indonesia pasca reformasi bagaikan masyarakat tanpa negara. Negara seperti menghilang dari ruh masyarakatnya sendiri. Masyarakat berbuat sekehendak hati tanpa ada penegasan yang jelas oleh negara. Rakyat seperti tak lagi memiliki sebuah negara. Eksistensi negara pun semakin dipertanyakan ketika dianggap tak lagi mampu untuk menjalankan tugas-tugas dasrnya. Negara melalui pemerintah bertnggungjawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, abadi dan keadilan sosial.

Ditengah negara kita sedang menjalani proses demokratisasi, justeru semakin mengaburkan tujuan yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Pemerintah tidak lagi mampu menjabarkan apa yang menjadi tujuan negara kepada rakyat. Masyarakat terkesan dibiarkan tanpa arah yang jelas. Tanpa mengetahui mau dibawa kemana (pinjam istilah Armada Band) negara ini. Praktik-praktik korupsi semakin membudaya baik dilingkungan birokrasi maupun korporasi. Baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Konflik agraria dibiarkan begitu saja tanpa ada solusi yang jelas. Pertikaian antara sesama anak bangsa kian marak terjadi. Belum lagi konflik atar kepercayaan yang kesemuanya dapat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memang negara kita sekarang tengah mengalami turbulensi (goncangan), disorientasi, deideologisasi, demoralisasi, dan permasalahan kebangsaan lainnya. Menyebabkan rakyat seakan teralienasi dengan pemerintah dan negara. Rakyat tak lagi mampu menangkap sinyal-sinyal apa yang menjadi tujuan negara. Apa memang negara melalui pemerintah tak lagi mampu untuk menjabarkan nilai-nilai serta tujuannya kepada rakyatnya sendiri.

Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk dapat menyatukan antara tujun negara dan tujuan rakyat. Melalui otoritas yang dimilikinya, sudah seharusnya pemerintah segera tanggap akan permasalahan-permasalahan kebangsaan yang tengah melanda seperti konflik antar warga di Propinsi Maluku. Bukankah negara merupakan sebuah institusi yang tersentralisir, hirerarkis dan berkuasa yang mengembangkan sebuah monopoli atas penggunaan kekuasaan fisik yang terlegitimasi (Max Webber). Tentu dengan tetap menjunjung tinggi hak dan kewajiban rakyat sebagai warga negara. Jangan membiarkan masyarakat seperti tak mempunyai negara. Berbuat sekehendak hati tanpa ada rambu-rambu hukum yang jelas (Rule of Law). Negara harus mampu menjabarkan apa yang menjadi tujuannya kepda rakyat. Dengan tetap berpijak kepada nilai-nilai tuntutan budi nurani manusia yang paling mendasar (The Social Consience Of Man). Yaitu harmonisasi antara kemerdekaan individu dan keadilan sosial.

Pasir Pengaraian, 13 Februari 2012

Tulisan ini juga terbit di Harian Haluan Riau edisi 14 Februari 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun