Mohon tunggu...
Achmad Rafsanjani
Achmad Rafsanjani Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi People Development. Belajar Menulis, Psikologi Sosial Politik. Penikmat Buku, Film dan Sepakbola.

Consume Less. Share More. Live Simply. What we do in life. Echoes in eternity. #Seperti yang dikatakan oleh Peter Ustinov dalam Aftertaste (1958), sedikit orang berhenti menjadi manusia, dan mulai menjadi gagasan, kemudian menjadi monumen, sampai akhirnya menjadi aftertaste: bukti kejayaan masa lalu yang menyisakan rasa tertentu di kepala-kepala generasi saat ini#

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sisi Psikologi Korupsi

21 Februari 2019   17:05 Diperbarui: 20 Oktober 2019   13:06 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Corruption hurts the poor disproportionately by diverting funds intended for development, undermining a government's ability to provide basic services, feeding inequality and injustice, and discouraging foreign investment and aid". (Kofi Annan, mantan sekjen PBB dalam UN Convention against Corruption, 2002)

Pernyataan Kofi Annan tersebut masih terasa relevan hingga hari ini. Kejahatan korupsi merupakan salah satu sebab utama bagi keterpurukan bangsa ini. Paling mutakhir adalah kasus korupsi yang diduga di lakukan oleh Bupati Kotawaringin Timur (2/2), dengan kerugian mencapai 5,8 Triliun.

Total selama tahun 2018, setidaknya ada sekitar 21 kepala daerah yang terkena OTT KPK, terbanyak sepanjang sejarah. Kejahatan korupsi adalah kejahatan moral utama dari kepemimpinan publik, baik lokal hingga nasional, di negeri ini.

Dalam pernyataan publik berkaitan dengan the International Day against Corruption, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap tahunnya selalu menegaskan bahwa kampanye Antikorupsi bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa korupsi adalah masalah utama bangsa ini.         

Social Trust

Praktek korupsi, ditopang dengan kolusi dan nepotisme, adalah masalah sosial yang menyebabkan kerapuhan bangunan sosial dan kebaikan moral dalam masyarakat. Ini bukan karena korupsi, seperti dikatakan Kofi Annan diatas, menyedot dana-dana pemerintah yang semestinya dipergunakan untuk pemenuhan kesejahteraan masyarakat.

Tapi karena korupsi juga menjadi simbol dari 'kekayaan tanpa kerja keras', yang oleh pemikir India, Mohandas Gandhi, disebut sebagai dosa sosial yang mematikan. Potret dari dosa sosial ini, menurut Robert Groner dalam Vision of the Future, adalah perpaduan yang rapuh antara pulau-pulau kekayaan milik segelintir elite, yang dikelilingi oleh lautan luas kemiskinan masyarakat disekitarnya.

Dari perspektif interaksi sosial, perpaduan antara masyarakat miskin yang tidak puas dan elite yang hidup berlebihan, dapat memicu perselisihan sosial yang laten. Terkadang masyarakat miskin mengekspresikan ketidakpuasan dan kecemburuan mereka melalui sikap politik yang fatalistik, tindakan agesif dan bahkan destruktif.

Dampak paling berbahaya justru terletak pada masalah kebaikan moral, yang menjadi jantung bagi masyarakat beradab. Sosiolog berkebangsaan Inggris, Peter Berger, mengungkapkan bahwa korupsi yang tumbuh di masyarakat bisa menjadi wabah yang akan mematikan kesadaran masyarakat untuk hidup secara baik, jujur,dan konsisten.

Kejahatan korupsi memiliki kemampuan untuk memanipulasi wajah masyarakat, yang awalnya merupakan basis peradaban dengan mengedepankan moralitas, menjadi masyarakat primitif yang merepresentasikan ketidak-pedulian dan 'obsesi memborong habis'. 

Social Trust, struktur informal dalam masyarakat mengenai kepercayaan terhadap orang lain, termasuk terhadap kekuasaan mengalami dekadensi. Karena sebagian besar kasus korupsi terjadi pada pemimpin-pemimpin puncak dan pejabat publik di negeri ini, baik di tingkat lokal ataupun nasional. Hal ini menjadi ironi, karena pemimpin sejatinya menjadi teladan baik bagi masyarakat, dan sekaligus mencerminkan integritas intelektual dan moral yang memadai. Pemimpin menyatakan visi mereka dengan menjadi panutan bagi khalayak pengikutnya.

                

Efek Jera Minimal

Data Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang semester I 2018 saja misalnya, setidaknya terdapat 139 tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan, Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Bagian terbesar dari kasus tindak pidana korupsi melibatkan pejabat publik: Kepala Daerah, Aparatur Sipil Negara, dan juga Politisi di Parlemen.  

Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik ini disebut sebagai crimes by government. Dalam The Global Programs against Corruption (GPAC), Perserikatan Bangsa-Bangsa mengonfirmasi suatu pola kejahatan kerah putih yang merupakan trend kejahatan korupsi oleh pejabat publik. Pola ini juga telah menjadi trend serupa di Indonesia, bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu.

Mengapa kejahatan kerah putih ini memiliki kemampuan bertahan yang luar biasa, dan cenderung mengakar di kepala sebagian pejabat publik kita? Ketika reformasi birokrasi massif dikampanyekan, sistem pemerintahan diperketat dan lembaga anti-korupsi dibentuk secara khusus, korupsi masih menjadi budaya. Bahkan, menurut riset The World Economic Forum 2018, Indonesia menempati peringkat 80, dengan skor indeks persepsi korupsi adalah 32 (dari skor 100 sebagai continuum yang paling bersih)    

Untuk menjawab pertanyaan apokaliptikal ini, salah satu pendekatannya adalah dengan mencoba memahami sisi psikologis dari korupsi. Fakta yang kita ketahui bersama adalah korupsi dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pelakunya. Secara instingtif, individu akan melakukan tingkah laku korupsi sepanjang ia melihat kenyataan bahwa kemungkinan keuntungan ekonomi yang didapat masih jauh lebih besar, dibanding hukuman yang mungkin diterima.

Daniel Kaufmann, dalam artikel mencerahkan berjudul Corruption: The Facts, yang diterbitkan dalam majalah Foreign Policy, edisi musim panas 1997, menggambarkan logika berpikir individu mengenai korupsi ini dalam satu kalimat matematika sederhana: Economic Reward > Quantum of Punishment/Probability of Punishment.

Di negeri ini, pertimbangan logika diatas dapat dengan mudah ditemui. Kemungkinan hukuman dari kejahatan korupsi terkadang sangat ringan. Dalam kalimat satire, nilai hukumannya hampir sama dengan pencuri ayam. Jikapun hukuman penjara yang di terima koruptor sungguh berat. Mereka masih memiliki celah semisal pemberian remisi berlipat-ganda, hingga perlakuan khusus di lembaga pemasyarakatan seperti yang lazim diberitakan oleh media massa.

Dengan keuntungan ekonomi yang berlipat-ganda, individu berani mengambil resiko untuk melakukan kejahatan korupsi. Dimana resiko hukumannya, baik secara pidana ataupun sosial, terbilang kecil dan hanya sedikit menimbulkan efek jera.

                

Kesadaran Publik

Dengan fakta ini, satu bagian terpenting dalam gerakan pemberantasan korupsi adalah memberi efek jera pidana dan sosial yang berlipat-ganda bagi pelaku korupsi. Hukuman penjara dan denda, harus didesain dengan kualitas dan kuantitas yang lebih ekstrim dibanding saat ini; hukuman mati, sanksi sosial semisal di cabutnya hak politik dan publik seumur hidup, hingga keterangan khusus 'koruptor' pada identitas kewarganegaraan (yang akan melekat terus) sepanjang hidup para koruptor.

Perlakuan ini sangat penting, karena kejahatan korupsi yang di lakukan oleh segelintir pejabat publik terbukti merugikan dan merampas hak hidup layak yang semestinya dinikmati jutaan masyarakat di negeri ini.

Peningkatan efek jera ini, akan ditopang oleh penegakan hukum yang bersih dan independen, akuntabilitas sistem pemerintahan yang memadai, serta media massa dan partai politik yang 'berkarakter anti korupsi'. Sistem artifisial ini juga akan bergantung pada komitmen pemimpin dan pejabat publik, baik di level lokal ataupun nasional, dalam suatu gerakan nasional pemberantasan korupsi. 

Bagaimanapun, prioritas dalam setiap kampanye antikorupsi adalah meningkatkan kesadaran publik untuk mengenali dan mengatasi masalah-masalah mengenai korupsi. Kesadaran ini dapat diawali oleh setiap anggota keluarga, dengan cara menanamkan nilai-nilai baik melalui media pengajaran agama dan pendidikan.

Pendekatan pendidikan moral serta keterlibatan sejak dini dalam kampanye antikorupsi adalah kloning doktrin terpenting bagi setiap anggota keluarga, terutama generasi muda. Melalui diskursus pendidikan moral, kita dapat memberikan ruang yang luas bagi anak-anak dan generasi muda untuk menghayati nilai-nilai baik, perasaan peduli dan empati, rasa kasih sayang serta prinsip-prinsip keadilan.

Setiap diskursus antikorupsi dapat menjadi momentum pencerahan pemikiran yang men-suplai anti-tesis bagi tingkah laku koruptif, sekaligus bertujuan mendorong rehabilitasi hak hidup layak dari masyarakat banyak yang telah dirampas oleh kejahatan korupsi.

Pada akhirnya, setiap gerakan anti-korupsi, semisal kampanye edukasi antikorupsi diatas ataupun peringatan tahunan hari antikorupsi sedunia setiap 9 Desember, adalah wahana untuk terus memperkuat dan membuat kesadaran anti korupsi sebagai arus utama pemikiran dan kebijakan publik di negeri ini.


Achmad Rafsanjani - Jakarta, 21-Feb-19

#korupsi #socialtrust #psikologi #hariantikorupsi #kesadaranpublik

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun