Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Waduh, Selfie di Tengah Lokasi Bencana!

25 September 2016   22:26 Diperbarui: 26 September 2016   11:59 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: http://elshinta.com/

Basarnas menghimbau masyarakat tidak berswafoto alias selfie di lokasi banjir bandang Garut. "Harap diingatkan atau ditegur bagi masyarakat yang hanya selfie-selfie. Mari kita jaga perasaan korban yang terkena bencana," kata Humas dan Protokoler Basarnas Bandung, Joshua melalui siaran pers, dilansir Antara, Minggu (25/9/2016).

Hal senada disampaikan Komandan Posko Penanggulangan Bencana Garut, Letkol Arm Setyo Hani Susanto. Menurut Setyo, selama tanggap darurat ada banyak masyarakat luar bahkan mengatasnamakan kelompok atau organisasi berfoto bersama dengan latar belakang daerah terdampak bencana.

Imbauan Joshua dan Letkol Arm Setyo Hani Susanto semestinya tidak sampai dilontarkan apabila sejak awal masyarakat bukan korban atau organisasi sosial memiliki rasa dan sikap empati bahwa lokasi bencana bukan tempat wisata. Apalagi status tanggap darurat masih berlaku di wilayah bencana.

Menjelang Hari Raya Idul Adha yang baru lewat, saya membaca sebuah spanduk 'rayuan' bahwa Kurban Itu Mudah. Kalimat tersebut sekilas benar dan tak ada masalah apapun. Namun, ketika nalar sehat mencermati, muncul sebuah pertanyaan, benarkah berkurban itu mudah? Kalau dihubungkan dengan konteks sejarah kisah kurban Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, akan sangat sembrono menyimpulkan bahwa kurban itu mudah.

Apanya yang mudah, sebagaimana warga yang terdampak bencana dan berduka itu, dalam konteks sebagai pihak yang berkurban dan dikurbankan, apakah benar-benar mudah? Baiklah, mungkin yang dimaksud kurban itu mudah bagi mereka yang mampu secara finansial, bisa karena ada kelebihan rezeki atau menabung, tetap mengandung kesulitan-kesulitan. Niat yang ikhlas, bebas dari kepentingan pencitraan, mengikis egoisme melalui foto-foto selfie, atau membebaskan diri dari sejumlah perusak amal baik lainnya, bukanlah pekerjaan mudah.

Berkurban apalagi berada pada pihak yang dikurbankan, sangat sembrono jika dianggap mudah. Kecuali kategori mudah itu sebatas kemampuan menyodorkan bantuan kepada pihak yang membutuhkan dengan mengabaikan esensi yang harus dikandung dalam sebuah amal ibadah. Materialisme itu namanya. Saking mudahnya, hingga empati dan rasa tepo sliro pun hilang. Daerah bencana menjadi tempat wisata.

Kendati demikian, dalam laporan bertajuk World Giving Index yang menjadikan sumbangan uang, waktu menjadi relawan, dan kemauan membantu orang asing yang membutuhkan sebagai variabel utama survei, pada 2014 menempatkan Indonesia berada pada peringkat ke-13 dari 156 negara yang gemar beramal dengan skor 51. 66 persen masyarakat gemar memberi bantuan untuk orang lain, 48 persen mau menolong orang asing, dan 40 persen rela meluangkan waktu menjadi relawan.

Pada 2015 posisi Indonesia turun di peringkat ke-22, di bawah Jamaica, di atas Austria dan Kuwait. Adapun posisi pertama hingga ketiga ditempati Myanmar, Amerika Serikat, dan Selandia Baru.

Laporan yang disusun oleh Charities Aid Foundation itu disikapi secara proporsional dan empan papan saja. Pertanyaan yang terselip di antara sekian banyak isu dan persoalan di Indonesia adalah apakah kita benar-benar peduli dengan banjir bandang di Garut? Peduli yang sungguh-sungguh peduli?

Seperti sudah 'diskenario' Tuhan, banjir bandang Garut berbarengan dengan memanasnya situasi politik di Jakarta. Beberapa pengamat menyoroti, duka Garut kalah 'ngetren' dengan pengadilan Jessica, sehingga televisi masih menyiarkannya secara live. Dari Jessica siaran live  bergeser saat Ahok-Djarot yang mendaftarkan diri ke KPUD DKI. Setelah urusan Ahok-Djarot selesai banjir bandang Garut baru mendapatkan porsi yang signifikan di layar televisi.

Banjir bandang dan seperti sejumlah bencana alam lainnya di negeri ini akan selalu menjadi peristiwa biasa, kejadian biasa-biasa saja, musibah lokal yang tidak dianggap sebagai sesuatu yang serius, mendesak, dan genting. Ia tak ubahnya seperti insiden sehari-hari: naiknya harga kebutuhan pokok, kecelakaan lalu lintas, artis batal umroh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun