Apa daya, tidak setiap orang Islam berkesempatan menunaikan ibadah haji. Biaya naik haji yang semakin tinggi, antrean yang mengerikan hingga 20 tahun, usia yang semakin tua, serta berbagai kendala lain membuat mereka yang tak mampu berhaji cukup membayangkan Masjidil Haram sambil sesekali berharap dalam niat dan doa.
Ada pula yang tak kurang akal. Sembari menunggu keberangkatan haji pada sepuluh atau duapuluh tahun lagi, mereka yang memiliki rezeki lebih memilih ibadah umrah sebagai semacam “pelampiasan” dan “pelarian”. Umrah menjadi ibadah “wajib” bagi mereka yang menurut hitungan akal tidak mungkin lagi bisa berhaji karena berbagai faktor dan kendala.
“Kewajiban” menjalankan ibadah umroh itu terutama diakibatkan oleh semakin panjang dan lama daftar tunggu berhaji. Keadaan yang berbeda dengan situasi sekitar tahun 1990 an. Waktu itu mereka yang melaksanakan umroh terlebih dahulu sebelum berhaji selalu menjadi pertanyaan dan bahan pembicaraan di tengah masyarakat. Alasannya, umroh itu ibadah sunah sedangkan haji ibadah wajib. Mengapa mendahulukan ibadah sunah dan mengakhirkan ibadah wajib?
Tapi itu dahulu. Sekarang keadaan sudah terbalik. Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) mencatat rata-rata keberangkatan jamaah umrah Indonesia mencapai 52 ribu orang setiap bulan pada 2015. Dipastikan angka itu akan meningkat di tahun mendatang. Apalagi seiring waktu berjalan, masa tunggu haji juga akan terus bertambah dan semakin lama. 2,9 juta orang Indonesia kini ada dalam daftar waiting list haji dan akan berangkat 17-20 tahun ke depan.
Ibadah umrah benar-benar menjadi ibadah “pelarian” bagi mereka yang merindu Masjidil Haram. Terlepas dari niat setiap individu, ibadah umrah pun kini menjadi wisata spiritual ke berbagai negara dan situs bersejarah yang berkaitan dengan perjuangan Islam. Lebih membanggakan lagi, ibadah umrah menjadi simbol tahta kelas sosial atas untuk meneguhkan sikap spiritual. Selain menjadi ibadah “pelarian”, umroh menjadi lambang kemewahan spiritual. “Aku kaya dan berumrah maka aku terhormat...”
Ketika ibadah kehilangan tata kelola batiniah itulah saatnya agen-agen bisnis komersial menyambutnya dengan pintu terbuka lebar. Penyedia jasa travel umrah baik yang abal-abal maupun legal tumbuh bagai ilalang. Bisnis travel umroh selain bertujuan mulia yakni melayani tamu-tamu Allah juga mengincar bergelimang keutungan.
Negara pasti diuntungkan dengan bisnis itu. Pada 2015 diperkirakan negara menerima untung sebesar 1,4 triliun rupiah dari bisnis umrah. Estimasi keuntungan itu didasarkan pada rata-rata 636 ribu jamaah umrah yang berangkat setiap tahun. Jika setiap jamaah dikenakan biaya umroh rata-rata 20 juta rupiah, maka putaran uang ibadah umrah sebesar 12 triliun rupiah.
Bagaimana dengan agen travel umrah? Walaupun profit margin tidak sebesar haji yakni 15-20 %, kontinuitas ibadah umrah tiap bulan tetap menjanjikan keuntungan besar dengan profit margin 3-5 %. Peminat umroh yang semakin banyak dan bisa dilaksanakan setiap bulan menjadi pemandangan yang menggiurkan. Berburu keuntungan yang cukup besar itu tak semuanya dilakoni dengan jujur. Travel umroh nakal memeras akal. Mereka tak segan memanfaatkan kerinduan dan "pelarian" jamaah yang ingin bersegera hadir di Masjidil Haram.
Marketing travel haji dan umroh bergentayangan. Mencari mangsa para perindu Masjidil Haram. Tokoh masyarakat dan kyai digandeng, dimanfaatkan legitimasi sosial agamanya untuk menarik kepercayaan masyarakat. Setali tiga uang. Lumer hatinya oleh uang dan keuntungan tidak sedikit tokoh masyarakat termakan pula bujuk rayu marketing travel haji yang nakal tak berizin itu.
Berbagai intrik dan permainan culas dari agen nakal kerap menjerat tokoh masyarakat. Dililit hutang segunung akibat uang jamaah dibawa lari oleh “pemain nakal” harus ditanggung oleh tokoh masyarakat. Bukan sekadar melunasi hutang atau memberangkatkan jamaah yang terlantar, persoalan tipu menipu itu melebar ke permasalahan lain yang tidak bersangkut paut dengan esensi ibadah umarah atau haji.
Mengantisipasi hal itu Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah berkali-kali mengingatkan masyarakat agar tidak tertipu oleh marketing travel haji dan umrah yang tidak berizin. “Sebaiknya pilihlah yang berizin dan bertahun-tahun sudah teruji keprofesionalannya. Jangan asal pilih, nanti ujung-ujungnya tertipu alias tidak berangkat. Uang hilang dibawa kabur," saran Bustari, Kepala Bagian Tata Usaha, Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Sumatera Barat. (haji.kemenag.go.id)