Di manakah negeri pecinta sinetron itu? Di negeri kita tercinta, Indonesia Raya. Negeri bagai surga, yang penduduknya bersahaja, adem ayem, makmur lahir batin. Apa lagi yang dibutuhkan di tengah kemakmuran selain hiburan yang dinikmati sembari leyeh-leyeh. Hiburan yang tidak memerlukan kening berkerut, yang tidak memeras otak untuk memahami alur cerita, yang tidak njelimet dan ruwet. Hanya sinetron, selalu sinetron, dan lagi-lagi sinetron—hiburan dengan perangkat logika, estetika, etika serba ala kadarnya.
Ala kadarnya sesuai atau (sengaja) disesuaikan dengan kemampuan dan daya apresiasi masyarakat. Kalau pemainnya seorang wanita ia harus wanita yang cantik sempurna. Kalau jalan ceritanya mengekspolitasi antar karakter, ya sekalian karakter putih melawan karakter hitam. Masyarakat tidak begitu suka abu-abu, absurd, tidak jelas, sebab dalam kenyataan hidup mereka bosan dengan absurditas dan kemunafikan.
Itulah mengapa watak Haji Muhidin banyak digemari: karakter yang mencolok, pasti, dan tidak menawarkan ragam kemungkinan perilaku, detail-detail karakter tersembunyi, atau sejumlah misteri kejiwaan layaknya seorang manusia dalam kehidupan nyata. Haji Muhidin adalah boneka—karakter tanpa kemungkinan, menawarkan kepastian: pasti jahat, pasti culas, pasti dengki, dan sejumlah pasti-pasti lain yang muncul dari kutub negatif.
Fakta menunjukkan masyarakat ‘cocok’ dan menerima tokoh 'boneka' itu. Mereka menjadi penyumbang setia rating tontonan. Swadeka.com melaporkan pada 8 September 2016, data Nielsen (target audiens: all) pada 10 kota, menunjukkan 'Tukang Bubur Naik Haji The Series' ada di posisi 1 dengan TVR 6,0 dan TVS 23,1. Sinetron 'Tukang Bubur Naik Haji The Series' mengalahkan sinetron Anak Jalanan yang berada di posisi 2 dengan TVR 5,8 dan TVS 26,8. Sementara sinetron 'Anugerah Cinta' harus puas berada di posisi 3 dengan TVR 5,6 dan TVS 27,4.
Tukang Bubur Naik Haji The Series (TBNH) tayang sejak 28 Mei 2012 dan membukukan lebih dari 2070 episode. Angka tertinggi sepanjang sejarah sinetron di Indonesia, menggeser 'Cinta Fitri' yang akhirnya berhenti hanya sampai episode 777 pada tahun 2010 lalu.
RCTI dan SinemArt akan tetap mengandalkan TBNH untuk menambah pundi-pundi keuntungan. Sebuah platform digital yang memantau iklan di televisi swasta, Adstensity, mencatat jumlah iklan di sinetron itu selama kuartal pertama tahun 2016 mencapai 6044 spot iklan. Dengan kata lain, sebanyak 287,8 miliar rupiah atau sekitar 95,5 miliar rupiah setiap bulan adalah nominal keuntungan yang diraup TBNH. Dengan tayang lima kali dalam seminggu sinetron itu menghasilkan kira-kira 4,7 miliar rupiah per episode. Padahal TBNH telah mencapai lebih 2000 episode, dan keuntungan yang mengalir bisa mencapai 9,4 triliun rupiah.
Semua itu tidak lepas dari partisipasi masyarakat. Jumlah kelas menengah di Indonesia yang mencapai 134 juta jiwa (data Bank Dunia pada 2010) atau 30,1 juta jiwa (data BPS pada 2015) menjadikan Indonesia sebagai pasar empuk sinetron. Sayangnya, pasar yang potensial itu tidak menerima edukasi bagaimana memilah, memilih, mengkritisi, dan mengapresiasi sebuah tayangan televisi.
Anjuran ‘kalau tidak suka sinetron jangan ditonton’ merupakan saran ingin menang sendiri. Kalau kebutuhan pokok diumpamakan makan nasi, tayangan yang tidak mendidik itu seperti menyajikan nasi basi atau beracun. Alih-alih menyajikan nasi yang sehat, malah menyatakan, sudah tahu nasi basi masih dimakan juga. Padahal survei tatap muka yang dilakukan Litbang Kompas akhir Desember 2015 terhadap warga Jakarta menunjukkan, menonton televisi sudah menjadi 'kebutuhan pokok' publik Jakarta.
Menonton televisi yang menjadi kebiasaan dan menyita waktu harian itu tidak sepatutnya dijadikan ajang eksploitasi, demi mengeruk keuntungan rupiah semata. Apalagi dari beragam acara yang ditayangkan, program hiburan seperti sinetron merupakan acara favorit warga Jakarta, dengan kualitas program terbilang rendah.
Terbilang rendah? Mengutip KOMPAS.com, hasil survei yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) serta sembilan perguruan tinggi di sembilan kota di Indonesia pada pertengahan 2015 menunjukkan, indeks kualitas program siaran 15 televisi di Indonesia hanya 3,27 atau masih di bawah standar ketentuan KPI, yakni 4,0.
Hebatnya, acara yang mendapat penilaian rendah, seperti infotainment, sinetron, variety show justru mendominasi waktu utama (prime time). Di tengah kebutuhan pokok menonton televisi kita pun dipaksa jadi ‘boneka’, diperlakukan seperti boneka, dianggap boneka, dan di-boneka-kan—seperti tokoh Haji Muhidin—oleh program acara yang nir-akal. Harkat dan potensi kemanusiaan sebagai makhluk yang dianugerahi akal, total dinafikan begitu saja.