Tempe. Darimana asal muasal kata tempe? Siapa orang pertama yang mengucapkan “tempe”? Mengapa dinamakan tempe, bukan misalnya kedelai goreng atau suku kata lainnya? Betapa jauh jarak bunyi “kedelai” sebagai bahan utama dengan produk olahan bernama “tempe”. Sebagaimana cukup jauh jarak antara ketela dengan gethuk, karak dengan rengginang, jagung dengan sego ampok.
Sekadar melatih otot asosiasi, menyebut tempe harus tidak melupakan kedelai, harga kedelai, distribusi kedelai, import kedelai, petani kedelai, sawah, lahan yang makin sempit karena ditanami bangunan yang dicor dan seterusnya.
Itulah mengapa di awal tulisan ini saya mengajak Anda mengingat amal jariah orang yang menemukan dan mengkreativi tempe, hingga kata tempe akrab di telinga dan rasanya tidak asing di lidah.
Lebih mudah melacak sejarah kata “twitter” daripada menelesuri detail-detail konteks sejarah penemuan tempe. Ilmuwan dari abad ke-6, Isidore dari Sevillaa, mengingatkan jika kita mengetahui asal usul sebuah kata, semuanya dapat dipahami lebih jelas.
Memahami asal usul sebuah kata atau dalam konteks melacak nama tempe menjadi cukup penting dan bermakna, mengingat kita sering menyepelekan produk khas bangsa Nusantara itu untuk menggambarkan mentalitas yang loyo dan terjajah, dengan sebutan mental tempe.
Mary Astuti, pakar tempe dari Universitas Gajah Mada, dalam Bunga Rampai Tempe Indonesia, kata kedelai yang ditulis kadeledalam bahasa Jawa ditemukan dalam Serat Sri Tanjung (abad ke-12 atau 13). Selain dalam serat legenda kota Banyuwangi itu, kata kedelai juga dijumpai dalam Serat Centhini, yang ditulis oleh juru tulis keraton Surakarta, R Ng Ronggo Sutrasno pada 1814.
Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia,tempe berasal dari kata Nusantara tape,yang mengandung arti fermentasi, dan wadah besar tempat produk fermentasidisebut tempayan.
Mereka yang makan tempe distempel sebagai penghuni kelas sosial paling rendah, melarat, biasa terinjak dan diinjak. Konotasi kata itu justru bertentangan dengan mentalitas rakyat kelas bawah yang tangguh. Ejekan mental tempe berbanding terbalik dengan kecanggihan teknologi internal jiwa mereka. Mental tempe adalah mental yang tangguh, mental yang menyehatkan karena sel-sel jiwa kita disuplai oleh “protein penindasan” yang menjadikan kita sosok individu dan bangsa yang berhasil membuat loyo sang pemerkosa.
Begitu ajaib tempe dan mental tempe—hingga pada kadar tertentu penindasan yang melampaui titik kulminasi penderitaan akan terasa bukan penindasan. Pemerkosaan yang melewati titik paling pedih akan terasa bukan pemerkosaan. Pembodohan yang mencapai lembah paling rendah dari harkat dan martabat manusia bukan lagi dianggap pembodohan.
Tempe adalah simbol refleksi yang menyuarakan jutaan nasib rakyat Indonesia yang dikerangkeng oleh mental inferior, namun pada sisi yang lain, di saat yang sama, tempe adalah magic food atau heaven food, dan manusia Indonesia adalah penduduk masa depan yang akan memangku, mengayomi, melindungi bangsa-bangsa lain di dunia.
Kita sedang sangat membutuhkan langkah-langkah filosofis-strategis dari peradaban pembuatan tempe untuk mengaktivasi keunggulan kedelai bangsa Indonesia—cara berpikir yang disterilisasi dan disucikan kembali, pemimpin yang bisa menjadi “ragi” bagi perubahan, hijrah nasional yang tidak merusak proses “fermentasi” dengan menjaga suhu pergaulan agar tidak selalu memanas.