Menteri Pendidikan Dasar-Menengah dan Kebudayaan (Mendikdasmenbud) Anies Baswedan akhirnya mengambil sikap terkait karut marut implementasi Kurikulum 2013. “Ibaratnya, pelaksanaan Kurikulum 2013 itu terlalu prematur," katanya. (Kompas.com, 23 November 2014).
Selain kelahirannya yang prematur dan dipaksakan, saya menyaksikan forum pelatihan guru Kurikulum 2013 dipenuhi sikap bingung dan – maaf – apatis. Entah karena sebagian besar pesertanya adalah guru-guru tua yang kinerjanya sudah uzur, atau lemahnya skill operasional komputer (di kalangan guru dikenal dengan penyakit TBC – Tidak Bisa Computer), atau paradigma lawas yang terlanjur mengakar kuar di kalangan para guru – saya menyaksikan pelatihan Kurikulum 2013 yang saya ikuti sekedar untuk menggugurkan kewajiban.
Saya tetap curiga semuanya berangkat dari bagaimana merobohkan paradigma lama lalu menggantinya dengan yang baru. Paradigma lama terkait dengan mindset bagaimana guru memahami proses belajar, mengapa siswa perlu sekolah, bagaimana pendidikan dipahami hanya sebatas belajar di sekolah. Dalam hal ini sejumlah deretan pertanyaan yang lebih mengakar tentu dapat kita ajukan sebagai bentuk gugatan atas usangnya paradigma dan kunonya mindset para guru.
Kecurigaan saya makin diperkuat oleh mental inferior yang sangat akut. Di tengah sambutannya, seorang pejabat Dinas Pendidikan Dasar-Menengah dan Kebudayaan Kabupaten memaparkan keunggulan sistem dan model pendidikan luar negeri. Rujukannya dapat ditebak: Jepang dan Selandia Baru. Dalam hati saya tertawa sekaligus berontak. Indonesia bahkan Nusantara adalah bangsa besar. Peradaban Nusantara adalah salah satu pilar penyangga peradaban dunia. Kita menjadi kecil dan selalu dihinggapi situasi keterbelakangan karena kita tidak kunjung melakukan khittah kembali pada kesejatian sejarah bangsa sendiri, dalam bidang apapun.
Sudah bukan waktunya lagi negara menindih rakyatnya dengan regulasi-regulasi yang mematikan inisiatif keterlibatan warga dalam memajukan pendidikan. Mengatasi permasalahan pendidikan mustahil diserahkan sepenuhnya pada negara. Saya menyambut baik sikap Mendikdasmenbud, Anies Baswedan, yang berendah hati di depan publik.
"Saya ingin agar pendidikan dipahami sebagai gerakan. Jangan sebagai program. Masyarakat harus aktif terlibat meningkatkan kualitas pendidikan. Negara lebih berfungsi sebagai fasilitator, menjalankan program kebijakan dan mendorong partisipasi masyarakat. Jangan disalahartikan pemerintah lalu tidak melakukan apa-apa. Bukan begitu, tetapi, believe me, negara tidak sanggup mengurus pendidikan sendiri."
Dalam monitoring dan evaluasi Kurikulum 2013 negara tidak boleh memaksakan pelaksanaannya apalagi dengan standarisme yang justru menjauhkan masyarakat dari budaya lokal. Jutaan siswa jangan sampai tersandera masa depannya menjadi generasi yang prematur, sakit-sakitan, dan lemah. Semoga. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H